Sudah menjadi tradis Barta1.com, sejak awal berdirinya meniatkan penerbitan buku setiap tahunnya. Pada 2019 lalu, menerbitkan “Perempuan Petarung Dari Perbatasan” Sebuah Autorized Biography SWM. Pada perayaan HUT kedua 24 Juli 2020, hari ini, dilakukan peluncuran buku berjudul: NUSA UTARA , MASA PURBA HINGGA ERA KERAJAAN (Sebuah Reportase Sejarah dan Budaya) karya Iverdixon Tinungki.
Untuk menguak sedikit banyak isi buku tersebut, berikut ini kami sajikan pengatar buku yang ditulis Budayawan dan Jurnalis Senior Reiner Emyot Ointoe berikut ini:
PURIFIKASI MITOS NUSA UTARA: DARI TEKS, KONTEKS, KE KONTEN
Bagaimanapun, tugas utama manusia beradab adalah selalu siap untuk menulis ulang ensiklopedia (Umberto Eco,1998) Kebudayaan skriptural selalu akan melestarikan kandungan hakikat isi dan makna yang dituliskannya. Upaya untuk menyelamatkan sejarah kebudayaan suatu komunitas hanya bisa dihasilkan atau direproduksi oleh kemampuan para agen sebagai skriptor atau kreator yang mengampu dinamika dan aktualitas kebudayaan tersebut.
Apa yang dilakukan dalam menghimpun keberserakan kebudayaan lisan (oral tradition) yang dimiliki oleh suatu komunitas dengan sendirinya harus dicapai dengan mewujudkan kanonisasi dari tradisi lisan (orality) dan keberaksaraan (literacy) sebagaimana dikukuhkan oleh Walter J. Ong dalam “Orality and Literacy: The Technologizing of The Word” (1982).
Dari kebudayaan lisan yang kaya dan ragam, himpunan keaksaraan komunitas Nusa Utara yang dilakukan oleh seorang pengampu ini telah menunjukkan suatu usaha yang luar biasa. Keragaman dan kekayaan sumber-sumber yang masih dianut bahkan menjadi suatu ‘’klenik’’(cult) budaya setempat merupakan suatu strategi literer yang bersiasat atas gempuran kebudayaan-kebudayaan ‘’lisan dan aksara’’ yang tergolong liyan (the other) serta menjadi ancaman terhadap hak-hak eksistensial tumbuhnya atau kebertahanan suatu kebudayaan komunitas tertentu, semisal Nusa Utara.
Keadaan faktual dan mungkin kritis yang dihadapi oleh kemaujudan kebudayaan Nusa Utara yang selama ini terus survive, mendorong hasil penulisan (skriptural) buku ini menjadi suatu ikhtiar yang memiliki kekuatan tersendiri lebih dari sekedar dari niat lestari, subsisten bahkan ‘’cari selamat’’ dari kepunahan yang diakibatkan oleh faktor-faktor luar maupun faktor-faktor internal yang destruktif.
Hasil himpunan kanonisasi kebudayaan lisan Nusa Utara yang terkodifikasi pada teks-teks lisan masamper hingga sasambo dan mewujud pada tradisi akbar tulude, sedikit banyak, telah menangguhkan upaya kepunahan dengan ‘’bunuh kultural’’ pada komunitas yang dimaksud. Betapapun, keragaman tekstual ini memiliki ciri-ciri dan karakter unik dari penghayatan setiap sub-komunitas yang berjaya di sana.
Dengan kata lain, upaya rekonstruksi dari ancaman destruktif yang dihadapi oleh komunitas Nusa Utara — saya ikut mengukuhkan penamaan baru ini (Nusa Utara) sebagai rekonstruksi penulisnya (Iverdixon Tinungki) — telah dilakukan secara apik dengan pendekatan strukturalisme. Setidaknya, narasi-narasi atau wacana-wacana yang dideskripsikan dengan pendekatan dalam ilmu linguistik secara diakronik dan sinkronik, ikut menghidupkan peralihan historis dari heuristic (teks) ke konteks (hermeneutik) dan mengalami transformasi kondensasi (konten). Atau, menurut persepsi kewaktuan (sinkronik) yang diupayakan dalam tulisan ini dengan menjejaki durasi lama dari masa purba (neolitik) — karna beberapa data arkeologi dari Bellwood — masih bisa ditemukan situsnya dan juga bahasa sebagai artefak material kebudayaan yang tetap terawat.
Posisi tekstual yang diawali dalam tulisan buku ini sudah menunjukkan bahwa seluruh ekspresi dan impresi yang mewarnai deskripsi — katakan sejarah kebudayaan Nusa Utara — cukup memadai untuk direproduksi oleh pengampu dan kreatornya. Tanpa harus berkutat pada metode penulisan historiografi yang ketat (rigorous), deskripsi prolog Iver dari masa purba — dimulai dengan memakai metafora mitologi Pandora — bisa ditanggapi sebagai peretasan babak awal mitologi yang kelak bisa dimaknai (heuristik) dalam penelusuran John Rahasia pada Tagaroalogi. Meski tanpa harus merujuk pada mitologi Aquanus atau Dewa Ruci, babak mitologi bisa mengjelaskan dengan terang bahwa kosmologi Nusa Utara merupakan panduan harmoni antara laut dan daratan. Nomothete, pemberi nama, kisah-kisah mitologi pun masih bisa ditelusuri pada ekspresi simbolis Dewa Makaampo.
Deskripsi tekstual yang bertaburan baik lisan maupun aksara telah menunjukkan kemampuan membaca sejarah secara heurisitik dan dengan cekatan ikut memanfaatkan tradisi hermenuetik yang boleh dianggap mumpuni. Karna itu, kemampaun menghimpun keberserakan teks-teks dengan sendirinya membuka peluang luas dan melebar pada penataan ulang konteks yang dihasilkannya. Sebagaimana dianjurkan oleh para penganut strukturalisme dengan mendedahkan ciri-ciri dan karakter materialisme kebudayaan, di antaranya Marvin Harris(1927-2001), bahwa sejarah kebudayaan merupakan repertory of cultural traits yang mengandung pikiran (thoughts) dan gagasan (ideas) serta mengekspresikan nilai (values), motif (motives), moral-etika, hukum/aturan(rules) serta sistem sosial.
Teks-teks itu melampui dirinya dengan menghasilkan konteks-konteks yang dimaknai sebagai kandungan eksoteris (wujud) dan esoteric (hayat) yang menjadi dasar genealogi dari perkembangan sejarah kebudayaan Nusa Utara, sejauh itu dapat dijaga oleh kemahiran — meminjam istilah Walter Ong — dalam merekonstruksi himpunan dan jalinan ‘’teknologi kata-kata’’(technologizing words) untuk mencapai penggambaran faktual atas sejarah panjang komunitas Nusa Utara. Sekat-sekat mitologis dan gempuran modernisasi yang dihasilkan oleh kontak non-produktif dengan sang liyan (baca: kolonialisme) telah cukup banyak mencemari keaslian (otentik) dan kekhususan (einmalig) yang selama ini telah diproduksi oleh sejarah kebudayaan Nusa Utara sendiri.
Tanpa harus mengadopsi atau mungkin beradaptasi dengan kekuatan sang liyan, terutama dalam ‘’klenik-kargo” (cargo cult) kolonialisme (Spanyol-Portugis-Belanda-Jerman), harapan dan impian kultural itu nyaris tak bisa dienyahkan oleh kekuatan dan gempuran sang liyan. Apakah itu karna kemampuan alami (given) sebagaimana lazimnya kebudayaan-kebudayan asli (atavisme) bisa keluar dari demitologi dan desakralisasi pihak liyan, tampaknya karsa, hayat dan pranata sebagai pusaka abadi memang telah dikarunia kemampuan adialami yang sudah ada sejak Sangiang Ruata, Ghenggona Langi, Tagaroa, Sundeng hingga Gumanlangi sebelum datangnya pengaruh kulano (dari Maluku) bahkan datu/kedaton (Melayu) dan kapitan (Portugis).
Menelisik etimologi sangi (baca: tangis) atau tala (baca: bukan) aut (Latin: atau), wide (Belanda, wet = hukum) menunjukkan ada jejak linguistik yang mengalami tranlasi dengan konteks lokal bahkan kontennya. Demikian pula adanya penyebutan kawasan porodisa (Portugis: Paradise=firdaus). Jejak-jejak teks ini masih bisa diperiksa ke dalam bahasa tutur aslinya untuk dapat menunjukkan bagaimana kontak-kontak kebudayaan lokal itu mengalami kemajuan meski harus mengorbankan otentitas dan purifikasi (pemurnian) yang original (asali). Sebagai contoh, mitologi woilome sebagai perempuan lumpuh (lome) di Beo Talaud bahkan beberapa peran perempuan lainnya seperti Diode dan Masiole, dewi-dewi laut dalam tradisi lepasi. Jika mendekatkan tafsir ini dalam antropologi religi Mircea Eliade (1907-1986) atas mitologi Nusa Utara sebagai perspektif kosmogoni, maka bisa disimpulkan bahkan keaslian (purifikasi) kebudayaan Nusa Utara itu mengalami penafian atau profanitas.
Discussion about this post