Agar pada akhirnya bisa dipahami, esoterisisme tampaknya harus terlebih dahulu melepaskan diri dari peristiwa-peristiwa yang melingkupinya. Semisal keluar dari sejarah empirisnya sebagai istilah untuk menunjuk sejumlah besar arus pemikiran dalam suatu ciri tertentu. Esoterisisme harus terlebih dahulu dipelajari sebagai sekumpulan gagasan dengan ciri tertentu. Faivre telah mencoba yang terbaik untuk mengambil jalan ini tanpa harus mengabaikan rigoritas akademisnya. Dan kita memiliki enam karakter esoterisisme Barat yang sangat membantu dalam memahami sejumlah besar arus beragam itu tanpa kehilangan pegangan pada makna yang lebih umum dari esoterisisme.
Sesungguhnya tidak ada yang berkepentingan dengan definisi esoterisisme karena setiap orang yang mencoba menyelam ke dalam wawasan ini akan segera menemukan kesulitan untuk mencapai sebuah pemahaman definitif atas istilah (atau, lebih tepatnya) samudera itu. Tapi pada saat yang sama, kita bisa merasakan adanya “sesuatu” atau bisa juga “beberapa suatu” yang secara begitu saja bisa kita kenali; kita bisa mengenalinya tanpa harus terantuk pada upaya memberi definisi.
Dan dalam banyak hal, acuan kita tidak akan terlalu jauh melenceng satu dari yang lain saat membicarakannya. Atau mungkin kita bisa begitu saja menghindari istilah ini tanpa menghindari semua yang harus kita bicarakan mengenai hal ini. Saya, misalnya, menangkap rangkaian pengertian yang sama saat seseorang membicarakan okultisme. Sejauh apa yang dia sebutkan bergerak dalam ‘air de familie’ dari narasi tentang pengetahuan tersembunyi, tertolak dan/atau terbatinkan, saya akan mendengar istilah okultisme yang dia gunakan dalam irama yang sama dengan apa yang saya pahami sebagai esoterisisme. Bahkan dalam arti dan alasan tertentu, saya bisa memikirkan okultisme sebagai bagian dari esoterisisme (misalnya, jika kita mengacu pada okultisme sebagai arus pengetahuan yang muncul pada abad 19 dengan tokoh-tokohnya seperti Eliphas Levi dan Papus).
Esoterisisme mungkin juga dipahami dalam lingkup yang sepenuhnya universal. Kita bisa membicarakan esoterisisme sebagai esoterisisme begitu saja dan mengandaikan setiap arus pikiran dan pengetahuan yang kita kenali berada dalam ciri yang sama sebagai bagian dari sebuah samudera yang sama – sebetapapun “yang sama” itu selalu memiliki keunikan dan perkecualiannya tersendiri. Dari sini kita bisa membicarakan tantra, tao dan kejawen dalam kesejajarannya dengan sufisme, teosofi atau kabbalah. Pengertian yang lebih mendetail dan penemuan keunikan yang membedakan satu dengan yang lain tidak akan mengeluarkannya begitu saja dari apa yang bisa kita kenali darinya sebagai esoterisisme. Pemahaman akan universalitas esoterisisme justru akan sangat membantu kita dalam memahami satu per satu arus pikiran dan pengetahuan di dalamnya.
Akan tetapi, manakala yang kita butuhkan adalah identifikasi dengan pengertian mendalam – sesuatu yang pada akhirnya harus kita miliki justru agar kita bisa menangkap universalitas esoterisisme itu sendiri – atas satu per satu arus pikiran dan pengetahuan itu, kita harus juga mengenali keunikan esoterisisme dalam bagian-bagiannya yang kurang universal. Semisal saat kita coba memahami teosofi Kristen dalam garis Boehme – Saint-Martin – Baader yang akan sulit kita situasikan dalam lingkup esoterisisme kecuali kita terlebih dahulu memahami adanya sebentuk esoterisisme yang unik bagi dunia Barat Kristen. Dalam hal semacam inilah kita bisa menerima adanya pembatasan tertentu atas apa yang kita sebut sebagai esoterisisme tanpa harus berhenti mengenali universalitasnya. Pembatasan yang, sekali lagi, bisa lebih dikenali daripada harus didefinisikan. Sebentuk pembatasan rekognitif dan bukan definitif.
Sebagaimana yang sudah saya isyaratkan, mempelajari esoterisisme adalah menyelam ke dalam samudera tak bertepi atau masuk ke dalam dunia seribu pintu. Tapi itu bukan berarti memahami segala-galanya sebagai esoterisisme. Bahkan dalam atmosfir yang sekira sama dari apa yang kita kenali sebagai esoterisisme, kita harus berhati-hati dalam mengenalinya. Mistisisme secara umum, misalnya, tidak bisa begitu saja kita anggap sebagai esoterisisme dalam pengertiannya yang lebih ketat sejauh kita mengenali ciri-ciri tertentu dari esoterisisme yang bahkan sulit untuk kita bahasakan secara lebih sistematis. Adanya fitur-fitur mistisisme dalam esoterisisme tidak membuat seluruh yang bisa kita kenali sebagai mistisisme adalah juga esoterisisme.
Bagaimanapun juga, esoterisisme memiliki ciri dan cara tertentu dan itulah kenapa upaya karakterisasi Faivre menjadi berguna dalam caranya sendiri bagi pemahaman yang lebih mendalam atas esoterisisme – dalam hal ini, dengan sangat berhati-hati, Faivre lebih berbicara mengenai esoterisisme Barat daripada sebentuk esoterisisme universal. Dalam sebuah catatannya, Stuckrad bahkan menunjukkan keterbatasan tertentu dalam karakterisasi Faivre tapi kita bisa memahami kritik Stuckrad ini sebagai catatan yang lebih berkepentingan pada telaah akademis akan esoterisisme Barat.
Dan memang, lepas dari klaim yang dibawanya, karakterisasi terhadap esoterisisme tak bisa lebih dari sistematisasi pemahaman yang mau tak mau akan membatasi. Mengenali esoterisisme (terutama esoterisisme Barat) dalam sapuan besar akan membantu kita menyadari keterbatasan-keterbatasan itu, menambah apa yang kurang dari karakterisasi Faivre dan mengurangi apa yang lebih. Tapi, di luar kepentingan akademis, karakterisasi itu, seperti yang sudah saya katakan, sungguh sangat membantu.
Dan enam karakter esoterisisme Faivre hanya satu dari sekian upaya lainnya untuk memberi kita kerangka pengenalan atas esoterisisme. Apa yang lebih darinya adalah kemungkinan bagi kita untuk, pertama, menggunakannya dalam memahami esoterisisme yang lebih universal – dalam arti keluar dari pembatasan Faivre sendiri bahwa ciri yang diajukannya lebih dimaksudkan untuk mengenali esoterisisme Barat. Dalam hal ini, kita bisa menggunakan karakterisasi Faivre bahkan untuk mengenali ciri esoteris dari Kejawen.
Dan saya berani menjamin bahwa bahaya yang menghadang cara kerja seperti ini hanya akan berlaku dalam pikiran akademis yang membutuhkan pembatasan; sesuatu yang saya kira kontradiktif terhadap keluasan esoterisisme itu sendiri. Hal yang memunculkan apa yang dalam wacana akademis esoterisisme disebut dengan jebakan ‘religionisme’ seperti yang disematkan pada kelompok Eranos, bahkan Faivre sendiri. Atau misalnya, peringatan akan bahaya menerapkan ciri pemikiran Barat pada gagasan Jawa; sesuatu yang sesungguhnya mustahil karena apa yang kita sebut “Barat” bagi esoterisisme sesungguhnya hanya spesifikasi historis.
Pemikiran teosofis Boehme memang Barat bahkan Jerman dalam cara ucapnya, tapi sudut dan lengkung kearifannya tidak bisa dipatok sebagai Barat atau Jerman dalam arti apapun. Dan saya kira, begitu juga dengan Kejawen yang pada titik akhir kearifan ajarannya sama sekali tak bisa kita kerangkakan sebagai semata Jawa. Mungkin dalam cara yang sama kita bisa mulai bicara tentang universalitas agama-agama.
Kelebihan kedua karakterisasi Faivre adalah kemungkinan untuk memahaminya keluar dari keterbatasan pengenalan akademis yang, dalam cara tertentu, sering menjauhkan kita dari pengertian yang lebih mendalam atas esoterisisme serta wawasan yang mungkin diperoleh darinya, terutama saat kita membicarakan satu arus tertentu dari esoterisisme Barat seperti Kabbalah, Gnostisisme, atau teosofi.
Apa yang saya sebut sebagai keterbatasan pengenalan akademis bukan hanya disebabkan oleh formalitas metodologi ilmiah yang dituntutnya tapi juga apa yang telah membuat wawasan Henri Corbin, Mircea Eliade dan Gershom Schollem, untuk menyebut beberapa nama dalam lingkaran Eranos, tampak kurang “ilmiah” dibanding para pendukung ‘agnostisisme metodologis’ dalam studi esoterisisme Barat, seperti Hanegraaff dan Stuckrad.
Dalam kasus terakhir ini, mari kita membuat perbandingannya dengan mengamati dua buku berbeda yang jelas ditulis dengan dua semangat berbeda dalam upaya mengenali esoterisisme Barat. Pertama, karya Wouter J. Hanegraaff, “Western Esotericism: A Guide for Perplexed.” Kedua, “The Secret Teachers of the Western World” karya Gary Lachman. Bersama dengan banyak buku lain sejenis, lebih atau kurang, keduanya telah mengantar saya dengan nyaman menyelami samudera esoterisisme Barat.
Apa yang sama dari kedua buku ini adalah upaya pengarangnya untuk membawa kita masuk ke dalam sejarah esoterisisme Barat dan membuka wawasan kita akan dunia seribu pintu itu. Dan untuk maksud ini, saya kira, kedua pengarang telah berhasil. Tapi apa yang membedakan mereka, bagi saya justru tampak lebih jelas. Berbeda dari Hanegraaff, Lachman tidak terkekang untuk menukik masuk ke dalam wilayah abu-abu dari esoterisisme Barat dan menarik keluar darinya sekian wawasan mengejutkan terkait dengan ajaran, prinsip dan, terutama, mitologi-mitologinya. Dengan cara ini, Lachman terbaca serupa Corbin. Dalam tulisan Lachman, seperti dalam Corbin, sikap yang tampak acuh atas kehati-hatian akademis justru memberi kita wawasan yang lebih bisa dipegang dalam mengenali esoterisisme Barat tanpa harus repot menjelaskan definisi kita mengenai hal itu.
Tentu saja ini tidak berarti buku Hanegraaff menjadi kurang penting atau kurang bagus. Bagaimanapun juga, agnostisisme metodologis Hanegraaff telah memungkinkan kita (atau dalam hal ini, saya) untuk membedakan antara memahami dengan percaya begitu saja. Menyelami kedalaman samudera esoterisisme Barat tidak hanya membutuhkan keberanian tapi juga persediaan oksigen yang cukup atau kita akan hanyut dan menghilang di kedalaman itu.
Dan persediaan oksigen itu bisa diberikan oleh tulisan-tulisan para akademisi empirik seperti Hanegraaff. Apa yang barangkali kurang dari Hanegraaff dan para akademisi sejenis adalah filsafat bagi esoterisisme. Mereka terlalu bertekun dengan fakta dan data, suatu tugas yang harus mereka emban dengan berhati-hati, sehingga kehilangan apa yang menjadi inti dari esoterisisme Barat, spekulasi filosofis. Pada titik ini – spekulasi filosofis – kita tiba pada manfaat ketiga dari karakterisasi Faivre, yaitu keterbukaan kerangka semacam ini pada spekulasi filosofis.
Keenam karakter esoterisisme Barat yang diajukan Faivre adalah prinsip-prinsip yang sepenuhnya bersifat filsofis dari esoterisisme. Misalnya ciri pertama Faivre, korespondensi, berlaku berdasarkan asumsi bahwa segala sesuatu di alam ini terkait satu dengan yang lain dalam cara yang hanya bisa dipahami secara spekulatif dan, pada saat yang sama, filosofis. Dengan pemanfaatan spekulasi filosofis semacam ini, esoterisisme menjadi bisa dikenali sebagai ruang terbuka intuitif yang setiap sudut dan bagiannya menghadirkan pada kita kemungkinan spekulatif yang tak terbatas dari penjelajahan gagasan dan pemikiran.
Tentu saja dengan cara yang kita sebut filosofis itu di sini bisa sangat berbeda dari apa yang kita pahami mengenai filsafat pada umumnya. Di sini, filsafat pun harus dipahami dalam kerangka esoterisisme itu sendiri, artinya sebentuk filsafat esoteris. Risalah Corbin mengenai ‘mundus imaginalis’ yang ditulis berdasarkan gagasan Suhrawardi soal itu adalah kajian filosofis yang mendalam mengenai apa yang bisa kita sebut sebagai filsafat esoteris dimaksud. Faivre sendiri dalam bukunya “Access to Western Esotericism” pun membicarakan beberapa model metodologis dari filsafat esoteris sejenis.
Yang pokok, keterbukaan karakterisasi esoterisisme Faivre pada spekulasi filosofis menghindarkan kerangka sejenis dari pengenalan yang bersifat permukaan. Kita bisa menggunakan kerangka tersebut untuk masuk lebih dalam kepada satu atau lebih arus esoterisisme tanpa kehilangan pegangan atas apa yang kita pelajari secara umum. Di sini, definisi menjadi semata pengertian awal untuk memiliki pijakan dalam melangkah lebih jauh lagi.
Atau mungkin kita tidak membutuhkan sama sekali sebuah definisi ketat atas hal itu. Kita telah mengenali apa yang sedang kita pelajari sekalipun kita telah memasukinya lebih jauh. Dan itu yang paling penting karena dengan cara demikian kita juga bisa mengenali apa yang bukan esoterisisme, semisal mistisisme yang menurut Arthur Versluis hanya separuh pengertian dari esoterisisme – paruh lainnya adalah dunia magis dari gnosis kosmologis.
Apa yang menjadi tujuan dari tulisan ini pada akhirnya adalah ajakan untuk mempelajari esoterisisme – termasuk dan terutama esoterisisme Barat – dengan cara mempelajari sebanyak mungkin bahan dan tulisan mengenai hal itu. Dan pengetahuan yang kita peroleh akan menuntun kita untuk mengenalinya sedikit demi sedikit hingga, pada satu titik tertentu, kita sudah bisa membicarakannya tanpa keluar dari pengertiannya yang mendasar, secara ajaib, tanpa membutuhkan sebuah definisi – sesuatu yang, sekali lagi, akan kita sadari sebagai kemustahilan.
Sebagaimana yang selalu saya sebutkan, esoterisisme (Barat) adalah dunia seribu pintu, untuk memahaminya kita harus berupaya sebisa mungkin memasukinya lewat seribu pintunya. Dan itu, dalam kasus saya pribadi, berarti membaca sebanyak mungkin buku yang tersedia mengenai dunia itu. Suatu langkah yang oleh beberapa orang dianggap telah dengan sukses mendamparkan saya di ranjang rumah sakit. Sesuatu yang, jika benar, harus saya syukuri sebagai bukti upaya yang lebih serius dari yang saya kuatirkan selama ini bahwa saya belum cukup keras belajar. (**)
Manado, 30 September 2020
Discussion about this post