Oleh: Adrianus Kojongian
Agama Kristen (Protestan) mulai masuk di Kepulauan Talaud pada akhir abad ke-17, ketika Kompeni Belanda (VOC) mulai berkuasa. Sebelumnya Kristen Katolik juga sempat dianut penduduk, terutama di Pulau Kabaruan yang dikuasai kerajaan Siau.
Pulau-pulau Talaud berada di jalur pelayaran kapal-kapal Spantol dan Portugis rute Manila-Siau-Manado-Ternate yang cukup ramai di abad ke-16 hingga paruh kedua abad ke-17, sehingga telah biasa disinggahi kapal termasuk padri Portugis dan Spanyol, yang juga memunculkan julukan Porodisa.
Nama Talaud mulai dikenal dunia sejak armada Spanyol dari Laksamana Ruy Lopez de Villalobos lalulalang mecari rute pulang ke pantai barat Meksiko dari Filipina dan menyinggahi Talaud di tahun 1544. Salah seorang kapten kapalnya Garcia D’Escalante menamai Talaud Las islas de Talao, sedangkan kapten lain Juan Gaytan (Gaetano) menyebutnya sebagai Isole di Tarao.
Tradisi populer di Sulawesi Utara, menyebut misionaris Katolik terkenal asal Spanyol Fransiscus Xaverius telah pula menjejakkan kaki di Kema Minahasa. Ia pun singgah di Pulau Kabaruan di Kepulauan Talaud untuk menyebarkan injil.
Dari kisah yang beredar sampai awal abad ke-20 di Kabaruan, tokoh yang digelari santo ini menghadiahkan kursi marmer dengan prasasti.
Tapi, Pater B.J. Visser MSC membantahnya tahun 1925. Menurutnya tidak ada bukti akurat dari tempo perjalanan atau persinggahan Fransiscus Xaverius yang terjadi tahun 1546 atau 1547.
Pater Jesuit A.J. van Aernsbergen mengungkap adanya kepercayaan penduduk negeri Damau yang masih diingat di Kabaruan tahun 1920-an akan adanya sebuah bekas biara Katolik yang pernah dibangun oleh padri Spanyol.
Bahkan, dari kisah yang didengarnya dari seorang mantan pejabat Belanda di Talaud, di biara itu dipercaya penduduk tersimpan harta karun. Upaya penggalian harta tersebut di masa lalu dilakukan oleh Posthouder Kepulauan Talaud J(ohannis) E(ugenius) Leidelmeijer. Namun barang berharga yang dikubur termasuk sebuah gading atau kursi emas tidak ditemukan.
Pengkristenan di Kepulauan Talaud sangat gencar dilakukan di periode 1660-an ketika Portugis dan Spanyol telah bersatu. Predikant Ternate Ds.Gualterus Peregrinus tahun 1678 melaporkan Pater Jesuit Jeronimo Zebreros (Hieronymo Crebueros) setelah bertugas di Pehe dan Tamako (Siau 1662), untuk beberapa waktu tinggal di Lirung.
Sementara catatan perjalanan Ds.Jacobus Montanus 1675 menyebut Pater Emanuel Espagnola (Emmanuel Espanol) yang bekerja di Ulu (Siau 1672-1677) pada masa itu telah melakukan banyak upaya untuk memperkenalkan agama Kristen di Talaud, bahkan dengan kekerasan.
Upaya para padri Katolik di Kepulauan Talaud berakhir tahun 1677 ketika Siau ditaklukkan dan para padri dibawa ke Batavia, kemudian pergi ke Macao.
Salah satu klausal penting dari kontrak politik yang dibuat Gubernur Maluku Robertus Padtbrugge dengan para raja Kepulauan Sangihe yang juga menjadi penguasa Talaud (selang 3 November-20 Desember 1677) adalah tidak mentolerir agama selain Protestan yang direformasi menurut doktrin Sinode Dordrecht. Kompeni Belanda (diteruskan pemerintah Hindia-Belanda) sejak kontrak tersebut, telah menganggap Kepulauan Talaud menjadi miliknya yang dipinjamkan kembali kepada para raja Sangihe.
Baik serentak atau secara bertahap, sejak tahun 1677, para raja dan penduduk di Sangihe-Talaud mulai beralih memeluk Kristen Protestan. Termasuk Siau dan koloninya di Pulau Kabaruan.
Kabaruan telah berkembang menjadi pusat pertumbuhan Kristen Protestan yang besar di Kepulauan Talaud di tahun 1680-an. Jemaat Kristen di dua negeri utamanya bahkan memiliki sekolah dan gereja.
Guru pertama di Talaud yang ditempatkan oleh Ds.Cornelius de Leeuw (bertugas di Manado 1680-1689) dapat dipastikan di Kabaruan.
Selain Kabaruan, penduduk Kristen dilaporkan tahun 1685 berada di Pulau Salibabu sebanyak 30 orang. Pulau Karakelang 10 orang Kristen dan Pulau Lanusa (Nanusa) 3 orang Kristen. Tapi, orang Kristen di tempat ini tak lama berselang hilang.
Tahun 1689 Jemaat Protestan di Kabaruan dikunjungi Predikant Ternate Gellius Cammiga. Jemaat berada di dua negeri, yakni Taduwale (sekarang desa di Kecamatan Damau) ditulis Towadebale, dan Mangaran (desa di Kecamatan Kabaruan) disebut Manare atau Manenare.
Valentijn mencatat di tahun 1695 di Kabaruan, yakni di Towadebale dan Manare terdapat 1.164 orang Kristen. Juga ada dua sekolah, dua gereja dan seorang guru dengan 29 orang murid.
Jemaat Kristen di Kabaruan tahun 1705 sebanyak 2.020 orang masih dikunjungi oleh Ds.Arrnoldus Brands. Ia melaporkan di Mangaran terdapat 1.000 orang Kristen, tapi tanpa anggota sidi, dan sekolahnya memiliki 82 murid, dua diantaranya anak perempuan.
Sedangkan di Taduwale terdapat 1.020 orang Kristen. Sekolahnya memiliki 90 anak dengan 20 murid perempuan. (bersambung)
LITERATUR
-Brilman, D. De Zending op de Sangi-en Talaud-Eilanden,1938.
-Buddingh, Dr SA Neerlands-Oost-Indie,1852-1857, Rotterdam,1860.
-Burgerlijke Stand, Huwelijken te Menado.
-Delpher Kranten, Algemeen Handelsblad 1933. Bataviaasch nieuwsblad 1922. De Indische courant 1928. De nieuwsgier 1954. De Preanger-bode 1911. De Telegraaf 1901,1903. Friese koerier 1958. Het Nieuws van den dag 1900. Java bode 1893. Leeuwarder courant 1959. Nieuwsblad van het Noorden 1954. Trouw 1964.
-Digitale bibliotheek voor de Nederlandse letteren (dbnl). Algemeen Verslag in Nederlandsch-Indie, ultimo 1857, 1863, Batavia, ter Lands Drukkerij.
-Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie 1867, 1871, 1875, 1879, 1887, 1889, 1896, 1898, 1900, 1907, 1912.
-Statistiek van de Zending in Onze Oost-en West-Indische Bezittingen,1917.
-Tiele, P.A. De Europeers in den Maleischen Arcipel, Acehbooks.
-Valentyn, Francois, Oud en Nieuw Oost-Indien, Dordrecht-Amsterdam,1724.
-Visser, MSC,B.J. Onder Portugeesch-Spaansche Vlag, de Katholieke Missie van Indonesie 1511-1605, Amsterdam, 1925.
-Wessels, SJ P.Cornelio, Catalogus Patrum et Fratrum e Societate Iesu Qui in Missione Moluccana, Archivum Historicum Societatis Iesu 1, 1932.
Discussion about this post