Dia menjadi salah satu ikon budaya di Kepulauan Sangihe. Tanpa dia, barangkali tak banyak orang tahu tentang musik purba Oli dan simbol estetik ragam hias kain tenun Kofo warisan leluhur yang ia koleksi di rumahnya.
Sekitar tahun 2015, saya dan sahabat saya, pemerhati budaya Sangihe, Vanderwick Gansalangi, bertemu dengan “I akang Umbu” nama sapaan orang kebanyakan mengenalnya.
Ia pelaku budaya yang konsisten dalam hidupnya memainkan musik tradisi yang disebut Oli. Sebelum dipanggil keribaan Tuhan, barangkali dirinya menjadi satu-satunya orang yang hari ini mampu memainkan jenis musik tradisi ini. Sesudah ini entah siapa.
Menjadi pelestari warisan budaya baginya memang tak ringan di abad ini. Dalam kesaksiannya suatu waktu, ia menyampaikan keresahannya tentang orang-orang khususnya anak-anak muda di Kepulauan Sangihe yang hari ini kian meninggalkan tradisi budaya.
Khusus untuk musik Oli sendiri, ungkapannya cukup kritis waktu itu. Dalam bahasa Sangihe, ia mengatakan, “mageng ia menentang, mate lai apa liwu ini,” dalam bahasa Indonesia,“ kalau saya dipanggil Tuhan, alat ini (musik Oli) akan punah,” ungkapnya waktu itu.
Tak heran jika hari ini, memang tak ada satu individu yang bisa memosisikan diri seperti sosok pelaku budaya Yumbure Kalenggihang dalam kepiawaiannya memaikan musik purba tersebut.
Di masa hidupnya, rumahnya di Manumpitaeng, Kecamatan Manganitu, menjadi tujuan peneliti sejarah budaya, dosen, wartawan, hingga para fotografer-fotografer handal di tanah air.
Dia menjadi salah satu ikon budaya di Kepulauan Sangihe. Tanpa dia, barangkali tak banyak orang tahu tentang musik purba Oli yang berusia ratusan tahun, serta simbol estetik ragam hias kain tenun Kofo warisan leluhur yang ia koleksi di rumahnya.
Tak sedikit acara-acara kenegaraan dihadirinya membawa nama baik Kabupaten Kepulauan Sangihe. Helatan gelaran budaya seperti Tulude, tak lengkap rasanya tanpa tabuhan Tagonggongnya dan ritme Sasambo yang ia lantunkan. Wajar jika potret dirinya megah tergambar di dinding sebuah bangunan di kompleks pelabuhan tua Tahuna, apresiasi seorang seniman Lumondone Lalenoh.
Beberapa minggu sebelum ia menghembuskan nafas terakhir Micojan Bawuna, sempat mengunjungi rumahnya di Manumpitaeng. Bawuna yang merupakan pemerhati budaya sangat dekat dengan ‘Sesepuh’ Yumbure Kalenggihang. Hubungan mereka tercipta sejak tahun 2002, cukup lama, dan menurutnya dalam setiap helatan sosial budaya di Sangihe maupun Siau, dirinya kerap membawa almarhum untuk melantunkan Sasambo.
Ia tak menyangka pertemuan itu akan menjadi diskusi terakhir dirinya dan “Akang Umbu”. Melalui pertemuan itu, mereka berdua memformulasikan syair Sasambo guna menyambut kedatangan presiden Joko Widodo untuk meresmikan Bandar Udara Balirangen di Kabupaten Siau Taghulandang Biaro, yang tak lama lagi akan akan diresmikan.
Menurut Bawuna, penamaan Bandara Balirangen diangkat dari nama unggas bersayap yang dapat terbang atau burung, kemudian Balirangen adalah penggabungan dua kata, ‘Bali’ dan ‘Rangen’ yang artinya kembali ke atas ke udara.
“Secara historis Balirangen merujuk ke nama kampung Balirangen yang artinya dalam bahasa lokal “melintu hangke” menurunkan perahu, lalu kembali lagi ke atas. Jadi klop, Balirangen adalah unggas bersayap atau burung, Balirangen juga kembali ke udara, Balirangen juga kembali ke pangkalan landasan,” ungkap Bawuna.
Sehubungan dengan itulah beberapa minggu sebelumnya satu syair Sasambo mampu diciptakan oleh Yumbure Kalenggihang. Bawuna mengakui, Yumbure Kalenggihang memang mempunyai kelebihan tersendiri dari pelaku-pelaku budaya Sangihe lainnya.
“Kami berdua tertawa lepas ketika satu syair itu jadi dalam seketika. Bukan main, I akang Umbu memang punya kelebihan memformulasikan syair-syair Sasambo,” kata Bawuna.
“Manu Balirangeng Seng Timela Nengaeseng Tahulending,” begitu syair Sasambo ciptaan “I akang Umbu” untuk persiapan peresmian Bandar Udara Balirangen Siau Taghulandang Biaro. Secara harafiah arti dari Sasambo di atas merujuk pada bagaimana sebentar lagi angkutan udara yang akan beroperasi diwujudkan dalam simbol burung ‘Balirangen’ diharapkan menjadi berkat bagi banyak orang.
“Ini juga menurut saya berkaitan dengan kepergiannya, berdampak membagi-bagi berkat kepada orang lain. Sebab ia memang orangnya suka membantu orang lain,” kenang Micojan Bawuna.
Pelaku budaya Sangihe, Yumbure Kalenggihang menghadap Sang Khalik pada 12 September 2020 di usia 68 tahun setelah mendapat perawatan di RSD Liun Kendage Tahuna. Ungkapan duka datang dari berbagai kalangan, Bupati dan Wakil Bupati, Sekretaris Daerah dan Kepala-Kepala Dinas Kepulauan Sangihe yang juga turut hadir dalam acara pemakamannya. Demikian juga dosen-dosen seperti halnya doktor seni, dr. Glenn Latuni MSn yang turut menyampaikan ungkapan belasungkawa.
Peliput : Rendy Saselah
Discussion about this post