Sangihe, Barta1.com – Mengabdi di pulau terluar, atau di perbatasan Indonesia dan Filipina membutuhkan pertimbangan yang matang bagi siapa saja yang mempunyai keinginan mengabdi menjadi tenaga pengajar di sana.
Tak heran, fenomena dan stigma sebagai tempat “pembuangan” pegawai yang melanggar aturan atau “korban politik” sesekali menjadi buah bibir di tengah masyarakat. Sesungguhnya bukan itu. Bagi sebagian orang yang menikmati proses dan benar-benar mau mengabdi, mereka menerima tantangan itu dengan lapang.
Sebut saja gadis cantik bernama Savelia Viane Warouw, S.Pd ia menerima tantangan itu untuk mengabdi di pulau perbatasan Indonesia – Filipina, khususnya di Kecamatan Marore, Pulau Matutuang. Bukan karena ia “melanggar aturan” atau “korban politik”. Namun gadis yang biasa dipanggil Keke itu, mengambil sikap sendiri memilih Matutuang sebagai tempat pengabdianya menjadi seorang guru di awal karirnya menjadi Aparatus Sipil Negara (ASN).
Kata dia sudah 3 tahun ia mengabdi sebagai guru Mata Pelajaran IPA di SMP Negeri 6 Satap Tabukan Utara Matutuang. Banyak hal-hal baik, pengalaman berharga yang ia dapatkan. Ia menemukan dunianya yang baru, menikmati panorama alam yang masih terjaga, dan menjadi bagian dari masyarakat pulau yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi.
Meski begitu, ia menilai bahwa pendidikan yang ideal belum berpihak kepada anak-anak yang ada di Matutuang. Savelia menerangkan bahwa selain kekurangan guru, beberapa fasilitas sekolah di tempat ia mengajar sudah rusak, dan itu tidak bisa ditanggulangi oleh Bantuan Operasional Sekolah (Bos) yang saat ini menjadi tumpuan sekolah-sekolah yang mempunyai siswa dengan jumlah besar.
“bangunan perpustakaan rusak, begitu juga laboratorium, dan toilet sudah tidak bisa digunakan. Ada juga 2 ruangan kelas yang bocor setiap kali hujan. Dan itu tidak bisa ditanggulangi dana BOS, karena dana Bos dihitung berdasar jumlah siswa, sementara jumlah siswa kami hanya 27 orang. Sementara lagi dana Bos hanya khusus membayar guru honor, pengadaan buku dan ATK mengajar” kata dia sambil berharap kelak ada bantuan yang dapat memperbaiki itu.
Dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar kata dia, yang paling memprihatinkan adalah ketika menghadapi ujian yang menggunakan sarana internet. Memang pemerintah sudah mengadakan fasilitas WiFi Nusantara, namun begitu kata dia aksesnya sangat terbatas.
“kami berharap ada bantuan WiFi dengan akses baik di sini. Sementara kalau menggunakan WiFi Nusantara ada batas limit, jadi jika digunakan untuk ujian sekolah sangat susah. Jadi kalau ujian, kami harus naik kapal lagi ke Tahuna,” tutur dia.
Bagi dia untuk menjadi seorang guru di pulau dengan segala keterbatasannya, guru tersebut harus mempunyai kemampuan ekstra. Hal demikian diperlukan manakala menghadapi kondisi kekurangan guru. “banyak mata pelajaran yang tidak punya guru, seperti PJOK, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Agama Islam, PKN, dan Prakarya Seni Budaya. Jadi untuk mengatasi itu kita harus bisa mengajar semua mata pelajaran,” ungkap dia.
Savelia benar-benar menikmati setiap proses belajar mengajar dan hidup di tengah-tengah masyarakat pulau di Matutuang. Kata dia tak sulit selama semua dinikmati dan disyukuri. “ intinya itu saja. Kalau hati berat maka semua akan susah. Hal lainnya ya, mungkin masalah jarak saja karena cukup jarang ketemu keluarga,” ujar perempuan kelahiran Kakas Minahasa 27 tahun yang lalu ini.
Matutuang adalah salah satu pulau terluar di Provinsi Sulawesi Utara, Kabupaten Kepulauan Sangihe. Sebelah utara berbatasan langsung dengan negara tetangga Filipina. Sebelumnya Matutuang merupakan anak desa Pulau Marore, tetapi pada tahun 2008 dimekarkan menjadi desa yang resmi secara administratif yang saat ini dihuni oleh 127 Kepala Keluarga (KK), 416 jiwa. Jarak dari Tahuna ibu kota Kepulauan Sangihe 8 jam perjalanan menggunakan kapal perintis.
Peliput : Rendy Saselah
Discussion about this post