Pagi, 15 Agustus 2021, saya dikejutkan kabar duka: “Bu Winsu meninggal dunia!”. Perasaan sedih dan kehilangan sontak menyelimuti saya. Dan saya jadi ingat “Samba”, sebuah kata yang dulu mengisi celoteh kami di suatu sore, di Tahuna.
“Brasil tersungkur di piala dunia 2006. Tapi, belum ada negara di planet bumi ini yang bisa menyamai rekor bola Brazil”. Itulah topik obrolan ringan saya dengan Bu Winsu –yang lengkapnya Drs. Winsulangi Salindeho— sambil ngopi di Pandopo Rumah Dinas Bupati Sangihe. Hari itu pekan pertama Agustus 2006, jelang masa akhir jabatannya sebagai Bupati Sangihe periode pertama. Dan Samba sejatinya tarian unik ala Brasil.
Namun bisa jadi topik ini terasa berlebihan sebagai pembuka catatan ingatan saya di tengah duka mendalam yang mendera kita warga Nusa Utara atas kepergian sang tokoh panutan, politisi dan birokrat legendaris yang telah mengabdikan hidupnya untuk memajukan negeri kepulauan itu. Tapi saya tak bisa mengelak dari ‘Samba”, sebuah julukan yang pernah saya cantelkan untuk gaya kepemimpinannya.
Kendati Bu Winsu tak begitu fanatik sebagai pengemar bola, meski ia juga diam-diam jadi fans Barca. Namun untuk gaya kepemimpinan, ia mengaku justru mengadopsi Samba. Mengapa samba?
Orang lebih banyak mengenal samba sebagai pasukan sepak bola negeri penghasil kopi dan tembakau Brasil. Namun sejatinya samba tak sekadar nama di dunia sepak bola. Tapi juga gaya! Suatu seni permainan memadukan teknik tinggi dan kebersamaan pemain. Umpan pendek, cepat, lincah menerobos pertahanan lawan, kemudian gol. Setiap pemain dituntut memiliki skill, dan harus mencipta gol.
Para pakar ekonomi dunia modern pun mengadopsi taknik samba dalam apa yang disebut mereka sebagai total football, dan Bu Winsu pun nampak menerapkan gaya ini dalam memacu kinerja pemerintahan Kabupaten Sangihe yang dipimpinnya sejak 2004 hingga 2011.
Bu Winsu berusia 61 tahun ketika kami ngobrol sore itu. Ia sudah 2 tahun menjadi Bupati Sangihe. Sebelumnya ia menjabat Sekretaris Kota (Sekot) Manado, lalu terpilih menjadi Wakil Bupati Sangihe periode 2001-2006 mendampingi Bupati A.J.Th. Makaminan. Namun ketika Bupati A. J. Th. Makaminan meninggal dunia pada 2004, Bu Winsu dilantik menjadi Bupati defitif hingga akhir periode 2006. Ia kemudian kembali terpilih menjadi Bupati Sangihe periode 2006-2011 bersama wakilnya Jabes E Gaghana, SE.
Di pulau-pulau Nusa Utara, Bu Winsu dikenang warga lewat beragam kenangan. Dan saya yakin, hari ini semua meneteskan air mata atas kepergian tokoh yang dikenal sebagai orang baik itu. Sebagai pemimpin, ia dikenang sebagai orang yang selalu berada di tengah cerita hidup masyarakatnya, jauh sebelum dan sesudah kepulauan itu mekar menjadi 3 Kabupaten. Semua mengenal dia, Bu Winsu, pribadi yang rendah hati, memperhatikan nasib kaum bawah negerinya. Mengasihi masyarakatnya dengan tulus hati, meski tak berarti ia tak pernah disakiti.
Sebagai bupati, sebagimana kelincahan dan daya lenting Samba, selama memimpin Sangihe, Bu Winsu dikenang dengan gaya pembagian kewenangan pada struktur pemerintahan paling bawah dan menengah. Cara itulah yang telah memangkas panjangnya birokrasi pelayanan publik dan efektif memacu kinerja pemerintahan di wilayah kepulauan. Kebijakan dan keputusan-keputusan yang berpusat pada Bupati dipangkasnya. Artinya Kepala kampung,dan Camat bisa melahirkan kebijakan dengan mengacu pada aturan baku yang telah ada. Hal ini juga berlaku pada instansi lain dan dinas-dinas kabupaten. Dengan kebijakan tersebut, Sangihe sontak mengalami kemajuan di semua sektor pembangunan di era 2 periode kepemimpinanya.
Dengan gaya Samba-nya, ia bisa dikata berhasil menghapus warna kemuraman negeri berpenduduk 194.581 jiwa yang 83,3 persen bermata pencaharian pertanian. Sektor industri dan perdagangan mengalami peningkatan pesat dengan angka pertumbuhan 12,29 persen. Nilai investasi naik sebesar 4,9 persen. Jumlah ekspor komoditas melonjak tajam. Komoditas pala dan fuli meraup Rp. 102,5 miliar pertahun. Ekspor kopra ke Filipina mencapai 120 ribu ton. Sementara ekspor furniture bambu berhasil menembus pasar manca negara. Terbangunannya 20 ruas jalan dan jembatan. perluasan Bandar Udara Naha. Ratusan perumahan bagi warga miskin dan rehabilitas lingkungan kumuh. Pembangunan jalan lingkar dan fasilitas air bersih dan pasar di sejumlah wilayah. Menguak keterisolasian kampung-kampung menjadi sentra pertanian. Penyerapan tenaga kerja mengalami pertumbuhan 23,95 persen. Pertumbuhan ekonomi naik 1 persen di atas angka rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.
Saya memiliki kelimpahan catatan, data dan angka-angka kemajuan Sangihe dari era kepemimpinan Bu Winsu di Sangihe. Namun saya tak begitu tertarik merefleksi angka-angka dan data di atas. Saya lebih memilih mengenang momentum-momentum sederhana dari tahun-tahun kedekatan saya dengan sang legenda, semisal sebuah pertanyaan: “Di mana letak Sangihe?”
Tahun 2003, dalam pelayaran dari Manado ke Tahuna, dengan gaya berkelakar, ia melontarkan pertanyaan itu. “Di mana letak Sangihe?” Bukankah ini suatu pertanyaan yang terasa konyol. Saya tertawa saja. “Jika saya bertanya dimana letak Slovenia, apakah itu juga sebuah pertanyaan yang konyol?” Begitulah Bu Winsu mengutip sebuah pertanyaan seorang novelis Barat kepada tokoh dalam karyanya yang bernama Veronica yang hendak bunuh diri. Veronica, kata Bu Winsu tak punya waktu menjawab pertanyaan itu karena ia terburu-buru bunuh diri. “Tapi kita harus punya waktu untuk menjawabnya,” ujarnya.
Jangankan di tahun 2003, bahkan di tahun 2021 saat ini, ternyata masih banyak orang yang tidak tahu di mana letak Sangihe. Bukti paling dekat soal ketidaktahuan itu dapat terlihat dalam proses keluarnya izin eksplorasi tambang emas PT Tambang Mas Sangihe (TMS) yang meliputi lebih dari setengah pulau Sangihe.
Namun saya tak hendak membicangkan luas tambang yang diproyeksi menggaruk lahan seluas 42.000 ha atau 57% dari luas pulau Sangihe yang hanya 73.689 ha. Terkait pertanyaan itu, saya lebih ingin mengafirmasi posisi strategis Sangihe dari sisi sosial ekonomi, yang menjadi konsen besar sang pemimpin dan pemikir Sangihe itu.
Begini! Drs. Winsulangi Salindeho dan Pitres Sombowadile, ST, pernah menulis buku berjudul: “Daerah Perbatasan, Keterbatasan, Pembatasan”. Buku jenial tersebut menggambarkan Sangihe sebagai kawasan peri-peri tingkat tiga dalam sistem pengisapan pusat terhadap daerah. Negara (penguasa) seperti dikritik Marx telah berada dalam kelas atau pihak yang berdikotomi dengan kelas rakyat. Kekuasaan yang bersekutu cuma dengan kaum kaya dan kapitalis pemilik modal. Rakyat jadi obyek dagelan, lantas terlantar dalam lapar.
Sangihe ketika itu, tak lebih dari musim perayaan golongan kaya, para pemilik modal yang mampu membangun usaha perikanan dan menikmati kekayaan laut di sana. Menguasai perkebunan pala, kelapa, dan semua usaha sektor pertanian, dan perdagangan.
Rakyat kecil adalah petani, buruh dan nelayan tradisional yang hanya bermodal perahu kecil tak bisa meraih lebih selain sekadar mengais hidup untuk sehari. Orang-orang yang hidup jauh dari bayangan kesejahteraan.
Bukankah ini sebuah ironi bagi negeri 112 pulau dengan luas wilayah 95 persen laut, 5 persen darat. Di negeri yang potensi lestari perikanannya mencapi 100.000 ton pertahun. Di negeri yang dijuliki para eskader kapal pemburu rempah era kolonial sebagai negeri ringgit kaya rempah, dengan kebun pala setiap periode panennya bisa meraup Rp. 110 miliar. Di kawasan paling utara di Timur Indonesia yang langsung berbetasan dengan Negara Filipina yang harusnya bisa memetik peruntungan dari letak strategisnya bila kawasan terluar (baca: terdepan) benar-benar dijadikan beranda depan dalam politik ekonomi nasional.
Dan lagi-lagi beruntung saya menjadi saksi dalam tahun-tahun kepemimpinannya di Sangihe saat ia mendedikasikan seluruh kemampuan, impian dan visinya dalam menjawab pertanyaannya sendiri: “Di mana Letak Sangihe?” Untuk menjawab itu, Bu Winsu memilih tak bunuh diri. Ia bukan Veronika, sang tokoh fiksi dalam novel Barat. Ia putra Nusa Utara yang yang teguh berjuang membawa daerahnya dari sebuah mimpi buruk keterbelakangan menjadi baranda depan Indonesia. Dengan segala kemampuannya ia memposisikan nilai strategis Sangihe dalam dinamika global dengan bertumpu pada posisi geografis di bibir Pacifik dengan mengkolaborasi berbagai terobosan di bidang ekonomi.
“Sangihe jangan dibiarkan terus jadi penonton, tapi harus diubah menjadi pelaku ekonomi karena kita berada di kawasan yang strategis dalam peta perdagangan dunia,” ungkapnya dalam sebuah wawancara eksklusif saya dengan dia di tahun 2009.
Dan dengan segala daya upayanya itu, dua periode mengabdi di Sangihe, Bu Winsu telah menjadi legenda hidup masyarakatnya. Bagi kalangan Nusa Utara, membincangkan Bu Winsu, ia tak saja mantan Bupati, tokoh pendiri Kabupaten Kepulauan Talaud dan Sitaro, perintis pendirian Politeknik Negeri Nusa Utara (Polnustar), penggagas rencana pembentukan Provinsi Nusa Utara. Lebih penting dari semua itu, ia dipandang sebagai orang tua bagi seluruh warga Nusa Utara.
Menjelang, pemilihan legislatif 2019, Bu Winsu menyempatkan waktu bertandang ke rumah saya di suatu siang di bilangan Tuminting, Manado. Ketika itu sosok kelahiran 7 Februari 1945i ini telah berusia 74. Ia nampak bugar, sehat dan berapi-api seperti dulu. Ia ingin bertukar pikiran soal rencananya akan maju dalam pemilihan anggota DPRD Provinsi Sulut dari Dapil Nusa Utara. Saya mendukungnya dengan cara saya sebagai jurnalis. Ia terpilih untuk kembali mengabdi bagi negeri yang ia cintai hingga 15 Agustus 2021 saat pertandingannya selesai di dunia fana ini.
Selamat jalan tokoh terbaik Nusa Utara, selamat jalan orang tuaku tersayang. Kiranya istri, anak-anak dan sanak saudara yang ditinggalkan senantiasa dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis : Iverdixon Tinungki
Discussion about this post