Seperti dalam mitologi Yunani, pada jarak paling dekat, Putri Lohoraung, pendiri kerajaan Tagulandang (1570-1609) dipandang sebagai salah satu kaum Nimfa. Manusia dongeng yang hidup dan berasal dari dunia air atau lautan yang datang ke dunia nyata.
Di Nusa Utara (Sanghe-Talaud), tak sedikit kisah ibu mitologis yang jadi penanda asal-usul manusia yang menghuni kepulauan itu. Masyarakat dari ujung Kampung Buha hingga bentangan lain di Minanga, hingga kini percaya Lohoraung bukan manusia biasa.
Ia dianggap peri cantik yang ditemukan dalam keadaan telanjang setelah terhempas badai besar yang menerpa pulau Tagulandang. Kerena kecantikan dan kemampuan lain yang dimilikinya sebagai sosok peri, Lohoraung kemudian diangkat menjadi pemimpin negeri kepulauan itu.
Para tetua di pulau Siau juga punya kisah tentang peri dari dunia air yang pandai berkidung disebut “Ingang”. Peri-peri ini suka menyanyikan lagu-lagu memikat hati hingga manusia tertarik menemuinya, lalu kawin dengan mereka atau membunuhnya.
Cerita semacam itu juga sama dengan dunia para Siren atau Seirenes, perempuan-perempuan ajaib dalam mitologi Yunani. Mereka termasuk kaum Naiad, salah satu kaum Nimfa yang hidup di danau atau lautan.
Mereka tinggal di sebuah pulau yang bernama Sirenum Scopuli, atau di tanjung Pelorum, pulau Anthemusa, pulau Sirenusian dekat Paistum, atau di Capreae, yaitu tempat-tempat yang dikelilingi oleh batu karang dan tebing. Mereka menyanyikan lagu-lagu memikat hati yang membuat para pelayar yang mendengarnya menjadi terbuai sehingga kapal mereka menabrak karang dan tenggelam.
Di Yunani, para Siren ini kadang menikah dengan manusia dan mempunyai keturunan. Mereka adalah para putri Akhelous dengan Terpsikhore, Melpomene, dan Sterope. Menurut sumber mitologi Yunani jumlah para Siren ini saat berkumpul disuatu tempat mandi yaitu sembilan.
Bukankah di Siau juga ada “Akesio” (Air Sembilan) di Kampung Beong, Kecamatan Siau Tengah (Siteng), yang diriwayatkan sebagai tempat mandi sembilan bidadari dalam dongeng “Sense Madune” yang berhasil menikahi seorang bidadari hingga membuahkan seorang anak bernama “Pahawo Suluge” lalu menjadi moyang orang-orang Siau dalam versi dongeng?
Kisah legendaris dari mitologi Yunani seperti Dryad atau Peri Hutan, Nimfa dan juga Siren, tak lebih sama dengan cerita rakyat orang-orang Bannada, Talaud di antaranya tentang “Lamaru dan Bidadari Bahangging”. Bidadari itu menikah dengan manusia biasa yang kemudian menjadi nenek moyang orang-orang Talaud.
Di Eropa kisah fiksi berkarakter Peri juga dikenal dalam makhluk seperti Elf atau Fairy. Peri adalah istilah yang sering digunakan pada cerita rakyat atau dongeng untuk menggambarkan makhluk yang memiliki kekuatan gaib yang kadang kala turut campur dalam urusan-urusan manusia.
Peri kadang digambarkan sebagai makhluk gaib yang menghuni tumbuh-tumbuhan, berwujud wanita. Dalam bahasa Yunani istilah serupa, drys, berarti pohon oak. Dari kata ini timbul pengertian mengenai Dryad yakni kaum Nymph yang hidup dalam tumbuh-tumbuhan.
Karakter Dryad dari mitologi Yunani muncul dalam kisah fantasi “The Chronicles of Narnia” sebagai spirit berwujud wanita yang berasal dari pepohonan. Sementara Nimfa, salah satu jenis makhluk berwujud wanita dan diasosiasikan dengan lokasi atau tempat tertentu.
Mereka diidentikkan dengan peri, atau bidadari yang tinggal di alam bebas. Berbeda dengan dewa, Nimfa biasanya dianggap sebagai roh alam yang merupakan perwujudan dari alam itu sendiri, dan biasanya digambarkan sebagai gadis cantik yang senang bernyanyi dan menari.
Mereka dipercaya tinggal di hutan, sungai, mata air, lembah, pepohonan, dan gua. Mereka tidak menua dan tidak terkena penyakit. Selain itu, mereka juga dapat melahirkan dewa jika berhubungan seksual dengan dewa. Meskipun demikian, Nimfa tidak sepenuhnya abadi, dan mereka dapat mati dengan berbagai cara.
Lepas dari makhluk-makhluk mitologis yang dikisahkan menjadi penanda asal usul orang-orang Nusa Utara, di Lirung, orang-orang di pulau Salibabu, Kabupaten Kepulauan Talaud itu, punya lengenda tersendiri yang unik tentang nenek moyang mereka yaitu seorang putri yang datang dari Eropa bernama Putri Arusa. Ia hanyut bersama sebuah rakit dan terdampar di pantai Sara Banua. Putri Arusa kemudian bersuamikan penduduk Sara Banua bernama Pinamangun.
Apapuhang Sebagai Manusia Hobbit
Hobbit, ternyata bukan monopoli dunia fiksi Tolkien. Sejarah penduduk Pulau Sangihe juga punya kisah manusia kecil nan imut itu, yang disebut Apapuhang. Mereka kini ras manusia yang tak lagi kasat mata. Hidup di tempat bernama Balang Apapuhang. Sebuah lembah di Pulau Sangihe.
Mendengar kisah lembah ini, siapapun akan terseret ke tamasya imajiner dalam dunia fiksi JRR Tolkien, yang berkisah tentang The Shire, desa cantik tempat tinggal hobbit, ras humanoid dalam film trilogi The Lord of the Rings.
Kendati terjebak antara fakta dan fiksi, historiografi lokal tegas menyebut adanya jejak keberadaan manusia-manusia kecil di negeri itu. Beberapa ahli sejarah menyimpulkan, Apapuhang adalah manusia awal (pra-sejarah) yang mendiami lembah indah itu. Mereka hidup bersamaan dengan era para raksasa (Angsuang), kemudian disusul homo sapiens lainya—terutama ras manusia biasa yang disebut dalam nama lokal, Ampuang.
Orang boleh tak percaya, namun fakta tentang keberadaan manusia Hobbit Sangihe yang hidup sejak ribuan tahun lalu itu dicatat sumber-sumber sejarah lokal.
Dr. Ivan RB Kaunang SS, MHum adalah salah satu sejarawan terkemuka yang dimiliki Sulawesi Utara yang percaya Apapuhang pernah ada. Dalam bukunya “Bulan Sabit di Nusa Utara” (2010) Kaunang menyentil perihal nenek moyang suku bangsa Sangihe dan Talaud yang disebutnya berasal dari beberapa suku yakni suku Apapuhang, suku Ansuang, dan suku yang datang dari Merano dan Kotabato Filipina, Suku yang datang dari Bowontehu dan keturunan bidadari khayangan.
Apapuhang lebih spesifik disebut Kaunang, sebagai jenis manusia alam yang semata-mata tergantung pada alam. Bahasa yang digunakan adalah bahasa yang hanya dimengerti oleh mereka sendiri, yang sebagian telah bercampur dengan bahasa-bahasa Filipina.
Pengajar sejarah di Universitas Sam Ratulangi ini menulis, suku Apapuhang terbagi dalam empat sub suku yaitu (1) Deduhe Batang, suatu kelompok yang berumah di bawah pohon besar yang telah tumbang, (2) Dalige Kalinsu, suatu kelompok berumah di tengah-tengah banir pohon besar, (3) Nanek, suatu kelompok yang tempat tinggalnya berpindah-pindah, dan (4) Tamak, suatu kelompok yang lebih rendah derajatnya dan tempat tinggalnya tidak menentu.
Kembali ke lembah Balang Apapuhang. Data-data yang tersedia memaparkan, tempat hidup para Hobbit versi Sangihe itu terletak di sebelah timur kaki gunung Awu, Sangihe. Di era kerajaan abad 15, kawasan itu termasuk dalam lanskap kerajaan Tabukan.
Lembah ini di masa lalu adalah kawasan dengan pemandangan menakjubkan, dihiasi sebuah air terjun dan area hutan yang lebat. Sebagaimana gambaran dunia para hobbit dalam film The Lord of the Rings, kaum Apapuhang disebut-sebut pernah bermukim di sana, sebagai kelompok masyarakat yang menghuni rumah-rumah pohon dan hidup layaknya manusia pada umumnya.
Manusia Apapuhang dalam kisah orang-orang Sangihe –yang sempat diwawancarai penulis– juga mendekati gambaran fisik para Hobbit dalam fiksi Tolkien. Mereka orang-orang bertubuh kecil.
Berbeda dengan manusia Hobbit Tolkien yang digambarkan bertelapak kaki lebar dan telinga yang lancip agak memanjang ke atas. Apapuhang digambarkan lebih imut dari itu, seperti manusia biasa hanya saja dalam wujud kanak-kanak.
Mereka disebut cabang ras manusia. Peneliti sejarah dan Budaya Sangihe, Alffian Walukow dalam bukunya “Kebudayaan Sangihe” (2009) menyebutkan, Apapuhang adalah jenis manusia pertama yang pernah hidup di pulau Sangihe. Mereka hidup di cabang pohon.
Persebarannya meliputi kawasan desa Utaurano antara desa Mangehese dan desa Bowongkalaeng, terletak di sebuah lembah yang sekarang dikenal dengan nama Baļang Apapuhang, di kecamatan Tabukan Utara.
Bentuk fisik Apapuhang digambarkan Walukow, bertubuh pendek, kerdil dan mereka memiliki kerajaan di bawah bumi. Untuk dapat masuk ke dimensi kerajaan Apapuhang saat ini, harus melewati pintu gerbang yang berada tepat di belakang air terjun Apapuhang di Kampung Lenganeng.
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post