Sangihe, Barta1.com – Sangihe berduka, teristimewa Kampus Politeknik Nusa Utara (Polnustar) Sangihe. Ya, sebuah kecelakaan Lalu Lintas (Lakalantas) merenggut nyawa mahasiswa Polnustar, Cindy Elias (20) menuai berbagai tanggapan masyarakat.
Cindy merupakan mahasiswa tingkat akhir Program Studi Keperawatan Polnustar, menghembuskan nafas terakhir, pada Jumat, (17/5/2019) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Liun Kedage, Tahuna, akibat kecelakaan yang dialaminya di ruas jalan Boulevard kompleks Pelabuhan Tua (Peltu), Rabu, (15/5/2019).
Kronologis kecelakaan itu menurut Kepala Satuan Lalulintas (Kasat Lantas) Polres Kepulauan Sangihe, Iptu Awaludin Puhi terjadi ketika kendaraan roda dua jenis Honda Tiger hitam dengan Nomor Polisi DB 5299 GF, yang dikendarai JS (36) melaju dengan kecepatan tinggi dan keluar dari lajurnya kemudian menabrak bagian depan kendaraan yang dikendarai Cindy.
“Dia (korban) terpental ke kanan dan jatuh ke aspal sehingga mengalami luka robek di dada sebelah kanan, luka robek di telapak kaki kanan, luka lecet bagian betis patah tulang tangan kanan, dan tidak sadarkan diri,” ujar Puhi, kepada awak media, Kamis (16/5/2019).
Atas musibah ini, banyak kalangan meramaikan media sosial dengan tanggapannya masing-masing. Termasuk Direktur Polnustar, Prof Dr Ir Frans Gruber Ijong MSc, pimpinan di kampus Cindy mengenyam pendidikan tinggi.
Ketika dihubungi dan sebelum memberikan tanggapannya Prof Ijong, sapaannya mengucapkan turut berduka cita sedalam-dalamnya, sebab korban merupakan mahasiswanya yang sebenarnya akan diwisuda rencananya diantara bulan Agustus atau September.
“Yang bersangkutan itu sudah pasti ada dalam rencana wisuda pada bulan Agustus atau September. Cuma karena kejadian ini menimpanya, akhirnya pupus harapan orang tua. Dan ini yang kami sangat sesalkan, akibatnya karena lakalantas yang terjadi, bahkan miris sekali kalau kita dengar dari cerita beberapa orang bahwa ternyata itu hasil kebut-kebutan di jalan yang dilakukan oleh teman-teman yang mengendarai motor itu,” ungkap Profesor di bidang perikanan itu.
Lanjut dia, menyentil kelayakan fasilitas pendukung jalan raya, menurutnya di Kota Tahuna dari amatannya sudah sangat mumpuni sekali. Dari lampu jalan, dan sebagainya yang mungkin yang perlu diberi perhatian kata dia adalah terus bersosialisasi ke masyarakat. “Bagaimana ketika siapapun yang berkendaraan ketika masuk di area jalan raya, ia harus mengurangi kecepatan,” katanya.
“Ini yang kadang-kadang kita abaikan, seperti ada zebra cross di dekat perempatan ada Pos Lantas. Di situ lain kali menegur pengendara, bahwa zebra cross itu hak pejalan kaki. Siapa pun, pejabat sekalipun yang menyebrang dari situ harus mendahulukan pejalan kaki,” tambah Ijong.
Isu yang Menjerat Salah Satu Komunitas
Menurut Ijong, kehadiran komunitas merupakan wadah pembinaan jika dilakukan secara bertanggungjawab. “Saya pernah mengikuti ketika ada fun riding yang dibuat bersama Polres di Tahuna dan Satlantas, bagus skali untuk pembinaan,” kata dia.
“Tetapi kemudian yang menjadi konsern dari kita semua adalah bagaimana pengawasan di lapangan, apakah komunitas ini ia memiliki jangkauan, atau memiliki kemampuan atau mengawasi dia punya anggota. Kalaupun dia cuma masyarakat biasa tentunya menjadi tanggung jawab, katakanlah lantas dan masyarakat pada umumnya untuk mengingatkan,” tambahnya.
Sementara itu, imbas dari kejadian tersebut adalah komunitas motor yang ada di Kepulauan Sangihe, khususnya Sangihe Tiger Club (STIC). Pemberitaan salah satu media online pada 15 Mei 2019, terang-terangan menulis nama STIC yang merupakan salah satu komunitas motor di Sangihe.
“Seorang saksi mata berinisial C saat dikonfirmasi media tersebut menuturkan bahwa kejadian naas ini bermula saat rombobongan motor Tiger yang dikendarai oleh seorang pemuda bernama Jerfy S melaju dengan kencang dari arah Tidore. Ia dan rombongan motor-motor Tiger yang tergabung dalam “STIC” baru aja pulang dari melayat di rumah duka di Manganitu,” seperti dikutip dari kompaq.id, terbitan 15 Mei 2019.
Dokter Steven Paparang, meluruskan kejadian yang sebenarnya terjadi. Dirinya juga sebagai bagian dari STIC yang ada pada waktu itu ternyata memberikan pertolongan pertama kepada korban. Dirinya membantah pemberitaan yang mengatakan bahwa pengendara yang bermotor Tiger yang dimaksud adalah bagian dari STIC.
“Yang kami sesalkan kenapa dalam tempo kurang dari satu jam, sejak dari kejadian itu tiba-tiba menyebutkan nama STIC tanpa ada wawancara kepada kami. Oleh karena itu kami menghubungi pihak yang memberitakan untuk melakukan klarifikasi,” kata Paparang.
Lanjut Paparang, mengurai kronologis kejadian, betul ada rombongan STIC yang panjang itu sudah kembali dari rumah duka jam 18.00 wita, kata Paparang. Namun demikian pada waktu itu dirinya dan beberapa teman mencoba untuk tinggal di rumah duka untuk main keyboar menyanyikan lagu-lagu ibadah. Kemudian waktu efektifnya mereka berempat pulang dari rumah duka jam setengah sepuluh malam.
Sebelumnya, kata dia, biasa-biasa saja dari wilayah Manganitu ke Tahuna. Sampai di Kompleks Pertamina Tahuna hingga ruas jalan Boulevard Tidore. Tiba-tiba JS menyalipnya dari belakang dengan kecepatan tinggi. “Nah saya minta tolong teman yang ada di belakang, tolong diingatkan. Posisinya saya, masih di Tidore Tengah, bro JS ini sudah di jembatan ToTi. Ketika saya tiba di belakang Mesjid Nur, saya meihat sudah ada keramaian di depan. Di situ firasatku sudah mulai kurang bagus,” ungkap Paparang.
Firasatnya ternyata benar, JS yang tadinya melaju kencang mengalami kecelakaan. Dan dirinya segera melakukan pertolongan pertama kepada korban yang dianggapnya kritis, sebab memang demikian bahwa dirinya adalah seorang dokter. “Saya langsung parkir motor menuju ke korban perempuan. Saya langsung lihat tanda-tanda vital, karena dokter. Kita lihat dulu, nadinya ada, dia posisinya waktu itu tertelungkup, saya bahasakan posisinya itu posisi miring stabil. Kalau misalnya bantuan belum ada, posisikan korban pada posisi miring stabil, hingga kemudian membawanya ke rumah sakit,” tutur Paparang.
Terkait dengan JS, sang pengendara Tiger yang dimaksud, Paparang mengungkapkan dia bukan anggota STIC seperti yang diberitakan salah satu media itu. “Kebetulan pada waktu itu, saya memakai kemeja member STIC. JS bukan, dia sahabat saya, dia perawat saya, dan staf saya dulu. Waktu itu dia mampir kepada kami memanggil juga ke rumah duka, kebetulan kami juga punya utang budi ke JS, karena dia membawa bro Dade untuk di rawat di Manado,” terang Paparang.
“Makanya waktu itu ketika ada pemberitaan seakan-akan menyudutkan klub kami, saya juga bingung. Kalau pun nama STIC di bawa-bawa, betul ada STIC di situ, karena ada saya. Dan saya pada posisi penolong pertama. Kalau kemudian kami di bilang ugal-ugalan, kami juga rasa sedih, sebab organisasi kami sosial kemasyarakatan,” ungkapnya.
Kecaman Kepada Komunitas Motor
Steven Paparang yang juga sebagai Ketua Forum Bikers Sangihe (FBS), ketika ditemua awak media, Jumat (17/5/2019), dalam forum itu menurutnya ada 11 Klub Motor. Forum itu menurutnya jelas mereka mengampanyekan keselamatan berkendara.
“Kami juga pernah sama-sama berkendara dengan Pak Bupati, melakukan giat sosial berupa penanaman bakau, donor darah, dan lain-lain. Kalau soal dibubarkan, adohh masyarakat barangkali masih emosi, dan kami memaklumi itu. Ini tidak saja badai yang kami hadapi. Jadi posisi mengenai opini masyarakat kami tidak bisa menangkisnya,” ujar Paparang merendah.
Mengenai opini publik yang sudah terangkat jauh, mereka tetap berusaha menjalin komunikasi dengan pihak keluarga almarhumah. “Tapi waktu di rumah sakit saya sudah sampaikan dengan Paman dan mereka akan melanjutkan proses hukumnya. Tetap kami hargai, kepada pihak pihak kepolisian kita pikir mereka akan objektif,” kata dia.
“Jadi opini publik terbentuk karena ada saya di sana, orang-orang hanya lihat STIC, tapi tidak melihat saya yang angkat korban dan saya yang bawa ke rumah sakit. Terkait bro JS, kami tidak akan lepas tangan tetapi opini publik sudah tergiring yang jelas sangat menyudutkan, kami akan doakan juga akan tetap mendukung,” jelas Paparang.
Soal wacana yang berkembang berupa kecaman warganet kepada para komunitas motor, atau indikasi penggiringan isu untuk pembubaran komunitas motor, Barta1.com meminta tanggapan Kapolres Sangihe, AKBP Sudung Napitu SIK.
Menurut Kapolres, pada prinsipnya komunitas ini dibuat untuk rumpun silahturahmi. “Artinya, berkumpul bersilahturahmi, namun konteks pelaksanaannya tetap mengacu pada peraturan yang berlaku terkait dengan lalu lintas. Yah harus dilengkapi dengan helm, surat-surat kendaraan, intinya tertib berlalu-lintas,” kata Napitu.
Sementara terkait kecelakaan tersebut masih dalam penyelidikan. Kalau kemudian menyangkut masalah keterkaitan dengan organisasi sepeda motor, mungkin itu perbuatan personal, bukan perbuatan organisasi. “Jadi maksud saya di sini memang kita belum tahu apakah ada kaitannya dengan organisasi. Kami melihat sampai saat ini, ini masih sifatnya personal begitupun penyebab kejadiannya masih kita selidiki,” jelas Napitu.
Peliput : Rendy Saselah
Discussion about this post