paradoks cinta anak laut, anak ombak
Catatan:
Jane AA Lumi*
Bila kita mengingat lagi perkataan termasyur perempuan suci dari Kalkuta ini “When you love until it hurts, there will be no more hurts, only more love” demikianlah kita akan mengingat suatu gambaran melekat tentang seorang Iverdixon Tinungki, lelaki penyair yang dibesarkan laut dan ombak negerinya, Sangihe. Ia gelisah dalam rindu, ia cinta yang api. Ia geram yang kesumat, tetapi juga iklas yang mengharu biru. Ia Sangihe yang penuh mimpi, terluka berulang-ulang, sampai akhirnya ia tak punya luka lagi untuk ditoreh – persis perempuan suci Teresa – yang tersisa padanya hanyalah cinta. Iverdixon dan Sangihe berkelindan, bergelut, gelisah, tertawa, menangis, bernafas bersama.
Dalam salah satu puisi berjudul Setelah Brown*) Menulis Pulauku, (Kumpulan Puisi “Jalur Rempah”, Teras Budaya, 2016), sang penyair mengiklaskan cinta dan gumul airmata negerinya,
o nusaku
yang seluruh gunungmu puisi
bila laut menitip buih ke paruh kalibri, terbanglah
terbanglah
kian jauh terbang
terbang ke gerbang cahaya dirindu pendaki
bila dulu telah tiba syekh dan paderi, biar
biar aku mendoakan diriku sendiri
dengan garis nasib dan kelabu tubuh
akan kurempah
dengan lautku yang biru
Seakan bisa membaca bagaimana wajah negerinya berabad-abad nanti, puisi ini semacam nubuat sang penyair tentang sebuah masa ketika setiap orang Sangir terpanggil untuk “pulang”, untuk kembali pada dirinya sendiri sebagai anak pulau dan laut, merempahi raga dan jiwanya dengan samudera cinta yang biru itu, samudera yang kerap dikhianati dan ditinggalkan, namun yang selalu setia hadir merengkuh kesunyian pantai dan karang.
Seiring dengan keiklasan cinta itu, Iverdixon menyalakan api juang yang tak mau menyerah. Ia mengajak, merayu. Ia meyakinkan, menguatkan. “Perempuan, Mari Menikah Dalam Ombak” (Kumpulan Puisi “Makatara”, Teras Budaya, 2014) adalah puisi yang membuat saya sebagai manusia sekaligus perempuan menjadi begitu yakin tentang kekuatan sebuah komitmen dan daya juang demi membela dan mempertahankan apa yang kita miliki dan cintai. Metafor pernikahan dalam ombak dapat kita baca sebagai kondisi mencintai tanpa dusta dan tanpa kenal batas waktu. Ia tak ada akhirnya. Iverdixon sedemikian mencintai pulau dan negerinya, semesta laut yang telah mengajarinya makna musim-musim. Ia telah mengarungi beratus-ratus ombak dan arus, telah tenggelam dalam palung terdalam, ke dalam rahim yang melahirkannya. Rahim yang berdarah itu sampai saat ini terus berpeluh dalam geliat eksistensialnya. Iverdixon mengajak kita menikah dengan negerinya yang eksotis, negeri yang mewariskan rentetan sejarah epik nenek moyang mereka. Di negeri yang kekayaannya menjelma untaian mutu manikam nusa utara, Iverdixon dan jutaan orang Sangir lainnya menyadari kekayaan itu tak mungkin tergantikan oleh apapun juga kendati era disrupsi sekarang ini selalu mencoba membelinya.
perempuan, mari menikah
dalam ombak
merasakan persetubuhan ikanikan
berciuman sebuas hiu
bercengkerama serupa megalodon
aku telah menabung arus
seabad belum kutetas
aku memilihmu
buat kuterjang
mari
mari kemari
ke laut lepas ereksi ini
hanya laut tak berdusta padamu
ia sungguh bila mencintaimu
ia sungguh bila membunuhmu
perempuan bertelanjanglah di sini
di luas dada pulau sesungguhnya kau mimpi
sejuta perahu melintas
hanya kau kupanggil kekasih
perempuan mari kemari
telah kusiapkan banyak musim
kau tak perlu memilih
semua punya sisi nikmat sendiri
ombak, bui, arus, dan kedalaman
mematang kau salami
menikahlah denganku
seperti putri duyungduyung akan menari
di pecahan cahaya bulan memantul
membentuk garisgaris perak
di malam hari kau rindui
kita akan mabuk
merayakan hari pengantin
di palung terdalam
di sebuah liang
kau sebut hati
kau yakini kebebasan hakiki
Membaca Iverdixon dalam kecemasan dan harapan-harapannya, kita akhirnya tiba pada kesadaran bahwa selalu ada resiko dalam mencintai. Sang penyair telah mengambil resiko itu, ia mempertaruhkan segenap keberadaanya, cintanya, hasratnya, mimpinya. Ia akan selamanya berdiri bagi negeri dan pulaunya. Dalam resiko yang maha dahsyat yang ia tempuh, ia tetaplah lelaki Sangir yang bebas lepas, tak terpenjara oleh apapun dan siapapun. Cinta yang maha itu telah membebaskannya melampaui semua kondisi dan kemelut yang tiba. Kita membaca Iverdixon, kita membaca diri kita sendiri. Ketika sang penyair sementara menggenapi apa yang menjadi sabda paradoks cinta itu, pertanyaan tersisa bagi kita. Seberani apa kita mencintai jati diri kita, negeri kita, bumi yang melahirkan kita — hingga kita siap terluka?
Kita belum mencintai, jika kita belum berdarah.
Kita belum Iverdixon –
mungkin kita belum juga sungguh Sangir. (**)
*Penulis adalah sastrawan di Manado
Discussion about this post