
Catatan
Sovian Lawendatu
Gereja, sebagai persekutuan orang-orang Kristen, pada prinsipnya bukan massa. Benar, bahwa “persekutuan” dan “massa” sama-sama membentuk kumpulan atau kebersamaan orang-orang.
Namun, ada perbedaan hakiki antara “persekutuan” (communion) dengan massa (mass). Perbedaannya dijelaskan oleh filsuf Gabriel Marcel sebagai berikut.
Persekutuan (communion) adalah kebersamaan yang bersifat intersubjektif. Artinya, setiap individu diperlakukan atau memperlakukan diri sebagai subjek yang berotonomi (eksistensial). Mengapa demikian? Sebab kebersamaan dalam bingkai persekutuan adalah kebersamaan yang berlandaskan cinta kasih, dan cinta kasih itu, kata Marcel, adalah eksistensi hakiki Allah (God).
Kata kunci hakikat relasi antar-anggota persekutuan dalam filsafat Marcel adalah : I – Thou (Aku – Engkau). Ini berlaku secara vertikal dan horisontal.
Berbeda dengan persekutuan, massa adalah kebersamaan yang dibangun secara terobjektivisasi. Relasi antarindividu dalam massa dengan demikian bersifat “saling mengobjeki”. Serentak dengan itu, semua individu dalam massa menjadi objek kekuasaan yang berada di luar diri mereka.
Kata kunci hakikat relasi sesama manusia dalam massa adalah : I – It (Aku – Ia). Ini mengingatkan filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre. Memang ini perbedaan Marcel yang theis/monotheis dengan Sartre yang atheis.
Perbedaan hakiki antara Persekutuan dan Massa dalam pandangan Marcel tadi niscaya berimplikasi pada pola pikir dan sikap hidup manusia secara universal. Di dalam persekutuan, manusia membutuhkan keleluasaan berpikir rasional dan objektif demi tercapainya makna kehidupan bersama yang sesungguhnya. Sebaliknya, di dalam massa, manusia kehilangan individualitas, rasionalitas dan objektivitas karena massa hanya instrumen/objek, bukan subjek.
Marcel jelas merayakan persekutuan daripada massa. Perayaan ini mencapai titik temunya pada kedalaman makna ideal keberadaan Gereja sebagai persekutuan Kristen yang berlandaskan kasih Allah.
Tinggal persoalannya sekarang, bagaimanakah Gereja menjalani eksistensinya tersebut?
Fenomena yang muncul belakangan kebersamaan hidup kita sebagai Gereja atau di dalam Gereja cenderung terkikis dari makna persekutuan menjadi massa. Penyebabnya adalah pelayanan Gereja lebih dikelola dengan pendekatan kekuasaan daripada kasih.
Ekses dari keterkikisan itu adalah mencuatnya dominasi sikap irasional dan subjektivisme atas pemikiran kritis, rasional dan objektif. Salah satu contohnya adalah adu argumen seputar agenda pelaksanaan SMSI.
Persoalan begini seharusnya disikapi secara kritis, rasional dan objektif, karena SMSI adalah persoalan Tata Gereja yang lahir dari pemikiran-pemikiran akademis teologis/eklesiologis yang didukung dengan kajian-kajian linguistik, sosiologi, ilmu manajemen, bahkan ilmu hukum.
Tapi adu argumen di tengah-tengah kondisi kehidupan gereja yang sudah terjerembab ke selokan massifikasi membuat pemikiran kritis, rasional dan objektif hanya diperhadapkan dengan irasionalitas dan subjektivitas yang praksisnya lebih memperdengarkan gemuruh tempik sorak dukungan terhadap ketidakbenaran.
Irasionalitas dan subjektivitas itu lebih fenomenal di kutub “mayoritas diam” (silent mayority). Kutub inilah wajah sesungguhnya dari sebuah Gereja yang terlanjur menjadikan dirinya sebagai massa ketika kutub ini mengaminkan agenda pelaksanaan SMSI yang menabrak tatanan hakiki dalam organisasi gereja (baca: Tata Gereja). (**)
14032021
Sovian Lawendatu adalah pengajar, aktivis gereja dan admin Grup Transformasi GeMIM
Discussion about this post