Kesenian Masamper kini populer dimana-mana. kehadirannya menandai eksistensi kehidupan masyarakat suku Sangihe yang berdiam menetap di berbagai tempat. Memang demikian adanya, bahwa sudah semenjak dahulu masyarakat suku Sangihe sangat dekat dengan kehidupan bermusik/bernyanyi. Hal ini ditandai dengan jenis-jenis seni tradisi yang tak lepas dari sentuhan irama. Misalnya ; Sasambo, Kakalumpang, tarian Gunde dan lain sebagainya.
Kesenian Masamper merupakan grup seni bernyanyi yang memadukan dua unsur utama, yaitu Vokal dan sentuhan gerak seirama. Menyanyi dan kadang-kadang disertai dengan gerak tari dari si pembawa lagu dalam tradisi Masamper, tidaklah sekadar menyanyi bersama. Pengaturan tempat duduk dalam tradisi Masamper selalu membentuk bulatan. Bagian tengah lokasi masamper dibiarkan kosong, menjadi tempat bagi mereka yang mendapat giliran memimpin lagu.
Jika ditarik mundur, jauh sebelum kesenian Masamper itu berkembang, masyarakat Sangihe sudah lebih dahulu mengenal kesenian yang dinamakan Mebawalase Sambo (berbalas sambo).
Ada tiga unsur penting dalam Mebawalase Sambo yaitu Metagonggong, Mesambo, dan Mebawalase. Inti dari kesenian ini adalah Mebawalase. Setiap lawan sambo harus mampu menjawab atau membalas syair yang disambokan. Kalau tidak maka akan dianggap kalah. Berdasarkan cerita dari kampung Dagho, Kalamadagho dan Pananaru bahwa pulau Sambo yang ada di pantai kalamadagho terlempar akibat permainan Tagonggong dan Sasambo seorang yang sakti.
Sampai saat ini, pulau tersebut dinamakan pulau Sambo. Di masa lalu, setiap sambo yang dilantunkan memiliki kekuatan magis yang dapat membunuh orang. Bentuk lagu sambo terdiri dari : lagung balang,lagung sonda, lagung sasahola,lagung duruhang, dan lagung bawine.
Dari tradisi Mebawalase Sambo (berbalas sambo) ini, lahir bentuk seni mebawalase kantari (berbalas lagu) yang kemudian melalui sentuhan bangsa eropa mengalami semacam akulturasi antara paduan suara musik gereja dan mebawalase kantari (berbalas lagu) melahirkan bentuk kesenian baru yang berkembang menjadi Masamper nyanyian gerejawi, Masamper Mebawalase Kantari atau berbalas lagu yang dilombakan dan Masamper Pengisi Acara diberbagai macam perhelatan.
Hal demikian juga ditulis dalam artikel Jolly Daud Horonis bahwa pada abad ke 15 para Zending datang untuk memberitakan injil dan di dalamnya pula memperkenalkan nyanyian-nyanyian rohani yang biasa digunakan dalam ibadah. Pada waktu itu orang-orang Sangihe memang sudah gemar menyanyi, walaupun belum mengenal solmisasi.
Bernyanyi secara berkelompok ini oleh para Zending disebut Zangvereeninging (bahasa belanda) yang berarti kelompok menyanyi. Oleh karena sebutan ini adalah bahasa asing, maka oleh orang-orang Sangihe terlafalkan berdasarkan dialek bahasa sangir menjadi Samper. Dalam perkembangannya masamper juga disebut dengan Pato-Pato.
Sebutan ini terkait dengan sebuah judul lagu masamper. Pato dalam bahasa Sangir berarti perahu atau bahtera. Lagu pato-pato ini ketika dinyanyikan bisa membuat orang menyanyi atau orang yang mendengarkan terangsang untuk berdiri dan menggerakan tubuh sambil bernyanyi mengikuti irama lagu.
Hal demikian juga tertulis dalam artikel Sejarah Sangihe bahwa pada awalnya kesenian Mebawalase Kantari dilaksanakan pada kumpulan keramaian sebagai pertunjukan rakyat dalam acara-acara hayatan, pernikahan dan kematian.
Proses mebawalase kantari mula-mula adalah seorang berdiri sambil bernyanyi lalu diikuti oleh peserta yang hadir sambil menunjuk satu demi satu orang yang hadir. Ketika lagu berhenti, dengan sendirinya orang yang tertunjuk bersamaan dengan akhir lagu harus berdiri menggantikan orang yang sedang berdiri. Kesenian itu kemudian disebut “Tunjuke”.
Kesenian mebawalase kantari menemui persimpangan sejak masuknya injil di tanah sangihe. Pada saat itu lahir bentuk paduan suara gereja yang disebut Zangvereeninging yang diambil dari kata dasar zang (bahasa belanda) yang berarti nyanyian. Di manganitu kelompok paduan suara ini berkembang sejak akhir tahun 1800 dengan sebutan sampregening.
Diawal tahun 1900 Nn. C.W.S. Steller menawarkan diri menjadi pelatih sampregening Jemaat Kristen Paghulu. Lambat laun kesenian eropa ini terinkulturasi dengan kesenian “tunjuk”. Kemudian muncul kesenian masamper yang merupakan persilangan antara paduan suara gereja dan kesenian tradisional. Pengistilahan sampri sebagai paduan suara masih digunakan sampai tahun 1960-an. Bersamaan dengan itu sudah muncul istilah sampere yang menggantikan istilah tunjuk pada kegiatan mebawalase kantari.
Dengan demikian perkembangan masamper hidup melalui tradisi kesenian mebawalase sambo yang kental dengan kepercayaan magis, selanjutnya tradisi tunjuke, yang juga pada perkembangannya masih dipercayai pada beberapa lagu mengandung unsur magis. Kedatangan bangsa eropa melalui para Zending dengan pelan-pelan menetralisir hal-hal demikian dengan sentuhan kehidupan rohani melalui lantunan musik gereja yang disebut Zangvereeninging atau Masamper.
Hingga hari ini tradisi kesenian masamper sudah berkembang sangat jauh. Proses kesenian masamper pun sudah sering dilombakan melalui proses Mebawalase Kantari (berbalas lagu). Penyelenggaraannyapun meluas dan tidak hanya di daerah kepualauan Nusa Utara.
8 Oktober 2016 pada pada kegiatan Festival Pesona Selat Lembeh kesenian Masamper mencatat rekor di Museum Rekor Indonesia (MURI) dengan peserta terbanyak yakni lima ribu orang yang diikuti oleh para PNS, THL, dan masyarakat umum. Kemudian di Minahasa, kesenian masamper dalam bentuk lomba turut mewarnai HUT Ke-55 Pria Kaum Bapa Sinode GMIM Tahun 2017.
Bahkan pada tahun 2018, kesenian Masamper di Kota Bitung melalui ajang Festival Pesona Selat Lembeh telah mendapat pengakuan nasional. Menariknya dalam ajang itu, Bitung yang begitu serius mengembangkan tradisi nusa utara ini, menampilkan sebanyak 21 Sekolah Dasar (SD) se Kota Bitung, Sulawesi Utara, ikut dalam lomba Masamper memeriahkan Festival Pesona Selat Lembeh (FPSL) 2018.
Sementara pengembangan Masamper di kepulauan Sangihe sebagai akar mula seni tradisi ini, terakhir dipentaskan di Festival Pesona Sangihe 2018 dalam bentuk lomba pagelaran seni Masamper Sabuah dan pada prosesi acara adat Tulude dlaam bentuk pagelaran seni, khususnya Masamper Sabuah.
Hal demikian memberikan makna bahwa kehidupan berkesenian tak dibatasi oleh ruang dan waktu. Gemah lantunan suara orang-orang kepulauan kini mulai terdengar diseluruh penjuruh tanah air. Dan tulisan ini kiranya menjadi sebuah ruang ingatan, bahwa pendahulu-pendahulu orang Nusa Utara telah mewariskan maha karya seni untuk memperkenalkan eksistensi suku bangsanya melalui ruang kesenian yang nampaknya perlu keseriusan untuk melestarikannya.
Sumber:
-Nusa Utara, Alex Ulaen (2016)
-Sejarah Sangihe, Alffian Walukouw Tanggal 16 Juli 2013 oleh Alffi. Revisi 5 oleh Teti pada 16 Juli 2013
-Jolly Horonis, artikel Untuk Bangsaku; Masamper
Penulis : Rendy Saselah
Discussion about this post