Sebelum bersentuhan dengan agama-agama semitik pada abad 16, orang-orang Sangihe Talaud masa lalu hidup dalam kepercayaan Sundeng. Suatu penyembahan kepada arwah orang mati dan kepercayaan pada roh dan dewa lewat pengorbanan nyawa manusia.
Leonardo Axsel Galatang, adalah budayawan dan dramawan asal Sangihe, tinggal di kota Bitung, Sulawesi Utara. Kisaran 1980-an, lelaki 57 tahun ini menulis lakon berjudul “Pangkunang”. Lakon itu sebuah dramatisasi dari tradisi kepercayaan purba Sangihe Talaud “Sundeng” yang ditandai dengan pengorbanan nyawa manusia.
Dalam tradisi primitif “Mepangkunang”, orang-orang Sangihe Talaud pada masa lalu akan membuat bangsal utama sebagai altar Pangkunang dengan tiang tempat mengikat anak gadis perawan yang akan dikorbankan, sebagai bagian dari upacara ibadat penyembahan kepada Ghenggona.
Para penganut Sundeng meyakini ada kekuatan yang melebihi kekuatan manusia. Untuk itu mereka mempersembahkan korban sebagai bentuk hubungan antara manusia dan sang penguasa alam. Kekuatan yang melebihi kekuatan manusia dalam komunitas sundeng berupa kekuatan tidak terlihat atau roh.
Dari berbagai sumber disebutkan, kekuatan tersebut terdiri dari tiga unsur roh yang dibedakan dari orang-orang yang menyembahnya yaitu Ghenggonalangi, Aditinggi dan Mawendo.
Ghenggonalangi adalah kekuatan yang berkedudukan setinggi langit yang menguasai seluruh bumi. Aditinggi adalah kekuatan yang berkedudukan di daratan tertinggi, yang disembah oleh orang – orang di perbukitan. Mawendo adalah kekuatan yang berkedudukan di laut yang disembah oleh orang-orang di laut dan di pesisir pantai.
Ketika Zendeling Daniel Brilman tiba di Sangihe pada tahun 1927, dalam bukunya “Onze zending velden De zending op de sangi-en Talaud – eilanden”, ia mengaku sangat sulit mendapatkan gambaran yang jelas agama dari penduduk kepulauan Sangihe Talaud dahulu kala. Namun ia mendapatkan sejumlah data dari era sebelum Kristen dan Islam di kepulauan itu, terutama pada kisaran pertengahan abad 16 yang berhubungan dengan kepercayaan Sundeng.
Sundeng menurut Brilman adalah ‘Kepercayaan Mana’. Mana, satu kata dari bahasa Melanesia yang pertama-tama digunakan oleh zendeling Inggeris Codrington, untuk menyatakan “suatu tenaga sakti penuh rahasia”. Tenaga ini menurut suku primitif berada dalam seluruh alam, manusia, binatang, pepohonan, tumbuhan, termasuk dalam segala sesuatu yang bisa mendatangkan kebahagiaan, juga pemusnahan.
Penganut Sundeng mengatur adanya pemimpin agama mereka yang di sebut Ampuang. Ampuang bertindak sebagai orang yang berkedudukan tertinggi dalam komunitasnya. Dalam menjalankan aktifitasnya Ampuang dibantu oleh para Tatanging dan para Bihing. Penetapan kedudukan dalam komunitas sundeng dilakukan melalui proses pemuridan atau bawihingang.
Kegiatan utama ritual Masundeng adalah menala atau mempersembahkan sesaji. Pada awalnya pemberian sesajen dilakukan dalam bentuk pengorbanan yang mengorbankan manusia kepada penguasa alam.
Ritual Sundeng tidak dilaksanakan di semua kampung, namun hanya dilaksanakan dalam suatu pusat penyembahan yang disebut Penanaruang. Di pulau Sangihe , tempat pelaksanaan ritual sundeng menurut data, yaitu di Manganitu, Pananaru, pulau Mahumu dan beberapa tempat lain. Pusat penyembahan terbesar disebutkan terdapat di kampung Pananaru kecamatan Tamako.
Dalam liturgy Sundeng, secara garis besar tata cara pelaksanaan yang disebut “menala” yaitu para anggota komunitas duduk melingkar berdasarkan kedudukan dan peran dalam kegiatan penyembahan. Mempersiapkan seseorang yang akan dikorbankan. Meminta petunjuk dari penguasa alam. Setelah direstui ditikamlah satu orang yang sudah dipersiapkan dengan alat yang bernama kenang.
Diyakini, jiwa sang korban menuju tempat lain. Berpindahnya jiwa korban diantar melalui prosesi budaya seperti tari “lide”, bunyi-bunyian alat musik “oli” disertai Tagonggong dan Nanaungang.
Sudah punahkan Sundeng pasca-persentuhan dengan agama Kristen dan Islam di kepulauan itu? Pada tahun 1927, kutip Brilman, agama Sundeng masih eksis di beberapa tempat di Sangihe Talaud. Penduduk dalam lingkup kecil masih melaksanakannya.
Jolly Horonis, penyair dan pemerhati Budaya Sangihe mengatakan hingga era 1970-an di pulau Siau, pemujaan Sundeng masih dilaksanakan. Hal yang sama diungkap Rendy Saselah. Dikatakannya, bunyi Nanaungan masih terdengar hingga kurun 1970-an di Manganitu, Sangihe. Bebunyian itu petanda ritual Sundeng sedang berlangsung.
Sundeng dan Bentuk Penyembahannya
Mempercayai sesuatu sebagai yang suci atau sakral merupakan ciri khas kehidupan beragama. Demikian Sundeng, sebuah kepercayaan orang-orang Sangihe Talaud masa lalu, dari era sebelum kerajaaan-kerajaan di Sangihe Talaud berdiri.
Menurut Budayawan Sangih, Jupiter Makasangkil, tradisi Sundeng juga disebut sebagai tradisi “Mesunduang” atau “Mesundu’eng” yang artinya menyentuh dengan dahi atau jidat sebagai penghormatan dan penyembahan kepada Ghenggonalangi Duatan Saluruang.
Dikatakan, ada 5 bentuk upacara penyembahan dalam kepercayaan sundu’eng (sundeng): Pertama, Metipu, sebagai pemujaan dan penyembahan beberapa tetua masyarakat pemangku adat, dan Ampuang, dilakukan dengan cara pembakaran kemenyan dan pembacaan mantra pemujaan. Pelaksanaannya ditempat khusus antara lain di tanjung Manentonau, Manganitu, Sangihe.
Kedua, Mepangkunang. Upacara ibadat penyembahan Mepangkunang dilakukan di bangsal utama sebagai altar Pangkunang dengan tiang tempat korban. Di masa itu, korban persembahan adalah anak gadis yang masih perawan. Lambat laun, korban digantikan dengan menggunakan hewan yaitu babi berbuluh putih. Di sekitar bangsal utama juga didirikan bangsal kecil untuk pemuja Ghenggona dari berbagai tempat.
Ketiga, Mengundang banua menulude taung (tulude). Kempat, Menondong Lapasi atau upacara adat menolak bala. Kelima, Meniala atau Maniala adalah ibadat adat memberi tanda memulai atau berakhirnya satu pekerjaan. Misalnya, mulai bangun rumah atau perahu, dab ibadat naik rumah baru atau meluncurkan perahu.
Sementara Alffian Walukow, S.Pd, M. Pd dalam artikelnya berjudul “Bahasa Sangihe dan Cerita Tentang Kematian” menyebutkan kepercayaan Sundeng adalah sebuah titik awal suku Sangihe-Talaud mengenal adanya kuasa yang lebih kuat dari manusia, meskipun dalam pandangan lain, Sundeng dianggap sebagai bentuk kekafiran.
Singkatnya, ungkap Walukow, Sundeng adalah sebuah komunitas penyembah yang menyembah suatu pribadi yang tak terlihat dengan mata jasmani. Para pengikutnya meyakini ada sebuah kekuatan yang berkuasa atas langit dan bumi pada sosok yang bernama “Batahalawo bergelar I Genggonalangi Duata Saluruhang, yang bersemayam di Sorga (Sanggui). (*)
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post