Oleh: Iverdixon Tinungki
Ini bukan tentang Gudbransdat, Norwegia Tengah. Tetapi, mendatanginya setara memasuki ruang imajinir Knut Hamsun, sastrawan miskin, peraih Hadiah Nobel Kesusasteraan, penulis karya spektakuler “Sult” artinya Lapar, pada 1920 dengan latar Christiania — saat ini kota Oslo — yang warganya dirundung pemandangan kemiskinan di mana-mana.
Lebih dari 20 tahun lampau, saya pertama kali sampai di sana, di Essang, sepotong tanah di negeri perbatasan, Karakelang. Sebuah lanskap exotic, dulunya bernama “Nusanangin”. Ada tulisan dari sastra tua orang-orang setempat di pintu gerbang, di kompleks pemerintahan: “Sangkundimang Suparamaian” bermakna “Satu harapan dalam kesentosaan”.
Sepelempar batu dari pesisir, beberapa perahu kecil baru saja melaut, kendati ombak masih mendebum. Ketika itu senja cukup berkabut oleh uap asin tertiup angin agak kencang langsung dari lautan Pasifik. Pohon-pohon kelapa di tempat yang agak tinggi sesekali bergetar dan terdorong ke belakang.
“Di depan sana ada ombak Ambora. Ombak abadi yang menjadi ciri khas pesisir kawasan ini,” kata Rimata Narande, lelaki Talaud yang menemani saya ketika itu. Pesisir yang membentang dari Essang hingga Arangkaa, tak lain pesisir yang hidup dalam ombak abadi itu, yang dikemudian waktu sempat kulewati berulang-ulang dalam kedatangan berikutnya.
Dan pasti, setiap orang yang hidup di pulau pada akhirnya akan melewati laut. Setiap orang mengikhlaskan semua hal, dan setiap orang akan punya opini tentang segala hal yang baru dilihatnya, termasuk menjalani kehidupan yang tidak benar-benar aman oleh karena ombak dan tantangan keras alam kepulauan.
Di tahun-tahun yang lama itu, beruntung saya bisa ikut menapaktilasi jejak pahlawan Talaud, Larenggam. Menyaksikan rekonstruksi perang Arangkaa. Perang antara pejuang Talaud dengan Belanda, Juli 1893. Sebuah pentas spektakuler yang melibatkan ribuan orang di pesisir pulau terpencil itu dengan latar kampung-kampung yang terbakar. Disusul beberapa kedatangan lainnya ke Essang dalam riset bahan-bahan untuk novelku berlatar kisah sejarah stigmatisasi PKI di Kepulauan Talaud.
Essang. Menyusuri pesisir lanskap ini, tak mungkin meluputkan seorang pun tanpa meninggalkan bekas mendalam pada dirinya, — seperti Knut Hamsun dari Gudbransdat, Norwegia Tengah saat menulis Christiania, Oslo.
Ketika orang-orang yang hidup di kota membicarakan pulau-pulau terpencil dengan cara dan pikiran masing-masing, bisa jadi orang-orang di pulau jauh ini sedang menakik hujan untuk ditanak sebagai air hangat, diolah menjadi segelas teh, atau kopi. Bisa jadi mereka sedang menatap dengan putus asa ombak yang garang sedang menghempas, sementara nelayan bernama Susarto Wentian sedang hanyut diterpa arus entah ke mana.
Bisa jadi mereka sedang menggali umbi-umbian di ladang bertanah keras dengan pengungkit linggis pada musim terik yang panjang. Bisa jadi ada bocah kecil baru saja meninggal oleh karena gizi buruk atau malaria. Di Essang, tak ada yang gegap gempita, termasuk air mata punya caranya sendiri untuk menetes. Dan bisa jadi, merekalah yang paling paham tentang apa yang disebut kitab suci; “Hidup itu anugerah Tuhan.”
Ada 1659 orang perempuan, dan 1811 orang lekaki mukim di Essang, salah satu kecamatan dari 19 kecamatan di Kabupaten Kepulauan Talaud, dengan luas wilayah 94,76 km2. Jauh sebelum era reformasi, Herkanus Tumbal, seorang aktivis perbatasan berkisah, tak sedikit penduduk setempat kena stigma PKI. Data mereka mencatat ada sekitar 10.000 kepala keluarga di seluruah kepulauan Talaud, padahal mereka hanya orang pulau terpencil yang jauh dari hiruk pikuk politik masa pengganyangan Orde Baru terhadap PKI.
Di atas tahun 1970-an, “Pembangunan sejumlah proyek vital seperti bandar udara di beberapa titik di kabupaten Sangihe Talaud pada waktu itu, menjadi pemicu kisruh stigma PKI yang membabibuta ini,” ungkap Herkanus.
Menurutnya, ketika itu pemerintah ingin mendapatkan tenaga kerja tanpa upah, maka stigmatisasi PKI seakan menjadi proyek tersendiri untuk menghimpun tenaga kerja tanpa upah. Masa itu adalah tahun-tahun yang kelam bagi Talaud, terutama Essang, kisah Herkanus, karena tak sedikit korban yang berjatuhan akibat kerja paksa tersebut. Tokoh fiksi bernama Kepas dalam novel saya yang berjudul: “Kepas, Manusia Perbatasan”, adalah sebuah karakter yang dibangun dari para korban stigmatisasi PKI ini.
Lantas bagaimana dengan perang Arangkaa yang guyup dengan nilai patriotisme dan nasionalisme itu? Bukankah ini bukti kecintaan orang-orang perbatasan terhadap bangsa dan Negara Indonesia? Seperti di tempat lain, sejarah selalu membuat kelokan yang mencengangkan.
Terkadang sulit dicerna dengan akal sehat. Essang, seperti di tempat lain di pulau-pulau perbatasan Indonesia-Filipina ini, hari-hari mereka tak lebih dari musim perayaan golongan kaya, para pemilik modal yang mampu membangun usaha perikanan dan menikmati kekayaan laut di sana. Menguasai perkebunan pala, kelapa, dan semua usaha sektor pertanian, dan perdagangan. Rakyat kecil adalah petani, buruh dan nelayan tradisional yang hanya bermodal perahu kecil tak bisa meraih lebih selain sekadar mengais hidup untuk sehari.
Susarto Wentian, seorang nelayan dari desa Sambuara, Kecamatan Essang, Talaud. Ia tak menyangka akan terombang-ambing berhari-hari di tengah lautan lepas bersama perahunya. Perahu yang dalam ucapan setempat disebut Pambut (Pamboat). Sebuah perahu warna putih bergaris merah-biru, dengan panjang sekitar tujuh meter. Lelaki 57 tahun itu berangkat melaut pukul 03.00 subuh dari pesisir Sambuara, pada Rabu, 3 Januari 2018. Tiga hari kemudian, pihak kepolisian Essang baru bisa melansir kabar, Susarto Wentian terdampar di Pulau Pehang, Kecamatan Tabukan Selatan, Sangihe. Ia ditemukan warga dalam keadaan selamat setelah diterpa badai ganas yang membuat mesin perahunya mengalami kerusakan.
The Treasured Writings of Kahlil Gibran, Castle Books, punya kutipan menarik untuk mewakili situasi ini, yakni : “Perbudakan kehidupan tampak mencekik jiwa dan hati, menganggap manusia adalah gema kosong sebuah suara, dan bayangan menyedihkan dari sosok tubuh”.
Saat saya meninggalkan Essang, ada tulisan dari sastra tua orang-orang setempat di pintu gerbang, di kompleks pemerintahan: “Sangkundimang Suparamaian” bermakna “Satu harapan dalam kesentosaan”. Tulisan itu tampak samar-samar ketika perahu kutumpangi kian jauh menuju Kota Beo.
Demikian salah satu sisi negeri kepulauan dengan daratan seluas 1.288,94 km2, dan lautan 25.772,22 km2 ini. Negeri para bangsawan yang disebut Papung. Negeri yang difrasakan sebagai surga (Paradiso) selepas pantai kepala “K” daratan Sulawesi oleh para eskader armada Eropa, karena keindahannya. Negeri di mana berbagai penaklukan berlangsung dalam ratusan tahun yang menyebabkan tak sedikit kisah perbudakan (Alangnga).
Dari 20 pulau, yang terbesar Karakelang, disusul pulau Mangaran, Salibabu, Miangas, Marampit, Karatung, Kakorotan dan pulau–pulau tidak berpenghuni lainnya. Diperkirakan telah dihuni manusia sejak ± 6.000 tahun SM, dan membentuk kultur manusia kepulauan. Kental dengan nilai kebaharian; “Sinsiote Sampate-pate”, menginspirasikan simbol kebersamaan, keberanian dan harapan di hadapan kesulitan, sekaligus merupakan gambaran paling jelas dari akar, spirit, dan ruh ibu budaya yang membesarkan mereka. Semua terevitalisasi ke dalam diri, dan laut menjadi bagian inheren dalam detak nadi Talaud hingga masa kini.
Pulau-pulau Talaud berada di jalur pelayaran kapal-kapal Spantol dan Portugis rute Manila-Siau-Manado-Ternate yang cukup ramai di abad ke-16 hingga paruh kedua abad ke-17, sehingga telah biasa disinggahi kapal termasuk padri Portugis dan Spanyol.
Nama Talaud mulai dikenal dunia sejak armada Spanyol dari Laksamana Ruy Lopez de Villalobos lalulalang mecari rute pulang ke pantai barat Meksiko dari Filipina dan menyinggahi Talaud di tahun 1544. Salah seorang kapten kapalnya Garcia D’Escalante menamai Talaud Las islas de Talao, sedangkan kapten lain Juan Gaytan (Gaetano) menyebutnya sebagai Isole di Tarao.
Dalam catatan Adrianus Kojongian disebut, misionaris Katolik terkenal asal Spanyol Fransiscus Xaverius pernah singgah di Pulau Kabaruan di Kepulauan Talaud untuk menyebarkan injil. Dari kisah yang beredar sampai awal abad ke-20 di Kabaruan, tokoh yang digelari santo ini menghadiahkan kursi marmer dengan prasasti.Tapi, Pater B.J.Visser MSC membantahnya tahun 1925. Menurutnya tidak ada bukti akurat dari tempo perjalanan atau persinggahan Fransiscus Xaverius yang terjadi tahun 1546 atau 1547.
Pater Jesuit A.J.van Aernsbergen mengungkap adanya kepercayaan penduduk negeri Damau yang masih diingat di Kabaruan tahun 1920-an akan adanya sebuah bekas biara Katolik yang pernah dibangun oleh padri Spanyol. Bahkan, dari kisah yang didengarnya dari seorang mantan pejabat Belanda di Talaud, di biara itu dipercaya penduduk tersimpan harta karun. Upaya penggalian harta tersebut di masa lalu dilakukan oleh Posthouder Kepulauan Talaud J(ohannis) E(ugenius) Leidelmeijer. Namun barang berharga yang dikubur termasuk sebuah gading atau kursi emas tidak ditemukan.
Ekspedisi Ferdinand Magelhaens (1511-1521) tiba di kepulauan ini bersama seorang kepala armada perahu layar bernama Santos. Ketika itu mereka mencatat pulau Karakelang dengan nama Maleon, Sinduane untuk Salibabu, Tamarongge untuk Kabaruan, Batunampato untuk kepulauan Nanusa, dan Tinonda untuk Miangas.
Publik histori masyarakatnya menyebutkan, pada era sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, pernah berdiri kerajaan Talaud yang dipimpin seorang ratu atau raja. Kekuasaan di bawahnya dibagi-bagi kepada beberapa orang jogugu yang membawahi pula sejumlah kampung (wanua). Kepala kampung disebut Kapitan Laut. Dalam tugasnya kapitan laut ini dibantu oleh sejumlah Dewan Adat yang disebut Inanggu Wanua yang sebenarnya adalah gabungan dari para pemimpin kelompok keluarga luas terbatas yang disebut Timadu Ruangan. Namun sulit mendapati catatan ataupun keterangan lebih jelas tentang kerajaan masa lampau itu, selain menemukannya dalam berbagai cerita rakyat.
Pada zaman dahulu, masyarakat Talaud sudah mengembangkan sistem sosial politik dalam bentuk kerajaan-kerajaan kecil. Pada masa sekarang pengaruhnya masih terlihat dalam pelapisan sosial masyarakatnya. Golongan keturunan raja-raja dan bangsawan lama itu disebut kelompok Papung, dan di bawahnya baru golongan rakyat biasa. Golongan budak zaman dulu disebut Alangnga. Pada masa sekarang pelapisan sosial yang tajam seperti di atas sudah menipis pengaruhnya. Kerajaan Talaud paling akhir nanti timbul pada abad ke 20 yaitu pada tahun 1922 di bawah kekuasaan Raja Johanis Tamawiwy dan berpusat di Beo.
Residen Jansen yang kemudian dipromosi menjadi Gubernur Celebes en Onderhoorigheden di Makassar Agustus 1859 membagi pulau-pulau di Talaud menjadi beberapa afdeeling atau landschap independen yang terbentuk dari beberapa negeri.
Talaud sejak abad 15 boleh dikata berada di bawah pengaruh kerajaan-kerajaan di pulau Sangihe, Siau dan Tagulandang. Sejarawan Alex Ulaen dan Ivan Kaunang, menyatakan kerajaan-kerajaan di Sangihe mencakup wilayah pulau-pulau Talaud. Pulau Karakelang misalnya, pernah terbagi menjadi bagian wilayah dari kerajaan Tabukan, kerajaan Manganitu, kerajaan Kendahe-Tahuna, kerajaan Siau dan kerajaan Tagulandang.
Ketika Raja Batahi memerintah sejak tahun 1631 sampai tahun 1678, wilayah kekuasaan Kedatuan Siau disebutkan meliputi pulau Kabaruan, Talaud Selatan. Pulau Kabaruan dalam catatan sejarah Kerajaan Siau adalah mas kawin dari pangeran Talaud Mahadia Ponto kepada putri kerajaan Siau, Pasilawewe, anak dari Raja Lokonbanua II yang memerintah di tahun 1510-1540. Sementara Siau juga mengangkat kepala di Pulutan dengan nama Raja Bohanbitu.
Kerajaan Kendahe juga mengklaim wilayahnya meliputi Miangas sampai sebagian Mindanau Selatan. Sementara Residen Manado Albert Jacques Frederic Jansen dalam rapor 12 Agustus 1857 mencatat wilayah Tagulandang di Pulau Karakelang, yakni Pulutan terdiri atas negeri Dahan, Kalumu dan Bohonbaru. Para kepalanya memakai gelar raja. Negeri Pulutan bahkan dengan dua raja bernama Welembuntu dan Selehan, di bawah kuasa kerajaan Tagulandang.
Penaklukan di era masa lampau itu juga memunculkan masa perbudakan di kawasan ini, dan terus berkembang seiring datangnya orang Eropa, terutama Spanyol, Portugis dan Belanda, yang ikut mengambil untung dalam bisnis perbudakan. Tetapi perbudakan tidak saja terjadi di Talaud, juga di Sangihe dan Siau Tagulandang, akibat politik pecah-belah Kompeni Belanda.
Negeri Ujung Utara ini, tak lain adalah gugusan pulau membentang dari Tinonda hingga karang Napombaru. Sebuah kawasan pulau-pulau di bibir lautan Pasifik dengan pemandangan nan indah, eneka budaya, tradisi, dan mitos sejak masa purba yang menakjubkan, yang hingga kini masih terpelihara dan hidup di sana. Gunung-gunung karang yang keras dan tajam nyaris menutup sebagian besar daratan.
Banyak orang penasaran – termasuk orang Talaud sendiri –dengan kata “Tinonda” dalam penyebutan batas Kepulauan Talaud yaitu: “Dari Tinonda Sampai Napombaru”. Sementara fakta masa kini batas Kepulauan Talaud yaitu dari Pulau Miangas sampai Pulau Karang Napombaru”. Apakah Tinonda adalah sebutan untuk Pulau Miangas. Jika itu bukan pulau Miangas, lantas di manakah letak Tinonda?
Tokoh masyarakat Talaud Boas Presly Bee kepada penulis menjelaskan, dari tinjauan (perspektif) sosio-antropologisnya, Tinonda sampai Napombaru (lafalnya “r” per “l”) adalah batas imajiner. Kluster pulau-pulau Talaud di masa lalu diyakini didiami oleh keturunan sepasang suami istri Loom’banua (dari kata loon, atau pusat lingkaran tali, pusat atau awal kehidupan). Loom’banua diyakini sebagai manusia pertama ciptaan Tuhan di kepulauan Talaud, dan berdiam di gua Ar’rangkaa, tempat tengkorak manusia yang relatif besar, berwarna putih dan tidak punya garis-garis sekat atau retak antar bagian tulang tengkorak.
Tengkorak itu diyakini sebagai tengkorak manusia pertama tersebut, dan masih ada di dalam gua Ar’rangkaa sampai sekarang. Loom’banua kawin dengann Woin Sangiangnga, bidadari yang turun dari kayangan. Hikayat ini metafora dari perjumpaan penduduk asli suku Talaud dengan perempuan pendatang suku Mongoloid dari Mindanao.
“Dari pola hidup moyang orang Talaud inilah dapat ditelusuri berbagai konsep imajiner tentang entitas kultural (batas-batas lingkungan budaya) orang Talaud, termasuk konsep “Tataare ng Tinonda” atau tapal batas depan,” kata Bee.
Kata “Tinonda” ungkap dia, adalah kata benda dari kata sifat “Tondanne” yang sepadan arti dengan kata dalam sebutan bahasa Indonesia “serambi”. “Tatiwadde napom baru adalah tapal batas luar, karena dalam konsep budaya Talaud tidak dikenal istilah “belakang” dalam pengertian lawan “muka”. Jadi, Napombaru bukan batas belakang, tetapi batas dengan dunia luar. Tinonda, atau secara bebas artinya berpadanan dengan serambi yang imajiner tersebut penandanya adalah pulau Miangas. Dalam bahasa Talaud diungkapkan: “Pasi’u tinonda ia’eranna aer’resannu Poilaten” artinya tiang, patok, atau tapal batas serambi depan disebut sebagai daratan Poilaten. Sebutan Poilaten inilah nama lain dari Pulau Miangas. Sementara orang Eropa dan Amerika menyebut pulau Miangas dengan nama Palmas. (*)
*) Catatan Redaksi: Tulisan ini dimuat kembali untuk meramaikan Sangihe Writers & Riders Festival (SWRF) 2021.
Discussion about this post