Semangat pembangunan literasi Sulawesi Utara semakin menggema. Setidaknya amatan itu yang dapat kita simak atas ramainya partisipasi serta gairah yang terpancar dari seri diskusi yang diselenggarakan SWRF, bersama Indonesian Writers Inc dan Perkumpulan Literasi Indonesia dalam dua pekan terkahir ini.
Lima seri diskusi virtual yang diselenggarakan, dapat memantik bermunculannya simpul-simpul penggiat literasi yang selama ini belum terkoneksi. Para penggiat literasi di Sulawesi Utara seperti bergerak dalam sunyi. Tanpa hingar bingar pemberitaan dan riuhnya pujian, mereka bergerak secara konsisten atas dasar kecintaan dan niat mulia untuk mengambil bagian mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tengoklah apa yang dikerjakan oleh Heidi Kristian Repi, seorang guru muda di Talaud yang mendirikan Pojok Literasi Perbatasan, Eka Kahiking di Sitaro yang mendirikan Rumah Belajar Karangetang dan Galang Lumasuge di Sangihe yang mendirikan Komunitas Karya Anak Sangihe. Ketiga sosok pendidik muda tersebut mewakili puluhan sosok muda lainnya yang dengan kesadaran personal serta kemandirian mencoba berbuat aksi dalam membangun bangsa.
Para pendidik muda ini seperti ingin menjawab kecemasan Ivan Illich dalam karyanya “Deschooling Society” (1971) yang mengkritik system pendidikan yang hanya menjadikan murid sebagai objek pasif untuk dijejali pengetahuan yang tak relevan dan akhirnya teralienasi dari realitas sosial. Melalui Langkah yang mereka tempuh, mereka menancapkan tongak-tongak baru, merespon zaman dan berupaya keluar dari kungkungan keterbelakangan.
Seperti lazimnya, sebuah festival adalah ruang pertemuan bagi para pemangku kepentingannya. Melalui SWRF, para pemangku kepentingan literasi khususnya di Sulawesi Utara mendapatkan saluran untuk barbagi gagasan dan mengemukakan pandangan. Oleh karenanya, berbagai keluhan, permasalahan, cerita keberhasilan, hingga karya-karya membaur dan saling memberi inspirasi.
Dalam seri diskusi yang dilaksanakan sebagai contoh, kita menjadi sadar bahwa salah satu permasalahan industri perbukuan Sulawesi Utara tidak terletak pada posisi penulis maupun pembaca, tetapi terletak dari minimnya percetakan/penerbit dan jalur distribusi. Para penulis “terpaksa” menerbitkan karyanya melalui penerbitan luar pulau yang berimbas pada naiknya harga buku karena tingginya ongkos kirim.
Permasalahan akses sumber-sumber bacaan, pengayaan terkait menulis hingga iklim kritik sastra yang masih lemah adalah sebagian hal-hal yang mengemuka. Sebagai sebuah euforia, SWRF bisa dikatakan telah memberi stimulus positif bagi dunia literasi di Sulawesi Utara, namun pertanyaan selanjutnya apakah euforia ini hanya berlangsung di permukaan? atau dapat juga menyentuh ke kedalaman dan berujung pada perubahan perilaku menuju arah yang lebih baik?
Memang masih terlalu dini untuk dapat menjawab itu semua, namun setidaknya pemetaan akan titik-titik lemah dan hal-hal yang perlu diperbaiki telah tampak dan tak samar lagi. Seri diskusi yang diselenggarakan berupaya untuk “Menghimpun yang terserak” untuk menjadikan sebuah jejaring kerja dalam pembangunan gerakan literasi. Menjadi menarik melihat bagaimana para cendekia dari Nusa Utara, Minahasa hingga Bolaang Mongondow bercengkrama melalui gagasan-gagasan yang dirajut oleh para peserta lainnya se-Nusantara dalam semangat ke-Bhinekaan.
Seri diskusi yang diselenggarakan secara virtual ini, selalu dihadiri oleh peserta dengan wilayah geografis yang sangat beragam, dari ujung barat Sumatera hingga timur Papua. Hal ini seakan menandakan bahwa semangat pembangunan literasi tidak mengenal sekat-sekat wilayah. Seri diskusi SWRF masih terus dihelat setiap rabu dan jumat hingga tanggal 15 Oktober 2021 nanti, semoga seri diskusi ini dapat menjadi semacam katalis dalam menumbuh kembangkan geliat literasi di tengah masyarakat dan penyemangat untuk melewati masa pandemi yang masih menerpa. (Humas-SWRF)
Editor: Ady Putong
Discussion about this post