Jakarta, Barta1.com – Transgender perempuan (transpuan) di Indonesia menghadapi stigma, intimidasi, kekerasan bahkan pembunuhan. Dari tahun ke tahun diskriminasi dan persekusi terhadap transpuan terus meningkat.
“2019 sebagai tahun paling mematikan bagi transpuan,” papar aktivis dan peneliti transgender Kevin Halim ketika menyampaikan Laporan Pembunuhan Transpuan di Indonesia 2014-2019 di Erasmus Huis, Jakarta (3/12/2019) seperti dikutip dari Sejuk.
Pemaparan Kevin ini dalam rangka memperingati Transgender Day of Remembrance (TDoR), ikhtiar internasional yang digelar setiap tanggal 20 November, sejak 1999, untuk mengingat pembunuhan keji terhadap seorang transpuan, Rita Hester, di Massachusetts, akibat kuatnya prasangka, stigma dan kebencian, transfobia.
Kevin mencatat, terjadi 6 kasus pembunuhan terhadap transpuan sepanjang 2019. Tahun 2016 ada 3 pembunuhan terhadap transpuan, 2017 4 kasus dan 2018 terjadi 5 pembunuhan. Grafiknya terus menanjak sejak 2016.
Hal tersebut beriringan dengan meningkatnya diskriminasi dan persekusi sejak backlash terhadap komunitas LGBTI yang dipicu pernyataan Menristekdikti M Nasir yang melarang LGBT di kampus-kampus (awal 2016).
Sampai 2019 terdapat 45 aturan, terutama perda-perda, diskriminatif anti-LGBTI mengacu Catatan Kelam: 12 Tahun Persekusi LGBTI di Indonesia (Arus Pelangi 2019) dan 22 kebijakan kampus anti-LGBTI menurut dokumentasi Support Group & Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) Indonesia.
Pernyataan-pernyataan provokatif aparat atau pejabat pusat sampai pemimpin daerah yang homofobia dan transfobia, adalah kejahatan yang dasarnya hanya asumsi dan kebencian, tanpa rujukan ilmiah yang kredibel. Sangat tidak pantas, mereka yang disumpah taat Konstitusi atau UU RI justru bukan melindungi dan mengayomi warganya, malah mendiskriminasi.
Pembiaran negara atas maraknya ujaran kebencian terhadap LGBTI bahkan penerbitan aturan-aturan yang anti-LGBT, secara langsung maupun tidak, dapat memicu aksi-aksi persekusi, baik yang dilakukan aparat maupun vigilante yang mengatasnamakan moralitas agama.
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Amnesti International Indonesia Papang Hidayat bahkan menduga, pernyataan para aparat atau pejabat negara yang mempolitisasi isu LGBT sebagai indikasi mengalihkan atau menutupi ketidakberesan atau ketidakmampuannya dalam menjalankan tugas.
Penulis: Sejuk
Editor: Agustinus Hari
Discussion about this post