Manado, Barta1.com — Guliran menyangkut reklamasi pantai Utara (Pantura) Kota Manado semakin liar. Sejauh ini Pemprov Sulut selaku pemangku otoritas belum berbicara banyak, membuat semakin banyak kecaman dialamatkan pada wacana tersebut.
Terakhir, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado menyayangkan ketidakterbukaan Pemprov Sulut pada rencana penimbunan ini. LBH Manado sendiri berbicara, saat terlebih dulu melakukan penelusuran di lapangan berbentuk diskusi, wawancara, dan observasi dengan kelompok nelayan di Sindulang Satu, Sindulang Dua, Maasing, Karangria dan Tumumpa Dua, Kecamatan Tuminting.
LBH, dalam rilis yang diterima Barta1 Jumat 18 Oktober 2019, menyatakan pemerintah daerah tidak pernah turun berdialog dengan kelompok Nelayan. Hal tersebut didukung pula dengan keterangan nelayan.
“Pemerintah Daerah menurut LBH tidak terbuka perihal proyek reklamasi. Publik terutama nelayan di Manado utara, tidak memiliki kepastian tahapan reklamasi yang sedang berjalan. Jika pun ada nelayan yang diajak berdialog oleh pemerintah daerah, mereka bukanlah masyarakat yang berasal dari kelompok nelayan di Tuminting, atau tidak jelas nelayan siapa yang dimaksud telah berdialog dengan pemerintah.”
Pemerintah Daerah Sulut menurut mereka telah menerbitkan Perda Nomor 1 Tahun 2017 tentang RZWP3K dan Pergub Nomor 16 Tahun 2018 tentang Reklamasi. Pesisir utara Manado pun akan direklamasi seluas 175 Ha dengan tujuan pemanfaatan umum. Padahal di sepanjang pesisir Tuminting, terdapat 500 lebih keluarga nelayan yang menggantungkan hidup dari hasil laut.
Jika reklamasi dilanjutkan, perusahaan berpotensi tidak akan mempedulikan keadaan lingkungan, sosial ekonomi masyarakat khususnya Nelayan. Masyarakat Nelayan merupakan kelompok yang paling rentan terdampak reklamasi Pantura dan cenderung diminoritaskan. Kelompok Nelayan setempat tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan reklamasi.
“Perusahaan-perusahaan calon pengembang jauh dari publisitas. Profil-profil perusahaan perlu diketahui publik sebagai bahan kajian dan pertimbangan publik,” kata LBH Manado.
Hasial kajian mereka menemukan, kebutuhan Nelayan bertolak belakang dari solusi reklamasi pemerintah. Di Maasing, tambatan perahu tidak dapat menampung seluruh perahu Nelayan setempat. Di Sindulang Dua bahkan tidak ada tambatan perahu sama sekali. Sementara persaingan usaha kelautan semakin sulit, belum lagi ekosistem laut yang terganggu akibat aktifitas pembangunan seperti di Kawasan Megamas dan Jalan Boulevard II, mengakibatkan beban nelayan bertambah, jarak melaut semakin jauh, kuantitas ikan semakin berkurang, risiko kerja semakin tinggi.
Harapan Nelayan adalah bagaimana pemerintah dapat mendukung usaha nelayan dengan mengatur zona penangkapan ikan antara nelayan tradisional dan nelayan pajeko, penambahan tambatan perahu, serta bantuan alat tangkap.
Misirsnya lanjut LBH, Nelayan bahkan tidak tahu bahwa telah terbit Perda RZWP3K dan Pergub Reklamasi. Yang mana dalam aturan tersebut, wilayah pesisir Manado utara telah ditetapkan sebagai zona pemanfaatan umum. Padahal, Nelayan telah bertahun-tahun memanfaatkan wilayah pesisir sebagai sumber mata pencaharian. Masyarakat Nelayan telah terikat dan bergantung dengan sumber daya pesisir dan laut Manado utara.
YLBHI-LBH Manado menuntut Pemerintah Daerah Sulawesi Utara agar, pertama, membatalkan rencana proyek reklamasi di pesisir utara Kota Manado. Kedua, memperhatikan kondisi sosial Nelayan dan lingkungan pesisir, melalui pemenuhan hak-hak nelayan, mengusahakan kesejahteraan nelayan, kebutuhan tambatan dan alat tangkap untuk mendukung usaha penangkapan ikan, perlindungan serta jaminan usaha penangkapan ikan, serta pembersihan ekosistem laut dari limbah pembangunan.
“Juga membuka ruang dialog terbuka yang sungguh-sungguh dengan masyarakat nelayan, serta menyerap apirasi dan keluhan nelayan secara menyeluruh, tidak hanya sepihak atau hanya pada kelompok tertentu,” kata LBH Manado. (**)
Editor: Ady Putong
Discussion about this post