Minut, Barta1.com — Warga Desa Paputungan menyebut keberadaan Eco Family Hotel (EFH) telah memisahkan kehidupan mereka dengan lautan. Pembangunan hotel di wilayah pesisir Likupang Barat, Minahasa Utara, itu juga dituding tak mengantongi izin terkait analisa dampak lingkungan.
Jumat (19/03/2021), Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN Manado telah menggelar sidang pemeriksaan lapangan di lokasi pembangunan EFH. Hotel yang dikelola PT Bhineka Mancawisata (BMW) tersebut diperkirakan berdiri di atas lahan seluas 300-an Hektar. Terletak di pesisir, sehingga bila nantinya bangunan 16 lantai itu selesai berdiri, tamu hotel bisa mengeksplorasi keindahan laut biru dengan hamparan Pulau Bunaken, Siladen, Manado Tua dan Naen.
Proses pengadilan sendiri dilatari atas laporan masyarakat berbentuk pelanggaran hak asasi dan masalah lingkungan. Paputungan, desa yang dihuni mayoritas nelayan, merasa dirugikan karena akses melaut kini terhalang keberadaan hotel.
“Masyarakat di sini merasa sangat dirugikan karena minimnya akses masuk nelayan akibat pembangunan tersebut. Tak hanya itu, terumbu karang jadi rusak dan ikan-ikan pun lari.” ujar Evert Makalare, warga Paputungan.
Lokasi pembangunan Hotel Eco Family di Likupang Barat Minahasa Utara oleh Manado 2Sidang lapangan bergulir siang hari, dipimpin langsung Ketua Majelis Hakim Budi Hartono didampingi Alan Basyier selaku Hakim Anggota. Menghadirkan pihak-pihak bersengketa yaitu PT BMW, dan 5 orang sebagai perwakilan masyarakat setempat.
Sidang lapangan bergulir Jumat siang dipimpin Ketua Majelis Budi Hartono didampingi Alan Basyier selaku Hakim Anggota. Proses itu turut menghadirkan pihak-pihak bersengketa yaitu PT BMW dan 5 perwakilan masyarakat setempat.
“Sesuai tahapan telah dilakukan sidang lapangan di lokasi objek sengketa. Selanjutnya akan dilakukan persidangan terbuka untuk umum. Sidang selanjutnya tidak ada tatap muka dan temu, namun hanya melalui elektronik. Nanti akan kembali hadir langsung di persidangan untuk pembuktian surat dan maupun pembuktian saksi.” singkat Basyier
Selanjutnya, Sidang sengketa objek Likupang Eco Family Hotel nanti akan dilakukan 25 Maret minggu depan. Claudio Tumbel selaku kuasa hukum warga mengatakan kepada media, pembangunan Likupang Eco Family Hotel telah menimbulkan kerugian besar dan sangat berdampak bagi masyarakat dan lingkungan.
“Kita sudah memantau langsung, di mana telah terjadi reklamasi pantai. Karang yang ada di sana sudah dirusak dan ada penutupan akses bagi warga yang akan melaut, serta mangrove pun telah dirusak akibat pembangunan hotel. Fakta ini sudah terungkap pada saat sidang lapangan,” jelasnya.
PT BMW diduga juga bermasalah soal izin Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL). Didi Koleangan, mewakili Yayasan Suara Nurani, meyakini bahwa Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup (SKKLH) yang dimiliki PT BMW diterbitkan pejabat berkompeten tanpa disertai izin AMDAL.
“Aturan yang seharusnya, perusahaan mendapat izin lingkungan setelah ada AMDAL. Namun kenyataan yang terjadi, PT BMW tidak punya AMDAL. Karena warga setempat, sama sekali tidak pernah dilibatkan dalam pengurusan AMDAL. Itu merupakan perbuatan yang melawan hukum.” pungkasnya.
Untuk diketahui, Pasal 111 UU Lingkungan Hidup mewajibkan perusahaan untuk memiliki AMDAL. Pada Ayat 1, Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000 (tiga miliar rupiah). (*)
Peliput: Kimberly Mongkau
Discussion about this post