Di era Presiden Soekarno, Siau dijuluki Pulau Ringgit karena kualitas dan kesuburan tanaman pala. Di pasar dunia, komoditas Pala Siau disebut King of Species. Ingin tahu sejarahnya?
Gunung Karangetang, berketinggian 1827 meter itu tegak bagai easel yang angkuh. Ini salah satu gunung api teraktif di dunia. Di sana, ada jutaan ton material pasir dan abu vulkanik bertengger di puncaknya. Itulah ikon pulau Siau, selain komoditas pala dengan kualitas terbaik dunia.
Pendatang yang baru berkunjung ke pulau ini akan bersua lanskap dengan pemandangan yang menakjubkan sekaligus menakutkan. Sebab, di bawah kubah-kubah lava yang nampak menghitam dan kelabu, terhampar perkebunan pala yang luas dan subur.
Hanya beberapa saat, gemuruh kawah akan terdengar seperti guman yang kasar disusul semburan abu terlontar ke udara membayang-bayangi sekujur tubuh pulau, sekaligus menyuburkan tanaman unggulan ini. Hal itu terjadi hamper setiap hari, kata warga yang mendiami pulau yang pernah menjadi pusat kerajaan Siau sejak tahun 1510 itu.
Delapan tahun pasca-kemerdekaan, tepatnya Februari 1953, ketika berkunjung ke pulau Siau, Presiden RI Soekarno menjuluki Siau sebagai Pulau Ringgit karena keunggulan tanaman pala, ungkap DR. Sinyo H Sarundajang, dalam pidatonya sebagai Gubernur Sulut pada 2013 saat meresmikan monument Soekarno di Taman Bunga Kota Ulu Siau.
“Siau memang negeri yang dikagumi Soekarno, karena itu tanah kelahiran sahabatnya E.G. Dauhan, sang pendiri cabang PNI (Partai Nasional Indonesia) kedua setelah di pulau Jawa,” ungkap Drs. Micoyan Bawuna, salah seorang politisi di Siau, belum lama.
Kekaguman Soekarno pada keunggulan komoditas pala Siau tentu sangat beralasan. Uni Eropa memberikan Geographical Indication bagi pala Siau dengan spesifikasi khusus. “Spesifikasi tersebut membedakan pala produksi Siau dengan pala produksi daerah lain di Indonesia,” ujar pebisnis pala Siau, Ronald Takarendehang.
Di lain sisi, Indonesia merupakan produsen kedua terbesar Nutmeg, Mace dan Cardamoms di dunia setelah Guatemala, dengan produksi 32.700 ton dan luas lahan 157.800 ha (FAO,2014). Sisanya dihasilkan dari India, Malaysia, Papua Nugini, Sri Lanka dan beberapa pulau di Karibia.
Permintaan dunia untuk komoditas Pala Indonesia – terutama pala Siau– memang sudah berlangsung lama, bahkan menjadi incaran dunia, sejak jaman penjajahan. Selalu ada permintaan pala asal Indonesia untuk dikirim ke negara-negara luar, terutama Eropa.
Dari data yang ada, pala Indonesia sebagian besar diekspor dan memegang peran penting dalam memenuhi kebutuhan Pala dunia. UN Comtrade mencatat bahwa pada tahun 2015 Indonesia merupakan eksportir terbesar pala dunia baik untuk HS 0908100010 Nutmeg in shell maupun HS 0908100020 Nutmeg shelled. Adapun pasar utama tujuan ekspor pala Indonesia adalah Uni Eropa, Amerika, Jepang, dan India.
Sejarah Pala Siau
Tanaman pala yang tumbuh subur di Pulau Siau adalah jenis Myristica fragrans Houtt yang memiliki kualitas dan produktivitas tinggi. Dalam sejarahnya, tanaman pala Siau tidak terlepas dari pala yang tumbuh di Kepulauan Banda, Maluku.
Kegiatan agrobisnis pala Siau faktanya tidak lepas dari sejarah pemerintahan, sejak masih menganut sistem pemerintahan tradisional (kerajaan) sampai sekarang tulis Dirno Kaghoo dalam artikelnya berjudul Judul: “Pala Siau Dari Masa ke Masa”.
Dikatakan Kaghoo, kuat dugaan sejak masa raja kerajaan Siau Winsulangi dibuang ke Ternate, sejak itu masyarakat Siau sudah menanam pala.
Dari sejumlah literatur juga disebutkan, tanaman pala di Pulau Siau, masuk melalui hubungan dagang dengan Kerajaan Ternate. Leluhur orang Siau dahulu sering berlayar ke Ternate untuk berdagang dan ketika pulang mereka membawa bibit pala.
Sementara kegiatan agrobisnis tanaman pala secara formal catat Kaghoo, efektif dimulai sejak masa pemerintahan Raja Lemuel David ketika kerajaan Siau dibawah kuasa Belanda. Pada tahun 1890 raja Lemuel David mengeluarkan titah kepada rakyat untuk menanam pala.
Tak heran jika Kerajaan Siau yang terletak di Sulawesi Utara pernah menjadi rebutan negara-negara Eropa karena rempah-rempahnya. Portugis, Spanyol, dan Belanda pernah saling menyerang untuk memperebutkan hasil rempah-rempah Kerajaan Siau.
Dalam beberapa referensi, kerajaan Siau didirikan tahun 1510 oleh raja Lokongbanua II, kebijakannya dalam bidang kemaritiman dan penaklukan wilayah. Kemudian dipimpin raja Posumah, kebijakannya dipengaruhi Portugis yaitu penginjilan, kemaritiman dan agrobisnis cengkih untuk kepentingan Portugis.
Kemudian diganti oleh raja Winsulangi yang diserang orang Mindanau, menyebabkan Winsulangi diungsikan ke Ternate dan bersama Spanyol kembali merebut kerajaannya.
Sebuah ekspedisi Belanda tahun 1651 ke pulau Vassal Ternate, pihak Belanda mencatat, di Tagulandang terdapat 102 pohon cengkih produktif dan 4050 yang belum produktif.
Kekuatan maritim Siau kala itu sangat kuat dan menjadi ancaman bagi tataniaga VOC di Maluku, sehingga Belanda yang berkedudukan di Maluku dan sekutunya Kesultanan Ternate melakukan dua kali agresi pada tahun 1607 (Belanda dan sekutunya gagal) dan tahun 1614 mereka berhasil menundukan kerajaan Siau.
Winsulangi mengungsi ke Manila, lalu kembali tahun 1624, Winsulangi dibantu Spanyol berhasil merebut kerajaan Siau dari tangan Belanda dan Sultan Ternate. Pada tahun 1661 raja Winsulangi melahirkan beberapa kebijakan misalnya dalam bidang pemerintahan dengan membentuk Komolang Bubatong Datu. Peranannya seperti DPRD dalam pemerintahan modern.
Selain itu, beliau proaktif dalam bidang pendidikan. Raja pernah bersekolah di Manila, kemudian disusul anaknya Batahi.
Tahun 1671, “investor asing” yaitu Heeren XVII, (pemegang saham VOC), persis pada tanggal 15 Mei 1671, mengirim surat kepada kaki tangan mereka di Maluku dengan redaksi: “…menempatkan Siau dengan cara yang setepat-tepatnya dibawah perlindungan kita..” (lihat Salindeho & Sombowadile, 2000).
Belanda akhirnya berhasil menundukkan Siau ketika kerajaan dipimpin raja Batahi. Demikian penting posisi Siau di mata Belanda (VOC) kala itu karena komoditas pala-nya yang unggul. (*)
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post