Oleh: Syofiardi Bachyuljb
“Ging menangis darah namanya tidak masuk dalam Deklarasi Sirnagalih,” kata seorang teman bercanda.
Itu menjadi bahan lucuan karena ada jurnalis yang sangat berjasa mendirikan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dengan tonggak penandatanganan “Deklarasi Sirnagalih” di Wisma Tempo, Sirnagalih, Jawa Barat, 7 Agustus 1994 tidak ikut namanya tercantum sebagai penanda tangan.
“Tapi memang waktu itu tidak ada yang peduli dengan urusan menandatangani deklarasi, bahkan juga ada yang sengaja diminta tidak ikut tanda tangan demi keamanan pekerjaannya, karena rezim saat itu kan represif sekali, jurnalis yang ikut pasti dipecat dari medianya,” kata Stanley Adi Prasetyo (Yosep Adi Prasetyo).
Stanley, ketua Dewan Pers, yang juga pendiri AJI berbagi kisah suatu malam. Banyak kisahnya tidak ada di buku sejarah AJI terbitan AJI sendiri.
Ia menceritakan suasana di Wisma Sirnagalih waktu itu yang dimulai dari diskusi hingga larut dan besoknya penandatangan deklarasi. Bahkan sebagian yang ikut mengonsep deklarasi juga sudah buru-buru meninggalkan lokasi untuk bekerja.
Ging Ginanjar tidak hanya pendiri AJI, tetapi berjuang menegakkan eksistensi AJI dari gerakan bawah tanah semasa Orde Baru. Ketika berkisah tentang sejarah AJI, nama Ging seperti halnya Ahmad Taufik (alm) dan Eko ‘Item’ Maryadi, Tosca Santoso, Satrio Arismunandar, P Hasudungan Sirait, Ati Nurbaiti Hadimadja, Lukas Luwarso, dan lainnya akan selalu muncul.
**
Bagi saya Ging adalah sebuah sikap yang tidak berubah. Dari apa yang saya dengar dan baca tentang dia atau yang ditulisnya dengan sikapnya di kemudian hari.
Pada Mei 2014 kami terlibat dalam diskusi serius di milis Yahoo Goups “Ajisaja”. Ini grup anggota AJI se-Indonesia. Diskusinya tentang bagaimana AJI secara organisasi memperlakukan para pendiri AJI alias deklarator “Deklarasi Sirnagalih”.
Sebagian dari mereka ada yang mendirikan partai, menjadi pengurus partai dan caleg. Ada yang menjadi menteri, ada yang menjadi wakil gubernur, dan ada yang menjadi jubir wapres. Menjelang Pilpres 2014 itu, ada pula yang menjadi timses salah satu pasangan calon.
Saat itu ada pengurus AJI yang memilih menjadi timses mengundurkan diri dari AJI. Lalu anggota milis menyindir, bagaimana dengan para deklarator yang ikut partai tapi tidak pernah mengundurkan diri. Bagaimana keanggotaannya? Apakah ia dipecat dari keanggotaan AJI karena telah melanggar aturan independensi di AJI?
Pendiri AJI mengundurkan diri dari AJI atau pendiri AJI dipecat dari AJI, itu belum pernah terpikirkan hingga 20 tahun usia AJI. Saat itu muncul ide untuk membawa soal itu ke kongres yang akan berlangsung di Bukittinggi: mempertegas posisi para pendiri AJI dalamAD/ART.
Saat itu muncul opsi untuk para pendiri, yaitu dibuatkan keanggotaan khusus yang berbeda dari anggota biasa atau disamakan saja dengan anggota lainnya namun dengan konsekuensi kalau tidak memenuhi syarat keanggotaan AJI lagi, ya keluar atau dipecat.
Ging membalas. Ia tidak suka ada hal-hal yang khusus di AJI terkait keanggotaan. Intinya, ia ingin opsi kedua. Pendapat Ging ini tidak sanggup dibantah pendiri lain, setidaknya yang ikut dalam milis.
Bagi saya, pendapat Ging ini menggambarkan siapa dia. Setiap teringat atau membaca nama Ging Ginanjar saya selalu ingat kata-katanya tersebut.
Ketika saya mendengar kabar Ging wafat hari ini. Setelah ketidakpercayaan kepada kabar itu, saya langsung teringat kata-kata yang dipostingnya.
Selamat jalan Senior Ging. Berisitirahatlah dengan damai. Apa yang telah engkau perjuangkan dan perbuat akan selalu dikenang dan bermanfaat.
Saya kutipkan utuh postingan Senior Ging untuk kita baca bersama….
—
ging ginanjar (ajisaja@yahoogroups.com, May 13, 2014 at 12:25 AM)
Saya setuju agar ada langkah aji untuk mempertegas berbagai hal. Tapi saya tidak setuju sama sekali, jika diberlakukan keistimewaan pada siapapun. Tidak keistimewaan pada para anggota awal AJI, para deklarator, para pencetus, dsb.
Sejarah adalah sejarah. Akan selalu tercatat. Namun apa yang terjadi dalam sejarah, relevan untuk situasi saat itu. Dan situasi, berkembang.
Pahlawan satu masa bisa jadi penjahat di waktu lain. Dan sebaliknya. Tapi kejahatan masa kini tak akan memusnahkan kebaikan masa lalu. Sebagaimana kebaikan masa kini tak bisa menghapus kejahatan masa lalu.
Para pendiri AJI, para pendiri Orde Baru, para pendiri bangsa, para pencetus reformasi, mendapat tempatnya masing-masing dalam sejarah. Itu sudah cukup. Adapun yang dilakukan sekarang, harus dilihat dengan konteks sekarang. Tidak bisa statusnya dalam sejarah membuatnya punya, misalnya, impunitas. Keistimewaan hak dibanding yang lain.
Begitu banyak aktivis reformasi, pelaku revolusi dll yang juga jadi pengkhianat. Peran dalam sejarah, satu hal. Perilaku hari ini, lain hal.
Kalau saya melakukan pelanggaran tertentu di AJI, ya disanksi saja. Kendati saya akan tetap punya hak membela diri, dan berargumentasi. Tapi argumentasi dan pembelaan diri itu akan terfokus pada peristiwanya. Bukan peran saya di masa lalu.
Barakallahu.
—
NB: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46939375
Discussion about this post