Manado, Barta1.com — Gugatan Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Bangka Belitung, Dr Binsar M Gultom SH, SE, MH terhadap Komisi Yudisial Republik Indonesia menjadi perbincangan serius di daerah. 21 organisasi non pemerintah yang tergabung dalam presidium Swara Manguni Sulawesi Utara ikut menanggapi masalah tersebut.
Bahwa pengumuman hasil seleksi sebagaimana tersebut boleh jadi merupakan hasil dari sebuah keputusan, akan tetapi menurut kami adalah bukan keputusan Tata Usaha Negara (TUN) dan/atau Keputusan Administrasi Pemerintahan, dan/atau Keputusan Administrasi Negara karena tidak memenuhi kualifikasi individual dan final sebagaimana seharusnya Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat Kumulatif, Konkrit, Individual, dan Final,” kata Swara Manguni Sulut dala rilis yang ditandatangani Yoseph Ikanubun selaku Koordinator bersama Divisi Advokasi Maximus Watung SH MH dan Divisi Hubungan Antar Lembaga Jeckson Wenas SH, Kamis (04/04/2019).
Hal tersebut, lanjut mereka karena, masih harus mendapatkan persetujuan dari institusi lain dalam hal ini DPR, mengacu pada Pasal 13 huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.
Gugatan Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Bangka Belitung, Dr. Binsar M. Gultom, S.H, S.E, M.H. terhadap Komisi Yudisial Republik Indonesia yang terdaftar di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta bernomor 270/G./2018/PTUN-JKT, intinya mempersoalkan rekrutmen hakim agung oleh Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia. Ini dilakukan sebagai jawaban atas surat Wakil Ketua Mahkamah Agung bidang Yudisial Nomor 4 Tahun 2018 Tentang Pengisian Kekosongan Hakim Agung.
Perekrutan calon Hakim Agung Non Karir oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia sendiri telah melalui beberapa tahapan, seperti Pengumuman Hasil Seleksi Administrasi Calon Hakim Agung RI Tahun 2018 No.07/PENG/PIM/RH.01.02/09/2018 (objek sengketa KTUN I). Selanjutnya Penguman Hasil Seleksi tahap II kualitas Calon Hakim Agung RI Tahun 2018 No.07/PENG/PIM/RH.01.03/10/2018 (objek sengketa KTUN II)
Hal itu dianggap oleh Hakim Tinggi Binsar selain secara terang-terangan tidak menaati Undang-undang tentang Mahkamah Agung, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53 Tahun 2016 dan surat Wakil Ketua Mahkamah Agung bidang Yudisial Nomor 4 tahun 2018, juga merugikan dirinya selaku penggugat.
Swara Manguni selanjutnya menyerukan, secara implisit subtansi gugatan tersebut pada pokoknya mempersoalkan kewenangan Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam hal perekrutan calon Hakim Agung (karir dan non karir, Pasal 6b ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkmah Agung jo Pasal 13 huruf a UU Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial).
“Kami berpendapat mengenai kewenangan lembaga negara, hal ini adalah kompetensi absolut yang proses penyelesaian perkaranya harus dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, bukan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta karena sekali lagi menyangkut kewenangan lembaga negara,” jelas perwakilan ke-21 lembaga non pemerintah tersebut.
Bahwa berkaitan dengan uraian tadi, Swara Manguni berpendapat yang berwenang memiliki persona standi in judicio berkaitan dengan sengketa kewenangan lembaga negara dalam hal ini adalah Mahkamah Agung, bukan individu atau personal hakim, Dr Binsar M Gultom SH SE MH, Penggugat In Casu ;
Bahwa lanjut mereka lagi, sebagaimana diketahui Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Tanpa maksud meragukan integritas, kompetensi dan indepedensi Majelis Hakim yang memeriksa perkara a quo sekalipun erat kaitanya dengan salah satu dasar diajukan perkara ini yaitu surat Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kekosongan Hakim Agung, namun dalam hukum ada asas Nemo Judex (testis) Indoneus In Propria Causa (tidak ada orang boleh menjadi hakim (saksi) mengenai perkaranya sendiri). Atau menurut Swara Manguni, Nemo Judex In Causa Sua (larangan menguji/mengadili lembaganya sendiri)
“Sehingga kami berpendapat, dengan tidak mengurangi pemahaman bahwa pengadilan atau hakim dilarang menolak suatu perkara hanya karena alasan tidak ada hukum yang mengatur, namun demikian, alangkah baiknya perkara ini ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta,” ujar mereka presidium Swara Manguni Sulut. (**)
Editor: Ady Putong
Discussion about this post