Sajak-sajak Iverdixon Tinungki
GADIS PLASTIK DARI JIAMEI
lima ratus tahun kemudian
saat kotakota lama ditata ulang,
samudera dibersihkan,
bongkahan es kutub didinginkan
dan tanah kembali digemburkan
keturunan kita akan menemukan
berjutajuta gadis plastik dari Jiamei
dari pabrikpabrik seantero dunia,
terjengkang, memperlihatkan
betapa buruknya nilai hidup kita
dan mereka berkata: sekesepian itukah leluhur kita,
sesunyi itukah kehidupan mereka, sedatar itukah
akhlak mereka
karena lima ratus tahun sebelumnya,
kita memang diganyang gelombang plastik yang membabi buta
serbuan yang tak terlawankan, bahkan plastik dianggap pahlawan
menjaga bayibayi kita tidur, menemani mereka bermain.
dan mereka tumbuh berkembang dalam dunia plastik yang ramai,
menghadirkan pesta nilai artifisial dari segala bentuk kehidupan
samar di kamarkamar yang diplastikkan dengan teramat gemar
karena lima ratus tahun sebelumnya
kita hidup dalam kebudayaan plastik yang paling edan
kita bergantung pada plastik, daya hidup kita didikte oleh plastik
kemudahan memplastikkan segalanya tak terasa telah merampas
semua kebanggaan kita sebagai manusia, sebagai bagian dari alam
yang harus dicintai dan diselamatkan
dengan buasnya kita biarkan plastik memangsa alam kita
memangsa tumbuhan dan hewan, memangsa diri kita,
keseharian kita, bahkan cinta kita
lima ratus tahun kemudian
dengan begitu malu keturunan kita
mencakapkan kebejatan kita yang tiada taranya
menyampahi samudera, menyampahi tanah,
menyampahi udara dengan plastik, dengan gadis plastik dari Jiamei,
dari Dreamdoll Duppigheim,
dari Strasbourg
menyampahi makna kehidupan dengan robotrobot plastik pemuas nafsu,
dengan tas, dengan kondom modif, dengan payudara silikon,
dengan pinggul silikon, dengan cincin penggeli, dengan penis karet,
dengan vagina getar, dengan alatalat rumah tangga, dengan
kemasankemasan barang dan mesin, dengan bunga, dengan segala
sampah plastik yang tak perlu dan tak berguna
dan mereka akan menyumpahi kita sebagai nenek moyang yang terkutuk
mewariskan bumi rusak akibat nafsu plastik yang tak terkendali
pemimpinpemimpin bangsa kita akan dicemooh sebagai para idot yang
tak mampu menghadirkan kebijakan yang berpihak pada kelestarian hidup
alam semesta
dan mereka akan menulis ulang sejarah manusia
dari kesadaran yang lebih cerah
tentang makhluk yang mencintai planet mereka,
lalu menempatkan kita sebagai kerakera tua yang berotak tumpul
yang hidup di sebuah masa yang begitu buas
saling memangsa,
juga sebagai makhluk yang paling terobsesi dengan plastik
sebagai dunianya
saat keturunan kita memulai kembali hidup mereka
dengan awal yang bijaksana
mereka akan membongkar tulangbelulang dan abu kita
dan menarunya di lubang sampah
bersama plastikplastik yang tak bermakna
PERJALANAN KEMATIAN SEBUAH KANTONG PLASTIK
sebuah kantong plastik kita buang di pinggir jalan
suatu ketika akan sampai di laut
mengambang, menipu ikanikan
seakan uburubur, seakan plankton,
seakan ikanikan kecil mengkilap
sebuah kantong plastik kita buang di pinggir jalan
suatu ketika akan dilahap ikanikan
dan kita melahap ikanikan yang melahap kantong plastik
yang kita buang di pinggir jalan
sejak itu perjalanan kematian sebuah kantong plastik
merambah tubuh kita,
mematikan selsel, merusak pencernaan
lewat kotoran kita, lewat mayatmayat kita
yang dikonsumsi mahkluk lainnya
perjalanan kematian itu terus berulang
mengedari rantai makanan
dalam lima ratus tahun menuju titik urainya
NARASI DARI LAUT
ketika sampah datang menusuk
ombakku melontarkan bau membusuk
dalam selebrasi kematian ganggang,
plankton, ikanikan
dan nyanyian nelayan sumbang
di laut kosong,
arus lumpuh menghidu
racun kau tumpahkan ke tubuhku
apakah kau rasakan tangisanku
ketika antara tanjung dan amarahku
antara pasir dan jasadjasad karangku
berhamburan bagai pilu mengisi pantai
mengisi sejarah ini hari
apakah kau rasakan tangisanku
ketika segala kau rindu pada laut
menjadi buntu, ketika asin tak lagi mampu
menggarami perasaan kalbu
apakah kau rasakan bahwa biru dari
kedalaman hanyalah warna mati
karena cemar kau bagi
suaraku mengguruh bersama angin
dan kau merasa jijik oleh badai
saat ia merayakan segala sedihku
segala sendiku yang kau bantai
dan kau berkata; betapa garang bencana
datang dari pantai
hatimu berlari seakan tubuhku adalah jari maut
iri pada hidup
otakmu berlari dan membangun tembok
seakanakan aku bukan lagi sahabatmu yang elok
aku menangis
apakah kau rasakan juga tangisanku
saat sampahsampah itu mencekik
dan segala racun membidik nadi
harusnya mendetak
dari generasi ke generasi
sebagai laut tak pernah mati
pabila aku mati
nanti atau kini
apa kau rasakan
dari segala hilang ini
apa kau rasakan ketika tanganmu abai
membersihkan luka pada relungku yang koma
dan matamu menghidar warnaku mengelabu
telingamu mengatup untuk semua gema
dari tangisanku harusnya menjadi jalanmu
menuju doa
pabila aku mati
nanti atau kini
apa kau ingin menulis
bahwa yang terbaring di bawah nisan ini
adalah aku dan cintaku yang tak ingin sendiri
hingga kapal dan perahu
juga punya kubur yang biru
Discussion about this post