Sangihe Talaud, di peta sejarah niaga dunia adalah salah satu kawasan lintasan persaingan dagang dan perebutan hegemoni kekuasaan di masa lalu. Sebagai kawasan di perairan laut Sulawesi, Sangihe Talaud masuk dalam enam Jalur Niaga –disebut juga Jalur Rempah– terpenting di abad ke-15.
Alex John Ulaen dalam “Nusa Utara: Dari Lintasan Niaga ke Daerah Perbatasan”, menyebutkan sebagai daerah yang masuk pada kawasan perniagaan Laut Sulawesi, peran Nusa Utara (Kepulauan Sangihe dan Talaud) adalah sebagai tempat transit penting dari dua jalur perniagaan utama menuju Pulau Rempah. Yakni, bagi para pedagang yang datang berlayar dari arah barat, Malaka, yang biasanya akan berlayar menuju Pulau Rempah dengan menyusuri laut di bagian utara Pulau Borneo, lalu berbelok ke arah timur menuju Laut Sulu, transit di Kepulauan Nusa Utara, baru setelahnya pergi ke Pulau Rempah Maluku Utara.
Sedangkan dalam jalur pelayaran lain, adalah yang biasa dilalui oleh para pedagang dari daratan Cina yang berlayar melalui wilayah barat Kepulauan Filipina, menuju ke Laut Sulu, transit sebentar di Kepulauan Nusa Utara, baru setelahnya pergi manuju ke Pulau Rempah.
Dua jalur pelayaran inilah yang nantinya akan diikuti oleh Bangsa-Bangsa Barat ketika mereka hendak menuju ke Pulau Rempah pada awal-awal kedatangannya di Nusantara. Sejumlah ahli sejarah juga menyebutkan, di masa lalu, letak geografis yang strategis, serta potensi komoditi ekspor yang menjanjikan, membuat tiga kekuatan Barat yakni Belanda, Portugis, dan Spanyol bersaing mati-matian untuk menancapkan pengaruh di gugusan kepulauan Sangihe Talaud terutama pada abad ke-16 sampai akhir abad ke-18.
Untuk menyemarakan Sangihe Writers & Readers Festival 2021, berikut ini kami sajikan beberapa puisi yang diambil dari Buku Kumpulan Puisi “Jalur Rempah” karya penyair Sangihe Iverdixon Tinungki.
DENAH LOYASA
ada sisa denah Loyasa*)
di bandar Malahasa
lima ratus tahun sudah usia peta
bertukar rempah dan nyawa
bagai sebuah pita
disunggi batu
ke rambut ibu yang telah tua
inilah sepi dan abu
menyimpul laut yang ngilu
karena berlayar adalah mencari
hingga hidup tak sekadar uzur yang bisu
di ujung tanjung beberapa perahu kecil merayap
seakan bandar punya sejarah tersembunyi
di atasnya burung dan angin bertarung
melunasi hutang di buku matahari menunggu
itu sebabnya tugu tak sekadar batu bagiku
karena yang tumbuh di laut biru;
elegori ibuku
lalu apa tumpah di pantai selain ombak berderai
tanpa berkayuh di arus
hidupku hanya catatan sehelai
*) Loyasa: Catatan harian Pigaffeta berupa laporan bandar-bandar penting yang disinggahi kapal niaga mereka dalam ekspedisi Loyasa tahun 1537.
PADA CATATAN ANTONIO PIGAFFETA*)
di bandarbandar
banyak orang tak tahu ke mana pergi
ke mana menemukan diri sendiri
kuli
masih saja kuli
memikul kemalangan
seorang Pigaffeta
dan beribu penjelajah
seakan saman
wujudnya bagai kapak
menebang makna samudera
hingga seluruh layar dan impian
berderak patah
orangorang hilang arah, hilang harap
setiap kali sauh menjangkar
setiap kali kapalkapal jauh berlayar
kecuali malam mendenyar itu
melahirkan ibu pada sepatah puisiku;
puisi tumbuh digemuruhnya sendiri
umpama burung dengan mata tak berkesip
mengepak gusar dan dengkingku ;
–musim rempah telah berhenti di lautku
*) Antonio Pigaffeta: Pelaut yang menulis catatan perjalanan Laksamana Magelhaes melewati kepulauan Sangihe dan Talaud pada bulan Oktober-November 1521 dalam buku “Primer Viaje en Torno del Mondo”
KETIKA DURADO BERTEMU PAGINCAR
Fernao vaz Durado) tahun 1580 menulis Pagincar Bertholamev Laso) menyebutnya Pancare
itu nama pulau Tagulandang
apa ingin kautulis pada Tagulandang yang kini
apakah tulang pipi cemas
atau ramai iklan asing di jalan bau pesing
embun menetes di Minanga
menambah tabungan air sungai
juga air mata
dan kita menegak kelabu dan kejernihannya
juga riwayat ratu pertama Lohoraung
karena ingin mengenang kegemilangan
apa dikenang Durado dan Bertholamev Laso
di atas pelayaran sejarah timur yang kini koma
pusat kekuasaan membelenggu
anakanak sekolah disungguhkan hafalan
hanya itu, hanya Jawa, hanya Sumatera
juga samasama pilu
dan sampah
o alangkah lukanya timurku
timur dipagari
bulan murung
dan pasang surut pendegup sepi
dan kita teguk hari ini
dengan ramai yang ampas
ketika Durado bertemu Pagincar
kapalkapal datang menjangkar di bandar
bajak laut, raja laut juga mengincar rempah
bertempur hingga luluh kehidupan timur
Pancare, alangkah luka timurku
umpama serpih, kini hanya debu tergelincir
dari atapatap iklan asing
di jalanjalan bau pesing
di bulan oktober-november 1521
laksamana Magelhaes melintasi pulaupulau
navigasinya menunjuk jalur rempah yang makmur
di atas pulau rempah inilah harusnya kita seduh mimpi
juga pertempuran paling api
*) Fernao vaz Durado: Pembuat peta pelayaran niaga yang mencantumkan Pulau Tagulandang tahun 1580 dengan nama “Pagincar”. Pencatuman yang sama dilakukan Bertholamev Laso (1590) dengan nama “Pancare”.
SUATU HARI DI PULAU KAWIO
siapa menyangka
pernah tiba di sini
Juan Sebastian del Cano*)
atapatap hijau mangrove
dan laut yang kutatap
diramaikan ikan bersirip dan kakap
kubayangkan kesepakatan Tordisalles*)
semua samudera baiklah disusur
sebagai bukti bumi bulat bagai bola
dan di tebing batu pasir putih ini
kapten del Cano pertama kali menyakini
manusia tak bisa lari dari peta hidupnya sendiri
aku mendengar ada musik hispanik
diramu malam dusun
mengiringi penari
di pesta hari anakanak bumi
aku ikut bernyanyi
dan menghanyutkan lamun
jauh ke sana ke layar masa lalu
yang berarak mencariku di sebuah pantai nan bisu
*) Juan Sebastian del Cano:Kapten kapal yang memimpin ekspedisi Ferdinand Magelhaens (Magellan—10 Agustus 1519 ).
*) Kesepakatan Tordisalles: Tentang pembagian wilayah ekspedisi antara Portugis dan Spanyol.
CATATAN PARA PELINTAS
1
eskader Ruy Lopez de Villalobos*)
melintasi Gilolo Bendenao Cebu
dan Tubusu
masa itu
Sanguin dan Tarrao
sudah punya tempat indah
seperti Ganalo
tapi apa kaubaca di sebuah buku
ia menulis pantaipantaiku;
untuk kau yang hanya suka tangis dan pilu
2
di utara
ada pulau dan datu
ada samudera dan perahu
bila kau berlayar
berlayarlah ke sini
berlayarlah ke jantung api tradisi
–karena mengaji laut, mengaji hidup dan maut–
3
di batang sejarah moyang
Cempaka dan Manuru
tumbuh bagai sepasang kembang
mengalung langit dan sembayang
datanglah bila kaumau menegak kalbu
karena di batang gelombang sesungguhnya
doa bertubuh
4
dulu maut menunggu di sini
pada gema kapal niaga Eropa
para eskader
memanggul laras senapan
dan bajak laut mampir memperdaya
di atas perang dan bencana itu
kita kembali membaca
niaga
senantiasa berhala dan darah
kini menyamar setangkai tombak
menusuk warna guram
ke celah dada
*) Ruy Lopez de Villalobos: Seorang eskader Eropa yang mencantumkan nama Sanguin (Sangihe) dan Tarrao (Talaud) dalam dokumen Spanyol tahun 1548 sebagai wilayah kerajaan laut yang punya tradisi samudera dan makmur.
SHUN FENG HSIN SUNG MENCARI SHAO
di lembah Hoangho mengalirlah sungai
mengalir ke pucuk bunga Peony
di musim semi seperti ini
aku meretih api ke dalam diri
dalam legenda Hou Yi
ia memanah sembilan matahari
karena cinta di bumi hanya butuh satu
cahaya diri
di bawah satu matahari
bukankah aku dapat pergi
menyusul delapan dewa bahari
berlayar hingga mencapai diri
di lembah Hoangho mengalirlah sungai
dan aku Shun Feng Hsin Sung*)
perahuku meluncur di air
melewati teratai, krisan dan beku apricot
di musim itu
aku tak lupa tekstur rumah bata merah
pohon bambu dan pintu berhias pahatan naga
sejauh mana aku berlayar
tak jua jauh dari tangan Pangu yang mengejar
dengan mantel kulit lusu
kujelajahi peta Shui Jing Zhu
dan Tuhan menyunggi kecapi ke lubuk karangku
lima abad sudah perahuku
meretih gelombang
meronce puisi
dengan guci dupa gaharu yang suci
dan masih kukenang musim semi Peony
burungburung mengambang
melunaskan perjamuan samudera
meneguk makna indah dan nila ke dalam hati
di lembah Hoangho mengalirlah sungai
sudah jauh Utara Cina
rumah bata merah, pohon bambu
dan pintu berias pahatan naga
aku sudah berarus hingga ke Zamboanga
dan tiba di Shao dalam wangi dupa kian bernyawa
di langit dewi bulan Chang’e memijar
seperti kisah catatan musim semi Tuan Lu
di hatiku telah tumbuh kisah lebih sungguh
laut dan pulau yang menunggu
*) Shun Feng Hsin Sung: Pelaut Cina yang menulis buku petunjuk jalur pelayaran
Utara Cina melewati Zamboanga ke bagian timur Mindanao lalu ke selatan menuju
pengunungan Shao (Siau) pada tahun 1500. Sejak itu, perniagaan Cina kian berkembang ke Timur Nusantara.
JEJAK PELAYAR
ombak memukul lambung kapal
menanggalkan musim September
dulu dikeramatkan
dan aku membaca jejak pelayar
Tome Pires dan David Haak*)
di jalur utara selatan
menamai pulau dalam catatannya
kapal dulu tiba
dan kini berlayar
masih di jalur memar
menggelayuti toponymy
arakarakan rempah dan budak
tapi jangan kaukira aku mau pergi
ke bandarbandar tak dikenal
perahu cadikku punya laut sendiri
tegar berlayar sejauh akar kalbu
di mana camar merumahkan keluh
kendati sejarah itu
seperti jarum arloji terus mengulang
detakan yang hilang
hati yang bimbang
*) Tome Pires: Sebelum dan sesudah jatuhnya Malaka pada 1511 eskader kapal niaga Eropa ini menulis kesaksiannya dimana kerajaan-kerajaan di Sangihe Talaud sudah punya hubungan dagang dengan Jawa. David Haak: Seorang perwira muda di tahun 1689 menulis catatan harian tentang kebaharian orang Sangihe Talaud dengan perahu sendiri melayari jalur-jalur perdagangan hingga ke Batavia, Malaka, Manila, Siam dan ke berbagai wilayah Nusantara.
SETELAH BROWN*) MENULIS PULAUKU
o nusaku
yang seluruh gunungmu puisi
bila laut menitip buih ke paruh kalibri. terbanglah
terbanglah
kian jauh terbang
terbang ke gerbang cahaya dirindu pendaki
bila dulu telah tiba syekh dan paderi. biar
biar aku mendoakan diriku sendiri
dengan garis nasib dan kelabu tubuh
akan kurempah
dengan lautku yang biru
*) Brown: Seorang penulis Eropa yang menamakan kepulauan Sangihe Talaud sebagai “Archipelago of Tears” (Kepulauan Air Mata).
PELAGOS
moyangku pelaut yang tahu
di mana letak tujuh belas mata angin
luas cakrawala
persegi bintang pembujur arah
dan arus tak bisa sembunyi darinya
perahunya menderap sebijak mantra
syair tubuh menjelma diri yang nyata
karena itu…
karena itu datudatu bernyanyi;
mendetaki laut ini
mendetaki gelombang dalam diri
begitu kami menebah pagi
pada semua suara burung
mengicaukan pulau
bagai katakata bestari
di puncak Cempaka dan Turi
mantra tak pernah mati
menegakkan tradisi
dari zaman flake dan blade
setelah batu
moyangku menempa perunggu
mengolah lempung di sulur sejarah periuk
karena ia ingin menggarami hidup
–dan kami mau hidup
logamlogamku akan berdencing
serupa moyangku menghalau bajak laut
di medan perang yang kukenduri
aku dan moyangku pelaut
kami tahu di mana letak maut;
hanya sejauh khilaf
dan sungut
TEPIAN PERLINTASAN
di tepian perlintasan jalur rempah
sulit dibedakan bajak laut atau pedagang
mereka datang
samasama dengan agama dan pedang
saat perahunya tiba
suara geram dan garang bagai buku
mengabar Tuhan yang remuk redam
perang berkecamuk
dan abadabad melanjutkan cacahan hasta
pada bahtera selalu runtuh
tak ada yang terselamatkan
arah dan tujuan tenggelam
selepas Malaka
mereka menebar katakata
seakan biji sesawi
tapi
tak ada kusuka dari bengisnya
kabar lain datang dari Pasai, Sulu dan Goa
meretaki doa lebih dulu merekah
di tepian perlintasan jalur rempah
moyangmoyang tabah
memberiku laut baru
mesti kutempa
PUSAKA ARUS
pusakaku silsilah dan arus
adat dan camar berkesiur
burungburung dan penyair menetas
beriburibu syair bayangbayang hilir
dilangir ibu ke jiwaku yang Sangir
bilamana arus menderas
seberdaya apa aku di hadapan gelombang
jika kekuasaan tak beguna
adat istiadatlah yang mendekatkanku biru semesta
saat petualang tiba
para pedagang mencium bau rempah
dan Marcopolo bertemu pelayarku
di sebuah perahu dan buku
menyebut perahu
bukan besar kecilnya kuukur keberanianku
liar dan hujaman gelombanglah guru
sejarahnya memberi kita arah dan tubuh
laut itu
tempat silsilah adat dan maut
hanya yang taat disebut peraya hidup
DARI SEBUAH UPACARA PESISIR
saat doa diketukkan ke arus
aku tahu kesakitan
bagai hutang harus lunas ditebus
tapi siuman jangan hanya tradisi
sedang kita bak pelangir cempaka ke laut mati
bukankah berkayuh harus sampai ke jati diri
di suatu pagi
kita barangkali membaca van Erde atau Brillman*)
lalu bertanya bagaimana menghargai budaya
budaya tak sekadar keris dan mantra
jampi kehendak menegak sebuah menara
mimpi dan hasrat mestilah terpacak di tengah
saat haluan kemudi bergerak
menakluki laut mengajari kita gelora
*). J.C. van Erde dan Brillman: dua penulis yang antara lain berjasa menyelidiki asal-usal suku bangsa Sangihe Talaud.
Discussion about this post