Pertempuran Karakelang tahun 1862, adalah salah satu catatan penting dalam sejarah heroik orang-orang Talaud menghadapi armada-armada bajak laut.
Dapalan, sebuah desa di timur Pulau Karakelang, Talaud. Daun-daun kelapa melambai di pebukitan. Pohon Panamburin, Kapuraca, dan Ketapang berjejer bagai pagar hijau menaungi desa. Bau garam menguar menembus bukit-bukit yang jauh dari pesisir saat angin laut Pasifik berhembus di pagi hari.
Bila dipandang dari laut, Dapalan seakan desa yang riang oleh tarian pohonan, teduh dan menawan. Ada sejarah lama terpatri di sana. Sejarah dan legenda tua dari sebuah tradisi moyang-moyang lama. Artefaknya masih berdiri tegak, menyisakan cerita untuk generasi kini.
Artefak itu bernama Batu Baliang. Batu Baliang artinya batu berlobang atau batu yang mempunyai gua. Bagi orang-orang Dapalan, Batu Baliang tak sekadar batu pantai biasa.
Batu itu adalah altar penyembahan moyang-moyang orang Dapalan di masa lalu kepada Tuhan. Mereka menyembah Tuhan pencipta alam semesta dan kehidupan yang disebut Derro atau Genggonalangi.
Selain Batu Baliang, ada lima gugusan batu lain yang berjejer dari darat hingga ke lepas pantai yakni, Batu Talenggo, Batu Manahe, Batu Panimbulan, Batu Babalolo, Batu Hanggulan.
Dua sungai kecil mengalir di Dapalan. Sungai Laluaran Kecil dan Laluaran Besar. Dua sungai itu bermuara di pesisir tak jauh dari letak deretan Batu Baliang. Pada jejeran batu dan sungai itulah sebagian sejarah Dapalan tersimpan.
Di zaman lampau, ada seorang perempuan tua bernama Woi Entengan. Ia seorang pemimpin spiritual sekaligus pemimpin agama adat di daerah itu. Ia dikenal sakti dan punya ilmu ketabipan mengobati berbagai penyakit. Ia juga mampu menghindarkan Dapalan dari berbagai bencana lewat ritualnya di Batu Baliang.
Itu sebabnya Batu Baliang adalah tempat yang dikeramatkan orang Dapalan di masa lalu. Panjangnya mencapai seratus meter. Lebarnya tujuh puluh lima meter. Sedangkan tingginya sepuluh meter.
Karena berada di tepi laut, maka banyak juga hewan laut hidup dan bersarang di rongga-rongganya yang terbuka. Ada ular laut, siput, ketam batu laut, ikan tangga, dan tiram.
Batu Baliang, punya dua liang utama. Satunya berada di atas permukaan batu. Mulut liang ini cukup besar, dan menghadap arah utara. Panjangnya kisaran enam meter lebih. Lebarnya mendekati tiga meter. Tingginya sekitar empat meter. Liang inilah yang menjadi ruang suci bagi Woi Entengan memanjatkan doa kepada Derro.
Saat para perompak dan bajak laut Balangingi dari Filipina, berencana menyerang Dapalan dan seluruh Pulau Karakelang dari dua arah. Dari arah timur dan barat. Para tetua adat meminta Woi Entengan menggelar ritual doa di Batu Baliang.
Woi Entengan pun menghitung hari baik atau waktu yang tepat untuk ritual doa menurut Pasang air laut dan bulan di langit. Karena ritual doa hanya bisa dilaksanakan pada saat pasang Umaendo atau Atolla, dan ketika bulan di langit pada posisi Lattu hingga Naworaa. Persiapan dilakukan. Tenda-tenda di pasang.
Saat harinya tiba, Woi Entengan menyuruh seorang pembantunya, memukul Batu Telenggo. Batu itu mendentingkan gema yang keras sebagai tanda mengundang semua warga desa dan para tetua berkumpul menghadiri ritual doa di Batu Baliang.
Batu Telenggo memang berfungsi sebagai batu lonceng atau batu pemanggil. Tingginya sekitar 15 meter (kini tinggal 10 meter, karena dirusak tangan-tangan jahil). Bunyi batu ini kalau dipukul bisa terdengar sejauh dua kilometer bahkan lebih.
Seluruh penduduk desa ketika itu bisa mendengar bunyinya. Penduduk Dapalan berduyun-duyun datang. Mereka berharap ritual doa bisa menghindarkan mereka dari petaka.
Sementara di Batu Manahe, Woi Entengan menempatkan beberapa penjaga untuk melindungi keberlangsungan ritual doa. Lima orang laki-laki ditempatkan di pucak batu sebagai pengintai. Sepuluh orang ditempatkan di tanah menghadap utara.
Sepuluh orang lainnya menghadap barat. Sementara sepuluh orang lainnya lagi menghadap selatan. Maka penjaga atau pengawal itu berjumlah tiga puluh lima orang laki-laki atau Satu Buntuan.
Saat semua penduduk dan para tetua Dapalan berkumpul, duduklah Woi Entengan di salah satu sisi yang tinggi dari Batu Baliang. Di sana, ia memulaikan ritual doa dengan melantunkan lagu pujian dan penyembahan yang disebut Magunde dan Megaloho.
Beberapa hari setelah acara ritual doa, para pengintai yang ditempatkan di lepas pantai, telah melihat kumpulan kapal para bajak laut dan perompak samar-samar kian kemari mendekat. Sementara kaum lelaki dan para pemberani telah siaga di pesisir.
Mereka sudah siap bertarung dengan para bajak laut dan perompak meski harus dengan cara bertukar nyawa. Peralatan perang telah disiapkan. Kaum perempuan dan anak-anak telah diungsikan ke pedalaman.
Di pagi di tahun 1862 pesisir timur pulau Karakelang menjadi mencekam. Serangan armada kapal bajak laut dan perompak Filipina kian dekat. Saat musuh itu sudah mendekati daratan, muncullah sebuah kapal patroli angkatan laut Belanda yang langsung mengusir para bajak laut.
Sementara serangan para bajak laut dari arah barat berlangsung gencar. Pertempuran sengit pecah di pesisir barat Pulau Karakelang. Penduduk pesisir barat dengan gigih bertempur dibantu sepasukan angkatan laut Belanda.
Semua pasukan bajak laut Filipina tewas dalam pertempuran itu. Sementara dipihak penduduk dan angkatan laut Belanda beberapa orang dinyatakan gugur. Termasuk salah seorang pemimpin angkatan laut Belanda yaitu Jolly.
Sejarawan Adrianus Kojongian dalam artikelnya yang dilansir situs berita Barta1.com menggambarkan pertempuran bulan April 1862 itu sebagai berikut:
“Kapal perang Reteh yang berpangkalan di Kwandang, Gorontalo dibawah Letnan Laut Bowier melakukan pengejaran bajak laut berasal Kepulauan Sulu, Filipina, sampai ke Kepulauan Talaud.
Di sebuah pulau kecil di Teluk Lobo, di pantai barat Pulau Karakelang, tepat tanggal 18 April 1862 berlangsung pertempuran hebat dengan para bajak laut yang bersembunyi di situ.
Sepuluh kapal ukuran besar dan kecil milik perompak dibakar, 92 orang budak berhasil dibebaskan serta 33 orang perompak dibunuh dan 2 lainnya ditangkap, sementara sisanya melarikan diri. Ikut disita 10 kanon dan meriam lela, serta banyak senjata tajam.
Korban di pihak Belanda, perwira kapal Reteh yakni Letnan Laut klas 1 Hendrik Lodewijk Jolly yang berusia 31 tahun, terbunuh ketika memimpin pembakaran ke sepuluh kapal tersebut.
Ikut tewas pula petugas stokker kapal bernama R.F.B.Aulrage, sementara seorang perwira dan tujuh awak lain terluka, termasuk dua yang luka serius.
Untuk mengenang korban tewas, komandan kapal perang Reteh Jhr.Bowier Jolly dengan persetujuan 4 raja yang menyertai ekspedisi, menamai pulau di mana pertempuran berlangsung dengan nama Pulau Jolly. Letnan Jolly dan Aulrage dikuburkan di pantai pulau-tersebut. (*)
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post