Bupati Minahasa Tenggara (Mitra), James Sumendap, punya pendapat berbeda menyangkut kewajiban berseragam sekolah. James, pemimpin terpilih itu, menyiratkan inovasi jauh lebih penting di masa kekinian bagi para peserta didik.
“Saya canangkan setiap hari Selasa seluruh anak sekolah di Mitra untuk tidak menggunakan seragam. Sekarang adalah zaman milenial, jadi harus bisa tampil beda,” tegas Bupati di hadapan ratusan guru dan siswa-siswi.
Hal ini disampaikan James dalam sambutannya pada HUT Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) ke-74 di lapangan Ompi Ratahan, Selasa (26/11/19). Baju bebas bisa dipakai setiap Selasa dengan aturan tetap rapi dan sopan.
Dia berpendapat ini sangat pantas dilakukan, karena masa kini berbeda dengan era lalu.
“Kita harus berinovasi, baik itu dari segi penampilan ataupun mata pelajaran. Jadi saya menegaskan agar di setiap hari Selasa itu, siswa-siswi harus diberi kebebasan, namun bukan berarti terlepas dari kegiatan belajar sesuai mata pelajaran yang dijadwalkan hari itu,” terang Bupati.
Di sisi lain dia menegaskan agar seluruh kepala sekolah dan guru-guru untuk bisa brinovasi dalam hal pelaporan dan pembelajaran kepada siswa.
“Hal ini ditegaskan, dikarenakan Kabupaten Mitra masuk sebagai daerah paling terlambat memasukan laporan hasil KBM sekolah,” tandasnya.
Dalam sambutannya juga, Bupati mengatakan akan melakukan tes komputer kepada seluruh kepala sekolah di Mitra.
“Hari Senin minggu depan saya akan melaksanakan tes komputer kepada seluruh kepala sekolah. Ini untuk melatih agar seluruh kepala sekolah bisa lebih berinovasi dalam pelajaran, terutama dalam pembuatan laporan pertanggung jawaban. Juga mengantisipasi jika operator sekolah berhalangan sehingga tidak masuk kerja,” ujarnya.
Apa yang diamanatkan James Sumendap ke depannya akan menjamin ekspresi murid di Kabupaten Mitra. Siswa-siswi sepatutnya diberi keleluasaan untuk menyalurkan pendapat mereka, termasuk dalam hal berpakaian. Dan murid-murid di Mitra beruntung, karena James termasuk pemimpin progresif yang bisa memikirkan hal itu.
Seragam sekolah bukan aturan wajib di beberapa negara. Bahkan di Amerika, kewajiban berseragam diprotes murid karena dianggap membatasi kreativitas dan hak individu untuk berekspresi. Salah satu bentuk protes online murid di Amerika mencuat di situs petisi change.org, menyangkut kebijakan kode seragam yang diwacanakan Pinkerton Academy. Yang disebut terakhir adalah sekolah menengah terbesar di Kota Derry negara bagian New Hampshire, dengan lebih dari 3.000 murid menuntut ilmu.
Ketika sekolah ini akan menerapkan kebijakan seragam 6 tahun silam, siswa bernama Savana Melanson membuka ruang petisi untuk menolaknya. Banyak siswa termasuk orang tua yang membubuhkan tanda tangan menyetujui penolakan ini. Alasannya beragam.
“Saya seorang siswa di Pinkerton, dan merupakan hak saya untuk bangun di pagi hari dan memiliki kepribadian unik saya sendiri. Baik itu di sekolah atau di mana saja. Aku adalah aku, dan aku tidak mengenakan pakaian yang diperintahkan sekolah kepadaku,” kata siswi Jade Catizone
Orang tua juga mengeluhkan tambahan biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli seragam yang dimintakan pihak sekolah. Apalagi orang tua yang memiliki lebih dari 1 anak mengenyam pendidikan di Pinkerton Academy.
“Berhentilah memaksa orang tua membayar $ 700 untuk 5 pakaian yang tidak ingin dikenakan anak-anak. Sekolah mendapat suap untuk semua pembelian. orang tua dengan lebih dari 1 anak harus membayar $ 700 untuk setiap anak,” ujar Wayne Bianchi.
“Apa yang terjadi ketika sesuatu tumpah atau lubang di dalamnya? orang tua harus membeli lebih banyak. Tidak adil sama sekali ketika hanya beberapa anak yang melanggar peraturan saat ini untuk kode berpakaian yang sesuai,” tambah dia.
Di negara bagian lainnya, persoalan seragam sekolah bahkan mengemuka hingga ke ruang pengadilan. Salah satu sekolah di Nevada mengalami kekalahan pada proses banding saat mewajibkan siswa-siswinya mengenakan seragam beremblem “Tomorrow’s Leader”, semboyan sekolah itu. Pengadilan menganggap apa yang dimintakan sekolah tidak konstitusional dan melanggar hak kebebasan berbicara siswa.
Seragam Juga Mematikan Kreasi
Di Indonesia, masalah seragam untuk siswa SD hingga SMA tertuang dalam Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014, tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Dalam lampiran 1 dan 2 peraturan menteri tersebut secara detil mengulas bentuk, model, warna seragam SD, SMP, SMA sederajat termasuk yang bernuansa Muslim. Juga diatur topi, dasi hingga emblem yang harus disematkan pada kantong depan kemeja siswa.
Pemerintah merasa perlu menyeragamkan baju sekolah. Tujuannya tertuang pula pada 4 poin di Kemendikbud 45/2014. Poin pertama seragam sekolah bertujuan menanamkan dan menumbuhkan rasa nasionalisme dan kebersamaan, selain itu juga memperkuat persaudaraan sehingga dapat menumbuhkan semangat kesatuan dan persatuan di kalangan peserta didik.
Kedua, meningkatkan rasa kesetaraan tanpa memandang kesenjangan sosial ekonomi orangtua/wali peserta didik. Ketiga, meningkatkan disiplin dan tanggungjawab peserta didik serta kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku. Terakhir, menjadi acuan bagi sekolah dalam menyusun tata tertib dan disiplin peserta didik khususnya yang mengatur pakaian seragam sekolah.
Tapi yang selalu menjadi pertanyaan besar, apakah seragam selalu bisa menjamin kemampuan akademis, menumbuhkan penyadaran guru pada kemampuan majemuk anak atau berujung pada disiplin di sekolah? Belum ada yang bisa menjamin hal ini.
Baca Juga: Cara SD Negeri 12 Manado Memacu Kecerdasan Majemuk Siswa
Dalam penelitian (pdf) yang dilakukan Hudzaifah, Suwachid dan Emilly Dardi di SMKN 5 Surakarta pada tahun ajaran 2011/2012, mereka mengambil angket pada 289 murid meminta pendapat seragam sekolah. Hasilnya mayoritas 58,5% siswa yang mengisi angket penelitian menyatakan sangat tidak setuju berseragam sekolah secara lengkap. 34,3% menyatakan tidak setuju, 1,7% menyatakan cukup setuju. Hanya 4,2% menyatakan setuju dan 1,4% menyatakan sangat setuju.
Penelitian itu juga menemukan proses penyeragaman dalam dunia pendidikan masih terus terjadi, tidak hanya di tingkat fisik, seperti pakaian atau buku ajar, tapi juga tidak jarang dalam berpendapat. Siswa dituntut berpendapat yang serba sama untuk segala hal. Penyeragaman yang semula hanya untuk kebutuhan fisik (pakaian) bahkan akhirnya dapat berubah menjadi penyeragaman pengetahuan, pikiran kata peneliti mengutip Ibrahim dalam tulisannya berjudul Budaya Populer sebagai Komunikasi: DinamikaPopscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer.
“Tidak ada pertanyaan, tidak ada masalah, yang ada hanyalah menerima penyeragaman pengetahuan, sehingga minim kreasi. Kondisi seperti ini sangat memprihatinkan dalam dunia pendidikan di mana kondisi yang berkemungkinan ilmu pengetahuan mengalami perlambatan dalam perkembanganya,” ujar para peneliti. (*)
Peliput: Chindry Assa
Editor: Ady Putong
Discussion about this post