Awal tahun 50-an di Manado tak ada yang bisa menandingi Tjie Tjin Hoan dalam urusan berlari. Pemuda berkulit putih yang kemudian dikenal dengan nama Ciputra itu adalah rajanya lari jarak menengah. Dalam masa keemasannya, dia dikenal sebagai raja properti Indonesia.
Sejak lahir pada 24 Agustus 1931 masa kecil Ciputra berlabuh di Parigi, Sulawesi Tengah. Nanti ketika berumur 6 tahun, ibunya kembali ke kampung halaman di Paguat Pohuwato, Gorontalo, membawa Ciputra dan 6 saudaranya. Saat sang ayah meninggal perekonomian keluarga besar ini mulai goyah.
Tahun 1951 Ciputra adalah siswa SMA Don Bosco Manado, sekolah frateran atau khusus murid lelaki milik gereja Katolik. Kemampuan berlarinya terasah di sana. Dia mampu mengungguli semua lawan saat ikut berbagai turnamen lintas usia. Karena kecepatan dan ketahanan fisiknya itu, Pemerintah Kota Manado merekrut Ciputra untuk masuk dalam kontingen Sulawesi Utara di PON II Jakarta. Mengetahui hal ini, Ciputra sumringah. Bagi bocah miskin seperti dia, ke ibukota dengan kapal laut serasa adalah angan belaka. Tapi kali ini angan itu jadi kenyataan.
“Bukan main! ke Jakarta!” ungkapnya di dalam biografinya yang ia luncurkan 2017 lalu, “The Passion of My Life.”
Di Lapangan Ikeda, Ciputra dan atlet asal Sulawesi lainnya berjuang dalam lomba lari 800 dan 1.500 meter. Kendati belum berhasil merebut medali karena persaingan dengan atlet provinsi lain yang sudah profesional sangat ketat, setidaknya dia mampu melewati kualifikasi dan menembus babakan final. Masuk babak final lomba lari jarak menengah di PON II sudah cukup untuk membawa Ciputra ke Istana Presiden Soekarno.
“Anak miskin dalam istana presiden, saya merasa takjub,” kata Ciputra dalam memoarnya.
Kemiskinan adalah momok dalam hidup Ciputra. Sejak ayahnya ditangkap pasukan Jepang dia harus membanting tulang untuk bantu menafkahi keluarga. Dia berkebun dan lewat sahabatnya dari Kepulauan Sangihe dan Talaud, Ciputra belajar berburu babi hutan. Dan seperti kisah-kisah yang lain, pahitnya hidup membuat dia tumbuh kuat.
“Bila ingin sukses lawannya bukan orang lain, tapi diri sendiri,” begitu filosofi yang dia ciptakan.
Seperti dikutip dari wartaekonomi, Ciputra mulai merintis usahanya sejak ia masih menjadi mahasiswa di Institut Teknologi Bandung (ITB). Bersama dua sahabatnya sesama mahasiswa ITB, Budi Brasali dan Ismail Sofyan, hanya bermodal ilmu arsitektur yang mereka dapat di kampus, mereka mendirikan CV Daya Tjipta.
Awalnya, mereka berkeliling di sebuah garasi di Jalan Soetjipto, Bandung. Mereka berkeliling dari rumah ke rumah di Bandung mencari orang yang bersedia memakai jasanya. Prosesnya itu berlangsung lama, sampai tiba waktunya Ciputra menikah dan memiliki anak, ia mulai bertanya kepada kawannya, sampai kapan mereka hanya bergantung dan menunggu orderan datang.
“Saya harus membuat lompatan besar,” ucapnya.
Berangkat dengan keberanian, Ciputra memutuskan membawa keluarganya meninggalkan Bandung dan pergi ke Jakarta pada awal 1960-an. Dalam benaknya, melihat Jakarta yang sedah bebenah, tidak ada cara lain yang dapat ia tempuh untuk bisa mendapatkan proyek besar kecuali bertemu dengan Gubernur DKI Jakarta saat itu, Soemarno Sosroatmodjo.
Melalui bantuan mantan asisten Gubernur Soemarno, Mayor Charles, ia hendak bertemu dengan Gubernur.
“Saya hanya ingin menyampaikan pemikiran saya untuk membangun Jakarta,” kata Ciputra, dan keinginannya untuk bertemu dengan Sang Gubernur pun terwujud, siapa disangka, Gubernur Soemarno pun rela mendengarkan paparan gagasan Ciputra. Ia menunjuk Senen sebagai tempat di Jakarta yang harus dibenahi.
Setelah mendengar pemaparannya, Gubernur Soemarno pun menyetujui dengan apa yang diucapkan Ciputra, namun masalahnya pemerintah saat itu tidak memiliki dana. Namun, Ciputra pantang menyerah. Ia terus bolak-balik Senen, dan terus memeras otaknya. Akhirnya, ia memutuskan untuk meminta bantuan kedua temannya terdahulu, Budi dan Ismail untuk sama-sama membenahi Senen.
Beberapa hari kemudian, Gubernur Soemarno dan tim Ciputra diterima Presiden Soekarno untuk mempresentasikan konsep peremajaan kawasan Senen.
Merasa masih anak bawang, Ciputra mengumpulkan keberanian dan kepercayaan diri untuk menghadap orang pertama di Indonesia. Dengan penuh saksama, Presiden Soekarno menyimak pemaparan Ciputra. Setelah panjang berbicara, Presiden Soekarno pun menyetujui rencananya. Namun, lagi dan lagi, uang menjadi kendala.
Niat baik pasti akan menemukan jalannya. Gubernur Soemarno membantu Ciputra mengumpulkan pengusaha besar kala itu, seperti Hasjim Ning, dan Agus Musin Dasaad, juga sejumlah petinggi bank, seperti Jusuf Muda Dalam, bos Bank Negara Indonesia, dan Jan Daniel Massie, Direktur Utama Bank Dagang Negara.
Kemudian, lahirlah PT Pembangunan Ibukota Jakarta Raya (Pembangunan Jaya) pada 3 September 1961. Sayangnya, proyek Senen ini tidak semulus rencana di atas kertas.
Kali ini permasalahan datang dari pedagang dan penduduk yang sudah bertahun-tahun berada di Senen menolak pindah dan melawan sengit setiap upaya menggusur mereka. Perlu usaha sangat keras, berkeringat, dan berdarah-darah supaya proyek itu terus berjalan. Akhirnya, tiga blok berhasil mereka bangun, yakni Blok I, Blok II, dan Blok IV.
Kemudian bersama dengan Sudono Salim alias Liem Soe Liong, Sudwikatmono, Budi Brasali dan Ibrahim Risjad, Ciputra mendirikan Metropolitan Group, yang membangun perumahan mewah Pondok Indah dan Kota Mandiri Bumi Serpong Damai. Pada masa itu, Ciputra duduk sebagai direktur utama di Jaya Group dan di Metropolitan Group sebagai presiden komisaris. Akhirnya Ciputra mendirikan grup perusahaan keluarga, Ciputra Group.
Pada 1997 terjadilah krisis ekonomi, menimpa tiga group yang dipimpin Ciputra: Jaya Group, Metropolitan Group, dan Ciputra Group. Selain itu, Bank Ciputra yang didirikannya ditutup oleh Pemerintah karena dianggap tidak layak. Asuransi Jiwa Ciputra Allstate yang baru dirintis menjelang krisis pun ikut ditutup. Dengan adanya kebijakan moneter dari pemerintah dan diskon bunga dari beberapa bank, ia mendapat kesempatan untuk merestrukturisasi utang-utangnya. Akhirnya ketiga group tersebut dapat bangkit kembali dan Group Ciputra telah mampu melakukan ekspansi usaha di dalam dan ke luar negeri.
Ir Ciputra dikenal sebagai konglomerat dan salah satu raja properti di negeri ini. Berdasarkan perhitungan majalah Forbes yang dilansir di Bulan November 2017, Tjie Tjin Hoan alias Ciputra berada di urutan ke-21 orang terkaya di Indonesia dengan harta senilai US$1,45 miliar atau setara Rp19,7 triliun.
Pelari hebat, siswa SMA Frater Don Bosco Manado itu, hari ini Rabu 27 November 2019 tutup usia di Singapura pada usia 88 tahun. (*)
Editor: Ady Putong
Discussion about this post