Seperti juga mitologi Yunani, pada jarak paling dekat, Putri Lohoraung, pendiri kerajaan Tagulandang (1570-1609) dipandang sebagai salah satu kaum Nimfa. Manusia dongeng yang hidup dan berasal dari dunia air atau lautan yang datang ke dunia nyata.
Di Nusa Utara, tak sedikit kisah ibu mitologis yang jadi penanda asal-asul manusia yang menghuni kepulauan itu. Masyarakat dari ujung Kampung Buha hingga bentangan lain di Minanga, hingga kini percaya Lohoraung bukan manusia biasa. Ia dianggap peri cantik yang ditemukan dalam keadaan telanjang setelah terhempas badai besar yang menerpa pulau Tagulandang. Kerena kecantikan dan kemampuan lain yang dimilikinya sebagai sosok peri, Lohoraung kemudian diangkat menjadi pemimpin negeri kepulauan itu.
Para tetua di pulau Siau juga punya kisah tentang peri dari dunia air yang pandai berkidung disebut “Ingang”. Peri-peri ini suka menyanyikan lagu-lagu memikat hati hingga manusia tertarik menemuinya, lalu kawin dengan mereka atau membunuhnya.
Cerita semacam itu juga sama dengan dunia para Siren atau Seirenes, perempuan-perempuan ajaib dalam mitologi Yunani. Mereka termasuk kaum Naiad, salah satu kaum Nimfa yang hidup di danau atau lautan. Mereka tinggal di sebuah pulau yang bernama Sirenum Scopuli, atau di tanjung Pelorum, pulau Anthemusa, pulau Sirenusian dekat Paistum, atau di Capreae, yaitu tempat-tempat yang dikelilingi oleh batu karang dan tebing. Mereka menyanyikan lagu-lagu memikat hati yang membuat para pelayar yang mendengarnya menjadi terbuai sehingga kapal mereka menabrak karang dan tenggelam.
Di Yunani, para Siren ini kadang menikah dengan manusia dan mempunyai keturunan. Mereka adalah para putri Akhelous dengan Terpsikhore, Melpomene, dan Sterope. Menurut sumber mitologi Yunani jumlah para Siren ini saat berkumpul disutau tempat mandi yaitu sembilan.
Bukankah di Siau juga ada “Akesio” (air Sembilang) di Kampung Beong, Kecamatan Siau Tengah (Siteng), yang diriwayatkan sebagai tempat mandi sembilan bidadari dalam dongeng “Sense Madune” yang berhasil menikahi seorang bidadari hingga membuahkan seorang anak bernama “Pahawo Suluge” yang menjadi moyang orang-orang Siau dalam versi dongeng?
Sejak pandangan dunia esoteris purba, hingga dongeng makhluk pohon, Apapuhang di Sangihe, kisah nenek moyang orang Nusa Utara bergelimang makhluk mitologis yang menjadi asal-asul manusia masa kini.
Kisah legendaris dari mitologi Yunani seperti Dryad atau Peri Hutan, Nimfa dan juga Siren, tak lebih sama dengan cerita rakyat orang-orang Bannada di antaranya tentang “Lamaru dan Bidadari Bahangging”.
Orang Bannada di zaman dahulu menamakan kampung mereka Wantane. Disebut Wantane karena bentuk desa ini cekung seperti bentuk lunas kapal. Di belakang perkampungan penduduk ada sebuah gunung bernama Gunung Tanna, yang dirimbuni hutan lebat.
Dikisahkan, di desa yang terletak di pulau Karakelang, Talaud ini pernah hidup seorang lelaki bernama Lamaru. Ia seorang yang pandai berburu burung, bertani, dan pemberani yang tak mengenal takut membela desanya dari gangguan orang-orang luar desa mereka. Karena itu, meski masih berusia muda, Lamaru telah dipercayakan para tetua menjadi pemimpin Desa Wantane.
Penduduk Desa Wantane sangat menghormati dan menyayangi Lamaru karena keberhasilannya menghadirkan kesejahteraan bagi kehidupan penduduk. Namun ada yang dikhawatikan penduduk dalam kehidupan Lamaru yaitu ia belum punya istri. Mereka kasihan melihat kehidupan pemimpin mereka yang harus mengurus seluruh kebutuhan hidupnya sendiri.
Di Desa Wantane bukan tidak ada gadis cantik hingga Lamaru tak mencari istri. Tapi Lamaru telah jatuh cinta pada seorang perempuan yang selalu mampir dalam mimpinya. Ini sebabnya ia berharap bisa bertemu dengan gadis yang dicintainya itu suatu ketika nanti.
Di rumahnya, Lamaru hanya ditemani seekor anjing peliharaannya yang bernama Randipa. Suatu ketika, pergilah Lamaru dan anjing Randipa berburu ke hutan gunung Tanna. Sebagai anjing yang pandai, Lamaru sangat percaya pada naluri Randipa dalam mengendus buruan. Tapi dalam perjalanan kali ini, Lamaru merasa, Randipa seperti menuntunnya ke suatu tempat yang belum pernah didatanginya. Setelah menempu perjalanan yang cukup jauh, akhirnya mereka sampai di suatu tempat yang misterius di hutan itu. Ada sebuah kolam pemandian yang airnya sangat jernih. Tak lama, turunlah sembilan bidadari yang sangat cantik ke kolam itu untuk mandi.
Lamaru begitu terpana, karena sembilan bidadari itu wajahnya hampir sama. Namun begitu ada satu yang wajahnya menyerupai gadis yang selalu datang dalam mimpinya. Lamaru tiba-tiba merasa yakin inilah perempuan yang ia cari selama ini. Setelah para bidadari melepaskan sayapnya ke atas rumput di pinggir kolam dan turun ke dalam kolam untuk mandi, Lamaru dengan mengendap-endap mendekati sayap bidadari yang dikenalnya itu, lalu mengambilnya dan menyembunyikannya di suatu tempat.
Seusai mandi, terbanglah kembali mereka ke khayangan. Tapi salah seorang dari mereka tak bisa terbang lagi karena sayapnya hilang. Bidadari cantik itu menangis terseduh-seduh ditinggal saudara-saudaranya. Pada saat itulah Lamaru pergi menemuinya.
Sejak itu pula, Lamaru dan Nahangging hidup bersama sebagai suami-istri. Lamaru pun memanggil istrinya dengan nama Woi Nahangging. Sementara Nahangging memanggil suaminya dengan nama khusus hanya untuknya yaitu Porodisa. Hari berganti, akhirnya Lamaru dan Woi Nahangging dikaruniai seorang putra.
Suatu ketika, saat pulang dari berburu, Lamaru merasa tubuhnya amat letih. Ia pun tertidur di sebuah bangku di belakang rumah. Belum lama tertidur, ia kaget dengan suara hewan yang sedang mengganggu jemuran istrinya. Tanpa sadar ia mengusir hewan-hewan itu dengan berteriak.
Nahangging yang tertidur di kamar bersama putranya yang baru berumur delapan hari turut terkejut. Seketika itu ia meneteskan airmata tak kuasa menerima takdir akibat sumpah yang ternyata telah dilanggar suaminya.
Lamaru pun tiba-tiba sadar bila ia telah melanggar janji dan sumpahnya untuk tidak mengusir hewan yang datang ke halaman rumahnya. Dengan cepat Lamaru bangun dan berlari menuju kamar. Lamaru terkejut, Nahangging dan putranya telah hilang entah kemana.
Akibat dari pelanggaran sumpah suaminya, Nahangging dan anaknya telah terangkat secara gaib dan tiba di sebuah tempat yang jauh dari Pulau Karakelang, yaitu Yunan. Di tempat itulah Nahangging menitipkan putranya kepada sepasang suami-istri untuk dipelihara hingga dewasa. Nahangging pun berjanji akan memenuhi kebutuhan suami-istri itu selama memelihara anaknya.
Saat anaknya menjelang dewasa, tiba saatnya Nahangging kembali ke negeri khayangan. Sebelum pergi, Nahangging menemui anaknya untuk menceritakan siapa dirinya dan juga bermaksud ingin menyampaikan beberapa pesan. “Anakku, tak lama lagi ibu akan pergi meninggalkanmu. Tinggalah baik-baik dengan kedua orang tua angkatmu,” kata Nahangging dengan perasaan sedih.
“Mengapa ibu harus pergi? Ibu akan pergi ke mana?” tanya anaknya. “Ini adalah takdir ibu. Ibu tidak berasal dari dunia ini, Nak. Ibu seorang bidadari yang berasal dari negeri khayangan di seberang langit sana. Jadi sudah waktunya ibu kembali ke tempat asal ibu,” jawab Nahangging.
Mendengar tuturan ibunya, anak itu menjadi sedih. Sebenarnya sudah sejak lama ia merasa ada suatu rahasia yang disembunyikan ibunya darinya. Ia sebenarnya juga ingin menanyakan di mana ayahnya. Selain itu, ia merasa aneh, sebab sudah sebesar ini, ia belum juga punya nama. Melihat anaknya sedang dirundung berbagai pikiran, Nahangging kembali bicara. “Negeri ini bukanlah tanah kelahiranmu. Suatu saat nanti kau pasti akan kembali ke negeri ayahmu”.
“Di mana negeri ayahku?” tanya anak itu. “Negeri ayahmu adalah tiga pulau yang kaya dan subur. Bila kau mau pergi ke sana, berangkatlah dari arah matahari terbit menuju utara, dan susurilah pulau-pulau di sana. Jika kau melihat sebuah desa yang pada saat pagi hari akan membersit sinar keemasan di tepian pantainya. Di tempat itu, kau akan melihat juga sebuah gunung yang ada asap naik membubung ke langit, itulah gunung bernama Tanna. Di sanalah kau akan bertemu ayahmu. Dan ingat, aku memanggil ayahmu Porodisa. Nama itu hanya aku dan ayahmu yang tahu,” jelas Nahangging kepada anaknya.
Setelah menitipkan berbagai pesan kepada anaknya, dengan berat hari Nahangging akhirnya terangkat menuju khayangan. Anaknya, sangat sedih atas kepergian ibunya, tapi ia sendiri tak mampu mengubah takdir yang harus dijalani ibunya.
Anak itu kemudian bekerja sebagai pelaut di sebuah kapal. Ia tumbuh menjadi pelaut yang cerdas, cakap dan ulet. Tak berapa lama ia sudah ditunjuk sebagai nahkoda oleh pemimpin negeri di mana ia dititipkan ibunya yakni kerajaan Yunan, untuk menggantikan nahkoda yang lama. Ia pun berangkat menyusuri laut dan samudera dengan iring-iringan beberapa kapal mencari negeri jajahan baru atas perintah raja Yunan.
Hari berganti hari, akhirnya beberapa armada yang dipimpinnya sampai di negeri tiga pulau. Melihat negeri itu, ia jadi ingat pesan ibunya tentang tanah kelahirannya. Maka berangkatlah kembali ia ke arah utara. Ketika matahari merekah di ufuk timur, tampaklah sinar keemasan membersit di tepian pantai. Ia juga melihat di puncak sebuah gunung ada asap membubung tinggi. Semua itu tiba-tiba membuat hatinya girang. “Itu pasti Gunung Tanna,” gumamnya.
Sementara di Negeri Wantane, Lamaru telah melihat iring-iringan kapal yang mendekat ke pesisir desa mereka. Sebagai pemimpin desa, Lamaru telah memerintahkan sekelompok pemuda untuk berjaga-jaga di bawah gunung Tanna. Sementara sekelompok lainnya berjaga di atas gunung. Mereka sudah menyiapkan peralatan perang untuk berjaga kalau-kalau yang datang itu adalah kapal-kapal para perompak. Sebagai sandi perang, yakni kelompak yang berjaga di kaki gunung harus meneriakan kata poro yang artinya potong, sementara yang di atas gunung akan menjawab dica berarti hantam. Lamaru berpesan kepada pemimpin kelompok pemuda itu, apabila mereka yang datang itu bisa mengartikan makna poro dan dica maka mereka boleh dipersilahkan naik ke atas gunung untuk bertemu dengannya.
Setelah merapat di pesisir itu, sang nahkoda kapal langsung turun bersama beberapa anak buahnya ke daratan. Di daratan mereka langsung dihadang kelompok pemuda yang mengenakan peralatan perang. Para pemuda itu kemudian meneriakan kata poro dan dari atas gunung terdengar balasan teriakan kata dica.
Mendengar kata sandi itu, sang nahkoda langsung ingat pesan Nahangging ibunya. “Itu nama ayahku. Arti dari sandi itu adalah potong dan hantam,” ujar sang nahkoda kepada para pemuda yang menghadang mereka. Karena bisa mengartikan makna dari kata sandi, sang nahkoda dan rombongan dipersilahkan naik ke atas gunung menemui pemimpin mereka. Melihat pemuda gagah yang mengenakan pakaian nahkoda, hati Lamaru tiba-tiba bergetar. “Siapa kamu?” tanya Lamaru.
“Aku adalah seorang anak yang belum diberi nama oleh ayahku. Tapi nama ibuku Nahangging. Nama ayahku Porodisa, konon kata ibuku, ayahku tinggal di puncak gunung ini,” jawab sang nahkoda. Mendengar jawaban itu, hati Lamaru langsung terenyuh. “Orang yang kau cari itu adalah aku. Namaku Lamaru, tapi ibumu memanggilku Porodisa,” jawab Lamaru.
Akhirnya anak dan ayah itu berpelukan dengan perasaan yang penuh haru. Pesta pun digelar untuk merayakan pertemuan Lamaru dengan anaknya. Pada pesta itulah kemudian Lamaru memberi nama anaknya yaitu Porodisa. Lamaru juga meminta agar anaknya tinggal di Desa Wantane menggantikan tugasnya sebagai pemimpin desa. Dan dari namanyalah Kepulauan Talaud sebut Porodisa.
Di Eropa kisah fiksi berkarakter Peri juga dikenal dalam makhluk seperti Elf atau Fairy. Peri adalah istilah yang sering digunakan pada cerita rakyat atau dongeng untuk menggambarkan mahluk yang memiliki kekuatan gaib yang kadang kala turut campur dalam urusan-urusan manusia. Peri kadang digambarkan sebagai makhluk gaib yang menghuni tumbuh-tumbuhan, berwujud wanita. Dalam bahasa Yunani istilah serupa, drys, berarti pohon oak. Dari kata ini timbul pengertian mengenai Dryad yakni kaum Nymph yang hidup dalam tumbuh-tumbuhan. Karakter Dryad dari mitologi Yunani muncul dalam kisah fantasi “The Chronicles of Narnia” sebagai spirit berwujud wanita yang berasal dari pepohonan.
Sementara Nimfa, salah satu jenis makhluk berwujud wanita dan diasosiasikan dengan lokasi atau tempat tertentu. Mereka diidentikkan dengan peri, atau bidadari yang tinggal di alam bebas. Berbeda dengan dewa, Nimfa biasanya dianggap sebagai roh alam yang merupakan perwujudan dari alam itu sendiri, dan biasanya digambarkan sebagai gadis cantik yang senang bernyanyi dan menari. Mereka dipercaya tinggal di hutan, sungai, mata air, lembah, pepohonan, dan gua. Mereka tidak dapat menua dan tidak dapat terkena penyakit. Selain itu, mereka juga dapat melahirkan dewa jika berhubungan seksual dengan dewa. Meskipun demikian, Nimfa tidak sepenuhnya abadi, dan mereka dapat mati dengan berbagai cara.
Lepas dari makhluk-makhluk mitologis yang dikisahkan menjadi penanda asal usul orang-orang Nusa Utara, di Lirung, orang-orang di pulau Salibabu, Kabupaten Kepulauan Talaud itu, punya lengenda tersendiri yang unik tentang nenek moyang mereka yaitu seorang putri yang datang dari Eropa.
Berdasarkan tuturan masyarakat setempat, berikut dikisahkan kembali oleh penulis: Di zaman dahulu negeri mereka bernama Sara Banua. Tetapi penduduk setempat juga menamakan tempat itu dengan nama negeri Hilamunan, karena di sepanjang pantainya banyak tumbuh sejenis rumput laut Hilamunan. Sara Banua merupakan negeri yang cantik dan subur. Terletak di lembah sebuah gunung. Sedang di depannya terbentang samudera luas Pasifik. Penduduknya hidup dari hasil bertani, nelayan dan berburu. Sepanjang tahun, penduduknya tak kekurangan bahan pangan, karena mereka termasuk anak suku yang rajin bekerja. Para penduduk tidak tinggal di suatu tempat selayaknya sebuah perkampungan yang ramai. Tetapi, mereka tinggal agak berpencar di kebun-kebun dan di pesisir hingga mereka bisa bekerja sepanjang hari.
Di Sara Banua disebutkan pernah hidup seorang pemuda bernama Pinamangun. Ia tinggal di suatu daerah perbukitan bernama Pangiloloan. Ia pemuda yang rajin, pandai berburu, mamiti ikan, dan bertani. Suatu ketika, Pinamangun berniat turun ke pesisir pantai hendak mamiti ikan. Untuk mencapai pantai yang berada di tanjung Taduwowong, ia harus berjalan cukup jauh, kurang lebih sepuluh kilometer.
Sesampainya di pantai ia melihat sebuah rakit besar bersusun empat terdampar di sana. Penasaran dengan isi rakit itu, Pinamangun segera membongkarnya. Alangkah terkejutnya dia, karena di dalam rakit itu ternyata ada seorang gadis yang cantik jelita. Namun tubuh gadis itu tampak letih dan lemah. Barangkali karena terlalu lama terombang ambing di lautan luas maka seluruh tenaganya telah terkuras. Hati Pinamangun jadi kasihan melihatnya.
Melihat ada orang yang datang padanya, sang gadis berusaha untuk bicara. Tetapi bahasa yang digunakannya tak dapat dimengerti. Namun begitu, Pinamangun mengerti di mana sang gadis itu meminta pertolongan darinya. Pinamangung pun segera menolongnya. Gadis itu diangkatnya, lalu dibawanya ke hamparan pasir pantai yang kering dan hangat. Pinamangun kemudian memanjat kelapa dan mengambil buahnya yang muda. Setelah meminum air kelapa dan menyantap dagingnya yang lembut, lambat laun tubuh sang gadis menjadi agak kuat kembali.
Mereka berdua kemudian bercakap, tapi keduanya tidak saling mengerti bahasa yang digunakan masing-masing. Pinamangun kemudian mencoba mengajaknya bicara dengan menggunakan bahasa isyarat, dan akhirnya Pinamangun tahu nama gadis itu Putri Arusa. Sedangkan Putri Arusa tahu nama lelaki di dekatnya itu Pinamangun.
Untuk menghindari terjadinya kegemparan soal ditemukannya seorang perempuan asing yang terdampar di pantai Sara Banua, juga supaya keberadaan Putri Arusa tidak diketahui orang, Pinamangun tak membawanya ke tempat tinggalnya di Pangiloloan. Putri Arusa dibawa Pinamangun ke suatu tempat yang agak jauh dari perkampungan yakni di sebuah pegunungan – itu sebabnya di kemudian hari, gunung tempat Pinamangun menyembunyikan Putri Arusa itu dinamakan Wowong Marruala (Gunung Nona) -.
Pinamangun merawat Putri Arusa dengan baik hingga kesehatannya benar-benar pulih. Mereka pun hidup bersama di tempat yang agak terpencil itu. Pinamangun membangun sebuah rumah untuk Putri Arusa, sementara Putri Arusa pun ikut membantu pekerjaan Pinamangun saat ada panenan yang harus dijemur. Ia juga memasak makanan untuk mereka berdua.
Hari demi hari, persahabatan Puri Arusa dan Pinamangun kian erat meskipun mereka adalah dua orang asing yang hidup di sebuah rumah di pegunungan yang sunyi itu. Putri Arusa pun berusaha keras belajar bahasa Talaud yang digunakan Pinamangun hingga mereka bisa berkomunikasi dengan lancar. Putri Arusa juga sudah sangat percaya kepada Pinamangun karena sikapnya yang baik padanya. Sementara Pinamangun memang dengan segenap hati membantu dan menolong Arusa hidup menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dan asing baginya. Lama-kelamaan Putri Arusa akhirnya bisa berbahasa Talaud.
“Sebenarnya dari mana asal kamu,” tanya Pinamangun suatu ketika.
“Aku berasal dari sebuah kerajaan yang bernama Spanyol,” jawab Putri Arusa.
“Spanyol itu di mana?”
“Tempatnya sangat jauh dari sini, berada di seberang lautan sana,” jelas Putri Arusa.
Putri Arusa kemudian bercerita bila ia sesungguhnya adalah seorang putri dari keluarga bangsawan di Kerajaan Spanyol. Tapi ia dihukum oleh ayahnya karena telah menghilangan cicin kawin tanda pertunangannya dengan seorang lelaki bernama Airung. Ia teledor memakai cincin itu saat bermain dengan adiknya. Atas kesalahannya, ia dihukum dengan cara dihanyutkan di laut dengan sebuah rakit bersusun tujuh. Ia dikurung dengan diberi bekal secukupnya. Setelah terombang abing di tengah samudera berminggu-minggu, suatu ketika rakitnya diterjang angin ribut dan gelombang besar. Tiga susun rakitnya hancur berantakan, dan yang tersisa tinggal empat susun.
“Untung aku masih bisa selamat dari malapetaka itu. Rakitku kembali hanyut berhari-hari dibawa arus, dan perbekalanku sudah habis. Aku pikir, aku akan segera mati kelaparan. Sudah beberapa hari aku tidak makan dan akhirnya terdampar di pesisir pulau ini,” kisah Putri Arusa.
“Betapa sulit kau melewati hari-harimu di laut itu,” kata Pinamangun.
“Untung kau menolongku. Terima kasih atas pertolongan dan kebaikan hatimu,” kata Putri Arusa. Ada air mata haru menetes ke pipinya.
“Menolong sesama adalah kewajiban setiap manusia. Berterima kasihlah pada Tuhan,” ujar Pinamangun menghibur hati Putri Arusa.
Hari berganti hari, kedua anak muda itu akhirnya jatuh cinta. Mereka menjadi sepasang kekasih yang saling menyayangi. Hidup keduanya berkecukupan, karena mereka saling bahu-membahu melakukan pekerjaan. Putri Arusa sudah membuang jauh-jauh gaya hidupnya sebagai putri seorang bangsawan yang kaya raya. Kini ia hidup sebagai perempuan desa. Ia ikut belajar bertani dan mengelola hasil pertanian. Ia juga memelihara binatang ternak. Semua pekerjaaan itu dapat dikuasainya, karena Putri Arusa benar-benar belajar melakukannya dengan sungguh-sungguh.
Putri Arusa dan Pinamangun akhirnya sepakat untuk menjadi suami-isteri. Perkawinan mereka pun dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Ponisan. Ponisan tumbuh menjadi gadis yang wajahnya secantik ibunya. Ponisan juga rajin bekerja membatu ayah dan ibunya. Ia pandai membuat anyaman tikar. Ia juga belajar menenun kain dari serat pisang Abaka.
Dengan kehadiran Ponisan, rumah tangga Pinamangun dan Putri Arusa kian harmonis dan damai. Putri Arusa merasa tak menyesal telah dibuang ayahnya ke lautan luas. Karena dengan hukuman itulah ia bisa bertemu dengan suaminya yang sangat menyayangi dia.
Namun jauh di dasar hatinya, ada hal yang sebenarnya mengganjal Putri Arusa yang tak diketahui Pinamangung. Jauh di seberang lautan, di Kerajaan Spanyol, ia meninggalkan seorang kekasih yang amat disayanginya. Putri Arusa dan pacarnya bernama Airung sama-sama keturunan bangsawan Spanyol yang kaya raya. Putri Arusa selalu teringat janjinya kepada Airung untuk akan selalu menyayangi kekasihnya itu sampai kapan pun. Mereka saling menyayangi. Mereka telah saling berjanji untuk menikah pada suatu ketika nanti.
Namun terpisah jarak sejauh ini, apa yang bisa dilakukan Putri Arusa. Putri Arusa memang selalu teringat janjinya pada Airung, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Kadang-kadang ia menyembunyikan kesedihan yang tanpa diketahui suaminya saat ia teringat Airung. Putri Arusa selalu resah dengan janjinya kepada Airung yang telah dilanggarnya. Ia berjuang keras membuang bayangan Airung dari hatinya, tapi selalu sia-sia. Bayangan Airung seperti selalu datang mendekati dirinya. Ia berkali-kali bermimpi melihat Airung yang terpuruk dalam kesedihan.
Namun kebaikan dan perhatian Pinamangun padanya membuat hati Putri Arusa tak berdaya. Ia seperti telah ditaklukkan oleh sebuah kekuatan cinta yang baru, yang begitu indah dan dasyat. Putri Arusa sering berpikir, seandainya suatu saat ia berjumpa Airung, entah keputusan apa yang harus ia ambil. Apakah ia akan meninggalkan Pinamangun dan pergi bersama Airung. Ataukah ia akan mengabaikan Airung lalu tetap hidup bersama Pinamangun. Pikiran semacam itu, selalu membuat hati Putri Arusa cemas.
Pada suatu hari Pinamangun melihat ada benda aneh yang kian kemari merapat ke pesisir. Setelah cukup rapat, benda itu ternyata sebuah kapal layar yang besar dan berlabuh di pantai Sara Banua. Pinamangun mengajak istrinya Putri Arusa dan anak gadisnya Ponisan untuk pergi ke pantai melihat kapal itu. Dari atas gunung mereka turun menyusuri sebuah andaara (sungai) bernama Linturan.
Sejak meninggalkan rumah mereka, Putri Arusa sudah merasa begitu cemas. Jantungnya berdegup kencang. Ia gelisah kalau-kalau yang datang dengan kapal itu adalah Airung. Karena ia ingat, Airung pernah berjanji akan mencari dirinya kemana pun rakit itu membawanya. Putri Arusa juga tahu sikap Airung yang selalu menepati janjinya. Airung adalah sosok yang cerdas dan setia memegang janji. Kalau sampai kapal itu membawa Airung, bagaimana nanti ia harus bersikap pada Airung.
Selama perjalanan, di hati Putri Arusa selalu terbayang sosok pemuda tampan tunangannya itu. Setelah sampai di tepi pantai, mereka langsung melihat ada seorang lelaki yang tengah berbaring di pasir melepaskan letih. Pinamangun mencabut sondappa (pedang), ia berjaga jangan sampai lelaki itu adalah orang jahat.
Kira-kira jaraknya kurang dari seratus meter, Pinamangun mengeratkan genggaman sondappanya. Sementara hati Putri Arusa menjadi kian risau karena benar lelaki asing yang ada di sana itu adalah Airung. Saat Pinamangun hendak menyergap Airun, Putri Arusa menahannya.
“Jangan! Aku mengenal lelaki itu,” kata Putri Arusa.
“Kau mengenalnya?”
“Biarkan aku berbicara dengan dia karena aku mengenalnya bahkan sangat mengenalnya,” bujuk Putri Arusa.
Awalnya Pinamangun tak mengizinkan Putri Arusa. Ia takut lelaki asing itu akan mencelakainya. Pinamangun ingin segera membunuh laki-laki itu. Tapi istrinya mampu membujuknya. Ia mendekat ke arah Airung. Ternyata apa yang dicemaskan Putri Arusa selama berpisah tujuh belas tahun dengan Airung kini menjadi nyata. Di sana, di pesisir yang ditumbuhi rumput laut hilamunan, tampak Airung dengan wajah yang kuyu dan letih. Hati Putri Arusa terasa perih. Sedangkan Airung begitu terkesiap memandang Putri Arusa.
“Airung, kaukah itu,” tanya Putri Arusa ingin meyakinkan.
“Benar Putri Arusa. Aku Airung!”
“Bagaimana ceritanya hingga kau sampai di tempat ini?”
“Aku telah menyewa kapal itu untuk mencarimu. Aku telah mengelilingi banyak negeri untuk menepati janjiku akan mencarimu. Di setiap pelabuhan dan pantai yang aku datangi, aku selalu bertanya kepada orang-orang apakah mereka pernah melihat sebuah rakit besar yang hanyut. Setiap berpapasan dengan kapal yang lain aku juga bertanya kepada nahkodanya apakah ia pernah melihat sebuah rakit besar yang hanyut. Petunjuk demi petunjuk kuikuti. Hingga tujuh belas tahun aku terus berlayar mencarimu. Dan akhirnya aku mendapat petunjuk yang pasti dari penduduk yang tak jauh dari tempat ini bahwa sebuah rakit yang memuat seorang gadis telah terdampar di pantai ini. Itu sebabnya aku sampai di sini,” jelas Airung.
Mendengar cerita Airung, air mata Putri Arusa tak tertahankan lagi. Hatinya seperti terkoyak-koyak. Ia memandang Airung dengan perasaan sedih yang mendalam.
“Airung, aku tahu betapa kuatnya cintamu padaku hingga kau harus menempuh perjalanan berat selama belasan tahun mencariku. Tapi waktu untuk kita sudah lewat. Lihat lekaki dan anak gadis itu Airung, mereka adalah suami dan anakku,” kata Putri Arusa dengan linang air mata.
Airung menatap Pinamangun dan Ponisan yang berdiri tak jauh dari mereka. Hatinya begitu pedih mendapati kenyataan pahit, kekasih yang amat disayanginya kini telah menikah dan punya seorang anak. Meskipun pahit, Airung mencoba memaksa hatinya agar menjadi tegar.
“Aku telah menempuh perjalanan sejauh ini demi kau Putri Arusa. Aku bisa menerima kenyataan kau telah menikah. Tapi tinggalkanlah tempat ini, ikutlah dengan aku lagi, Putri!” bujuk Airung.
“Aku memang tak bisa melupakan cintamu Airung. Tapi aku juga tak bisa mengabaikan cinta, kebaikan hati, dan pertolongan suamiku. Tanpa dia barangkali aku sudah mati, Airung. Aku masih hidup karena dia. Maka sisa hidupku biarlah kubaktikan untuknya,” jawab Putri Arusa.
Mulut Airung terasa tercekat oleh jawaban yang tulus itu. Hatinya merintih di tengah senja yang mulai turun. Sebentar lagi malam, tapi kegelapan lain telah merubungi hati Airung. Tubuhnya terasa goyah, seperti mau lesap ke dalam pasir, tapi dengan kuat ia berusaha menahannya.
“Baiklah Putri Arusa. Karena aku amat mencintaimu, maka semua keputusan yang baik darimu biarlah kuikuti dengan hati yang lapang. Apalagi, lelaki yang kini jadi suaminya adalah seorang yang baik. Jagalah dan cintailah suamimu dengan segenap hati,” kata Airung.
Mendengar perkataan Airung, hati Putri Arusa menjadi lapang. Ia tahu ada kepahitan dalam nada suara Airung. Tapi ia tak bisa lagi membalikkan waktu untuk Airung. Ia memanggil suaminya dan anaknya Ponisan untuk bertemu dengan Airun. Mereka bertemu dalam suasana yang begitu haru. Pinamangun pun mengajak Airung untuk mempir ke rumah mereka. Ajakan yang tulus itu tak ditampik Airung.
Pada malam harinya, Putri Arusa memanggil suaminya Pinamangun ke kamar. Ia menceritakan semua rahasia hidup masa lalunya dengan Airung dan juga perjuangan Airung selama belasan tahun mencarinya. Mendengar cerita itu hati Pinamangun jadi tersentuh. Pinamangun sebenarnya ikhlas bila istrinya memilih ikut kembali dengan Airung ke Spanyol. Tapi Putri Arusa telah menyatakan dengan tegas bahwa kini cintanya hanya untuk Pinamangun. Airung hanyalah sebuah masa lalu baginya.
Setelah beberapa hari tinggal di rumah Pinamangun dan Putri Arusa, Airung menjadi dekap dengan Ponisan. Akhirnya berjodolah mereka. Pinamangun dan Putri Arusa merasa senang melihat hubungan anaknya dengan Airung. Atas persetujuan mereka, menikahlah kedua pasangan kekasih itu.
Setelah menikah, Airung memilih untuk tidak kembali lagi ke negerinya Spanyol. Ia memilih tinggal di Negeri Sara Banua. Ia ingin membantu Pinamangun dan Putri Arusa membangun negeri yang terpencil dan sunyi itu menjadi perkampungan yang ramai dan maju.
Hari demi hari, Airung mencurahkan segala pengetahuannya yang dibawa dari negerinya untuk membangun pemukiman penduduk di Negeri Sara Banua. Ia melatih penduduk cara membangun rumah yang lebih layak huni dan modern. Ia mengajar cara membangun perahu layar yang besar. Ia juga mengajar teknik pertukangan dan pertanian yang lebih baik. Meskipun dengan sarana yang terbatas dan cara berpikir penduduk yang masih terkebelakang untuk ukuran masyarakat moderen dan maju, Airung tak menyerah. Ia terus melatih dan mengajar penduduk tanpa merasa lelah.
Negeri Sara Banua kian hari kian ramai. Para penduduk yang hidup terpencar-pencar kini turun membangun rumah di suatu perkampungan untuk hidup bersama. Cara-cara hidup bersama dalam suatu kelompok masyarakat maju juga diajarkan Airung. Akhirnya, Negeri Sara Banua atau negeri Hilamunan itu menjadi kota kecil yang maju dan makmur di masa itu.
Untuk menghormati jasa Airung yang telah bekerja keras membangun kota itu, para tua-tua kampung pun memutuskan mengabadikan nama Airung sebagai nama untuk kota mereka. Nama itu juga sebagai pengingat tentang seseorang yang telah datang dari jauh yang menambatkan cinta dan kesetiaannya untuk negeri mereka. Tapi karena penduduk sulit melafalkan nama Airung, maka kota itu dilafalkan dengan nama Lirunga. Dan kini kini disebut Lirung.
Penulis : Iverdixon Tinungki
Discussion about this post