Hobbit, ternyata bukan monopoli dunia fiksi Tolkien. Sejarah penduduk Pulau Sangihe juga punya kisah manusia kecil nan imut itu, yang disebut Apapuhang. Mereka kini ras manusia yang tak lagi kasat mata.
Tempat itu bernama Balang Apapuhang. Sebuah lembah di Pulau Sangihe. Mendengar kisah lembah ini, siapapun akan terseret ke tamasya imajiner dalam dunia fiksi JRR Tolkien, yang berkisah tentang The Shire, desa cantik tempat tinggal hobbit, ras humanoid dalam film trilogi The Lord of the Rings.
Kendati terjebak antara fakta dan fiksi, historiografi lokal tegas menyebut adanya jejak keberadaan manusia-manusia kecil di negeri itu. Namun mengungkap mereka, setara upaya menyingkap kabut. Beruntung, ada sederet artefak dan sumber yang tersedia yang bisa dijadikan area telusuran. Ikwal peradaban umat manusia bertubuh mungil di negeri penyair JE Tatengkeng ini pun bisa tersingkap.
Beberapa ahli sejarah menyimpulkan, Apapuhang adalah manusia awal (pra-sejarah) yang mendiami lembah indah itu. Mereka hidup bersamaan dengan era para raksasa (Angsuang), kemudian disusul homo sapiens lainya—terutama ras manusia biasa yang disebut dalam nama lokal, Ampuang.
Orang boleh tak percaya, namun fakta tentang keberadaan manusia Hobbit Sangihe yang hidup sejak ribuan tahun lalu itu dicatat sumber-sumber sejarah lokal. Dan andai kata kisah-kisah menakjubkan tentang mereka sekadar isapan jempol, maka sejumlah buku sejarah, di antaranya karya Adriaan (1968), Tatimu (1973) menjadi tak berarti dalam peradaban Sangihe. Bahkan peradaban dunia.
DR Ivan RB Kaunang SS, MHum adalah salah satu sejarawan terkemuka yang dimiliki Sulawesi Utara yang percaya Apapuhang pernah ada. “Bulan Sabit di Nusa Utara” (2010) adalah salah satu dari sekian buku yang sudah ditulisnya.
Dalam buku sejarah yang mengupas tuntas sejarah masuknya Islam di Sangihe ini, Kaunang menyentil perihal nenek moyang suku bangsa Sangihe dan Talaud yang disebutnya berasal dari beberapa suku yakni suku Apapuhang, suku Ansuang, dan suku yang datang dari Merano dan Kotabato Filipina, Suku yang datang dari Bowontehu dan keturunan bidadari khayangan.
Apapuhang lebih spesifik disebut Kaunang, sebagai jenis manusia alam yang semata-mata tergantung pada alam. Bahasa yang digunakan adalah bahasa yang hanya dimengerti oleh mereka sendiri, yang sebagian telah bercampur dengan bahasa-bahasa Filipina.
Pengajar sejarah di Universitas Sam Ratulangi ini menulis, suku Apapuhang terbagi dalam empat sub suku yaitu (1) Deduhe Batang, suatu kelompok yang berumah di bawah pohon besar yang telah tumbang, (2) Dalige Kalinsu, suatu kelompok berumah di tengah-tengah banir pohon besar, (3) Nanek, suatu kelompok yang tempat tinggalnya berpindah-pindah, dan (4) Tamak, suatu kelompok yang lebih rendah derajatnya dan tempat tinggalnya tidak menentu.
Kembali ke lembah Balang Apapuhang. Data-data yang tersedia memaparkan, tempat hidup para Hobbit versi Sangihe itu terletak di sebelah timur kaki gunung Awu, Sangihe. Di era kerajaan abad 15, kawasan itu termasuk dalam lanskap kerajaan Tabukan. Lembah ini di masa lalu adalah kawasan dengan pemandangan menakjubkan, dihiasi sebuah air terjun dan area hutan yang lebat.
Sebagaimana gambaran dunia para hobbit dalam film The Lord of the Rings, kaum Apapuhang disebut-sebut pernah mukim di sana, sebagai kelompok masyarakat yang menghuni rumah-rumah pohon dan hidup layaknya manusia pada umumnya.
Tentang bangsa hobbit Sangihe ini, tak sedikit legenda dan mitos yang menyebut mereka adalah penemu berbagai teknologi maju di zamannya. Antara lain teknologi pembuatan perahu, ayaman dan tenunan. Alat-alat music, peralatan perang, alat rumah tangga, dan teknik membangun rumah. Mereka juga punya sistim kekerabatan mulai diatur sampai kepada persekutuan hukum yang mengikat kebersamaan.
Belakangan, mereka dikatakan telah membangun sebuah kerajaan yang dikepalai oleh seorang raja. Istana raja mereka adalah sebuah bangunan megah yang berbalutkan emas, di kawasan air terjun Apapuhang, di lembah Balang Apapuhang.
Sayang dikemudian hari, kata para punggawa adat Sangihe, kerajaan para Hobbit ini lenyap akibat ulah manusia biasa. Mereka memilih menjauh dari lingkungan hidup manusia pada umumnya, dan hidup pada dimensi dunia lain yang tak kasat mata.
Manusia Apapuhang dalam kisah orang-orang Sangihe –yang sempat diwawancarai penulis– juga mendekati gambaran fisik para Hobbit dalam fiksi Tolkien. Mereka orang-orang bertubuh kecil. Berbeda dengan manusia Hobbit Tolkien yang digambarkan bertelapak kaki lebar dan telinga yang lancip agak memanjang ke atas. Apapuhang digambarkan lebih imut dari itu, seperti manusia biasa hanya saja dalam wujud kanak-kanak. Mereka disebut cabang ras manusia.
Peneliti sejarah dan Budaya Sangihe, Alffian Walukow dalam bukunya “Kebudayaan Sangihe” (2009) menyebutkan, Apapuhang adalah jenis manusia pertama yang pernah hidup di pulau Sangihe. Mereka hidup di cabang pohon. Persebarannya meliputi kawasan desa Utaurano antara desa Mangehese dan desa Bowongkalaeng, terletak di sebuah lembah yang sekarang dikenal dengan nama Balang Apapuhang, di kecamatan Tabukan Utara.
Bentuk fisik Apapuhang digambarkan Walukow, bertubuh pendek, kerdil. Memiliki kerajaan di bawah bumi. Untuk dapat masuk ke dimensi kerajaan Apapuhang saat ini, harus melewati pintu gerbang yang berada tepat di belakang air terjun Apapuhang di Kampung Lenganeng.
Sjahrul Ponto, budayawan Sangihe dari keturunan raja-raja Kerajaan Kendar (Kendahe) dan Kerajaan Tabukan—bahkan juga kerajaan Siau dalam perbincangan dengan penulis, belum lama, di Kota Tahuna, mengungkap, Apapuhang tak sekadar dongeng sebagaimana anggapan banyak orang.
“Mereka nyata, senyata kita melihat dunia manusia biasa,” tegas lelaki yang menguasai berbagai budaya tua kepulauan itu.
Menurut Sjahrul, kemajuan teknologi bangsa Apapuhang membuat mereka tak lagi kasat mata. Dan lagi kata dia, para Hobbit Sangihe ini telah memiliki beragam kesaktian, termasuk telah membebaskan diri dari cengkeraman gravitasi. “Mereka sudah bergerak dalam keadaan melayang,” ungkapnya serius.
Membantah anggapan, manusia Apapuhang hanya dongeng semata, Sjahrul mengatakan, hingga saat ini tak sedikit orang-orang Sangihe yang mendaki gunung Awu sesekali masih bertemu dengan manusia Apapuhang.
Di era kerajaan-kerajaan Sangihe sejak abad 15, papar dia, para Apapuhang masih melakukan semacam barter beras atau bubur dengan rompi perang yang dalam bahasa setempat disebut “Papehe Oto”. Papehe Oto membuat pemakainya menjadi kebal terhadap berbagai senjata.
“Papehe Oto itulah yang dipakai para kastria kerajaan masa lalu, yang hingga kini masih terwaris dan di jaga para turunan bangsawan kerajaan-kerajaan Sangihe,” ungkapnya. Bahkan untuk membuktikan keberadaan para hobbit Sangihe ini, Sjahrul memperlihatkan koleksi gigi imut kecil kepada penulis, yang kata dia adalah gigi manusia Apapuhang. Dan penulis mendapatkan satu gigi untuk dibawa pulang.
Di tahun yang lama, kisaran 1990-an, penulis sempat mendiskusikan sejarah Apapuhang dengan seorang ahli budaya Sangihe, Rembran Radangkilat. Ia menyatakan pendapat yang sama seperti yang disebut Sjahrul. Hanya saja ia menekankan, pemukiman Apapuhang saat ini berada di belakang air terjun Apapuhang di kampung Lenganeng.
“Hanya orang-orang terpilih yang bisa masuk ke perkampungan Apapuhang,” ujar lelaki yang mengaku sudah pernah berkunjung ke negeri para hobbit Sangihe itu.
Sementara upaya pembuktian manusia pra-sejarah Sangihe sebagai nenek moyang penduduk kepulauan Sangihe telah dilakukan oleh Dr. Peter Beltwood dari Australian National University Departemen of Prae-history.
Peter Beltwood yang bekerjasama dengan pihak permuseuman Kantor Pendidikan dan Kebudayaan yang diwakili Drs. I. Made Sutayasa pada bulan Juni sampai Juli 1974 mengadakan penggalian di Kepulauan Sangihe dan Talaud. Dari hasil penggalian ditemukan taring dan gading hewan purba, gerabah bermotif, flakes, kerangka manusia purba di Goa Bowongleba Manalu, Sangihe.
Temuan itu memberikan gambaran bahwa sudah ada kehidupan di kepulauan Sangihe dan Talaud sejak kurun waktu 5000 tahun silam.
Pernah pula Tim Arkeologi Nasional, melalui Balai Arkeologi Manado dalam laporan penelitian arkeologi tentang “Kajian Permukiman dan mata pencaharian hidup manusia masa lalu di Kepulauan Sangihe Talaud, Sulawesi Utara” menegaskan, bahwa sudah sejak lama ada kehidupan di Kepulauan Sangihe dan Talaud.
Apapuhang Dalam Versi Legenda
Di Sangihe, legenda Apapuhang memiliki versi yang beragam. Manusia mitos kecil imut itu ada yang diceritakan sebagai manusia peri yang memiliki kesaktian. Portal resmi Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe mengungkap Apapuhang adalah sekelompok masyarakat primitif dengan cara hidup yang sangat tradisional. Tempat tinggal mereka adalah rumah pohon di atas dahan–dahan yang besar.
Berikut ini penulis menampilkan versi cerita pengantar tidur yang banyak dikisah para orang tua kepada anaknya:
Dahulu kala, di pulau Sangihe, hidup sekelompok manusia bertubuh kecil. Mereka disebut manusia Apapuhang atau manusia kerdil. Kendati tubuh mereka kecil mungil, tapi mereka adalah para pemburu yang perkasa. Kaum lelakinya berwajah tampan rupawan, kaum perempuannya cantik menawan.
Meskipun hidup di hutan, bau tubuh mereka membaunkan wangi bunga manuru (melati). Ini sebabnya, ketika mereka datang di suatu tempat, maka akan terhidu bau menuru di tempat itu. –di Sangihe, bau menuru adalah petanda kehadiran makhluk gaib.
Apapuhang hidup dengan damai di lembah bernama Balang Apapuhang, terletak di sebelah timur kaki gunung Awu, Sangihe. Aktifitas kehidupan mereka sehari-hari didominasi kegiatan berburu, dan pemenuhan kebutuhan lainnya, seperti mencari buah di hutan.
Lembah Balang Apapuhang sebagai tempat tinggal orang-orang kecil ini adalah sebuah kawasan hutan yang sangat lebat, banyak pepohonan besar di sana. Dari keadaan seperti itu memungkinkan hidup banyak binatang yang kemudian merupakan binatang buruan sebagai makanan sehari-hari para Apapuhang.
Pada suatu masa, wilayah perburuan mereka semakin meluas hingga mencapai tepi pantai Naha, Tabukan. Salah seorang dari mereka yang tiba lebih dulu di pantai, langsung menceburkan diri di air dan mencecap rasa asin dari air laut.
Rasa asin yang untuk pertamakalinya dicecapnya itu membuat ia terkejut. Betapa tidak, sebelumnya mereka tidak tahu-menahu dengan rasa asin, sebab makanan yang mereka konsumsi adalah makanan mentah tanpa dimasak. Seperti daging binantang buruan, dedaunan, dan umbi-umbian.
Ia pun pulang ke desanya, dan menceritakan hal menakjubkan dari laut yang baru dilihatnya, dan rasa asin air laut yang baru ditemukannya kepada sahabat-sahabatnya. Ke esokan harinya berbondong-bondonglah warga di lembah itu menuju tepi laut. Mereka semua menceburkan diri di air laut, menikmati hangatnya, dan tak lupa mencecap rasa asin yang menakjubkan itu, sampai kemudian pulang ke hutan tempat tinggal mereka.
Kegiatan ke laut pun berlanjut terus setiap hari. Suatu ketika mereka merasa lelah. Pergi ke tepi pantai dengan berjalan kaki bukan perkara gampang bagi mereka yang bertubuh imut ini. Mereka pun mencari akal agar bisa secepatnya sampai di pantai dan tidak banyak mengeluarkan tenaga.
Tercetuslah ide di suatu hari. Mereka membuat perahu, ya perahu. Seluruh warga saling bantu-membantu. Perahu pun terwujud. Tapi bagaimana caranya membawa perahu yang mereka bangun di kaki gunung hingga ke pantai? Makhluk-makhluk kecil ajaib ini pun berpikir keras.
Muncul ide baru. Karena sekitar lembah tersebut terdapat tebing yang sangat terjal, maka mereka membangun aliran air dari satu sumber mata air di gunung ke arah tebing membentuk air terjun. Airpun mengalir membentuk sungai kecil menuju lembah sampai ke pantai.
Semua girang. Namun persoalan baru muncul lagi. Perahu tak bisa beringsut dan beranjak. Air yang mengalir hanya sedikit dan tidak cukup mampu menyeret perahu ke arah pantai.
Mereka pun mencoba akal yang lain. Mereka mengikat perahu di atas pohon yang tinggi dan salah satu ujung tali diikat pada pohon yang lain dibelakang perahu lalu ditarik seperti ketepel. Namun ternyata perahu itu tak bisa dilontar terlalu jauh.
Mereka mulai pesimis dan beranggapan bahwa mustahil untuk dapat sampai ke pantai dengan cepat tanpa berjalan kaki. Tapi di suatu ketika terpikir oleh mereka untuk membawah air laut ke tempat tinggal mereka dan ditampung di suatu wadah agar menjadi tempat pemandian.
Merekapun mendapatkan ide membuat keranjang dari anyaman rotan (Bika) sebagai sarana untuk mengangkut air laut ke tempat mereka. Namun mengangkut air dengan keranjang tentu mustahil. Hari lepas hari akhirnya mereka bisa menciptakan sarana untuk mengakut air laut itu. Dan sebuah kolam tanah berisi air laut pun tercipta di kampung mereka.
Dari temuan yang satu ke temuan berikutnya, merangsang mereka untuk menemukan temuan yang baru lagi. Lama-kelamaan berkembang rasa ingin tahu tentang segala hal di antara mereka. Orang-orang Apapuhang mulai menemuka teknologi untuk membantu mereka bertahan hidup di lembah Balang Apapuhang.
Sistim kekerabatan mulai diatur sampai kepada persekutuan hukum yang mengikat kebersamaan. Mereka kemudian membangun sebuah kerajaan yang dikepalai oleh seorang raja. Membangun istana megah yang berbalutkan emas. Inilah diantaranya pencapaian mereka. Kendati bertubuh kecil mungil dan imut, karsa dan karya mereka tak sekerdil tubuh mereka.
Kendati dikemudian hari negeri Apapuhang itu telah hilang, namun mereka telah mewariskan sejumlah pengetahuan awal yang berhubungan dengan teknologi dan seni budaya kepada penduduk Pulau Sangihe, diantaranya, cara membangun rumah, membuat perahu, menganyam dan menenun, serta berbagai peralatan rumah tangga, dan alat-alat perang. (***)
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post