Bitung, Barta1.com — Kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Dewan Pimpinan Cabang Kota Bitung menggelar audiensi dengan DPRD Kota Bitung, terkait Pengesahan UU Omnibus Law Senin (12/10/2020). Beranggotakan 7 orang para kader GMNI ini diterima oleh Ketua DPRD Kota Bitung Aldo Ratungalo, Ketua Komisi II Erwin Wurangian, Sekretaris Komisi II Geraldi Mantiri dan Benno Mamentu dari Komisi I.
Melalui audiensi tersebut Giprianto Damulawan selaku Wakil Ketua Bidang Pengembangan Ekonomi Gerakan DPC GMNI Bitung mengemukakan persoalan yang mereka bawa terkait UU Ciptaker. menurut dia pengesahan UU Ciptaker 2020 tidak memiliki urgensi dan kepentingan memaksa dalam situsi gejolak pandemi.
Hal ini kemudian menurutnya dilihat dari tidak melibatkan banyak pihak dalam arti cacat secara subtansi dan prosedur.
“Ini nyatanya bergeser dari semangat Pancasila yang tidak berkeadilan sosial di mana dalam pasal-pasal cenderung kapitalistik dan neoliberalistik,” tegas dia.
Ketua DPC GMNI Bitung Inggreyit Ch Kumentas menambahkan, Pasal 121 UU Ciptaker mengubah pasal 8 dan pasal 10 UU nomor 12 tahun 2012 tentang pengadaan lahan bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Menurut Kumentas, pasal ini sangat merugikan warga sipil di mana pemerintah bisa kapan saja menyerobot lahan warga sipil dengan ganti rugi yang murah.
“Dilihat dari gambaran pasal ini yang menjelaskam jika orang tua kita punya lahan atau rumah bersertifikat dan dalam keadaan normal lahan atau rumah bersertifikat itu bisa laku 500juta, namun karena kawasan tersebut strategis, maka pemerintah akan membuat rencana pembangunan kawasan industri baru di tempat itu. Pemerintah bisa menyerobot lahan atau rumah ini dan membayar ganti rugi jauh di bawah harga normal yaitu 500juta,” tegasnya.
Bagaimana jika kita menolak ? menurut Inggreyit, pemerintah tetap akan menggusur lahan atau rumah warga dan menitipkan uang ganti rugi di pengadilan.
“Ini menunjukan secara tidak langsung, semua harus tunduk atas nama kepentingan umum atau investasi,” terangnya.
Lain halnya dengan Komisaris DPK Matius GMNI Bitung, Richardo Pangalerang, yang membahas tentang pasal kontroversi Bab IV tentang Ketenagakerjaan. Pada Pasal 59, UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak. Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan mengatur, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan peraturan pemerintah. Sementara UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.
“Dalam Pasal 79, Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan dipangkas. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 81 angka 23 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 UU Ketenagakerjaan. Pasal 79 ayat (2) huruf (b) UU Cipta Kerja mengatur, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan,” terangnya
Selain itu lanjut Bung Ical sapaan akrabnya, Pasal 79 UU Cipta Kerja juga menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun.
“Ini dilihat dari Pasal 79 ayat 3 hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus. Pasal 79 Ayat 4 menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Kemudian, Pasal 79 ayat (5) menyebutkan, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama,” tambahnya.
Dirinya juga sangat menyayangkan Pasal-Pasal UU Ketenagakerjaan yang diganti seperti aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan dihapus lewat UU Cipta Kerja. Penghapusan ini tercantum dalam Pasal 81 angka 29 UU Cipta Kerja yang menghapus Pasal 91 UU Ketenagakerjaan.
Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian Pasal 91 ayat (2) menyatakan, dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain tercantum pada Pasal 91, aturan soal larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan juga dijelaskan pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan.
“Namun, dalam UU Cipta Kerja, ketentuan dua pasal di UU Ketenagakerjaan itu dihapuskan seluruhnya,” lanjut dia.
Selain itu, UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja atau buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 81 angka 58 UU Cipta Kerja yang menghapus Pasal 169 UU Ketenagakerjaan.
“Ini juga dilihat dari Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan, pekerja/buruh dapat mengajukan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika perusahaan, di antaranya menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam,” ucapnya.
Pengajuan PHK juga bisa dilakukan jika perusahaan tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih. Ketentuan itu diikuti ayat (2) yang menyatakan pekerja akan mendapatkan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156.
“Namun, Pasal 169 ayat (3) menyebutkan, jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, hak tersebut tidak akan didapatkan pekerja. Pasal 169 ini seluruhnya dihapus dalam UU Cipta Kerja,” jelas Bung Ical.
Setelah mendengar uraian dari aktivis mahasiswa GMNI Kota Bitung, Erwin Wurangian mengatakan memang ada beberapa hal menurut kacamata saya pribadi juga ada yang kurang adil, oleh karena itu dirinya dan anggota DPRD lainnya akan membawah langsung ke anggota DPR RI, sebagai draft aspirasi dari daerah Kota Bitung.
“Tetapi untuk menjawab pertanyaan ini kami akan membawa aspirasi ini, kalaupun ada hal-hal yang tidak berpihak kepada rakyat, pasti kami akan menolak. Bisa bersabar beri kami waktu satu minggu untuk mencari tahu, dan apabila ketika kami mencari kejelasan di DPR RI dan UU ini tidak memihak kepada masyarakat saya akan menjadi barisan paling depan yang menolak,” tegas Wurangian.
Sementara itu Geraldi Mantiri yang menanggapi hal tersebut mengatakan, dirinya sempat membahas persoalan mengenai hal ini.
“Kami juga berusaha untuk menyurat ke DPR RI untuk sosialisasi akan hal ini, karena melihat sampai sekarang pun kami tidak memegang draftnya, jangan sampai disposi orangnya yang belum tentu,”
Menutup audiensi tersebut Aldo Ratungalo menjelaskan aspirasi ini adalah aspirasi masyarakat kota Bitung.
“Apa yang disampaikan tadi akan kami sampaikan sebagai aspirasi masyarakat Kota Bitung yang akan kami sampaikan ke DPR RI, intinya tidak akan kami tangguhkan atau abaikan,” pungkasnya . (*)
Peliput: Meikel Pontolondo
Discussion about this post