Perjuangan membela kaum perempuan, anak, dan masyarakat miskin telah mengantar dia ke panggung Internasional. Tepatnya di kantor PBB, New York City, sosok perempuan asal Nusa Utara ini menerima penghargaan N-Peace Awards 2015 dalam kategori Untold Stories: Woman Transforming their Communities.
Dia adalah Jull Takaliuang. Aktivis yang sangat dikenal di Sulawesi Utara. Ia sosok yang mengabdikan dirinya di tengah persoalan keadilan dan kemanusiaan. Kendati banyak pengalaman traumatik yang dihadapinya, tak membuat ia surut dalam membela kaum perempuan, anak, dan masyarakat miskin.
Pergulatan sepenuh hati selama 17 tahun bersama masyarakat tertindas dan berjuang merebut hak-hak mereka, membuahkan N-Peace Awards yang merupakan penghargaan untuknya sebagai perempuan yang memperjuangkan perdamaian dan menciptakan perubahan dari akar rumput, hingga tingkat nasional di Asia.
Teror, Ancaman Pembunuhan dan Pelecehan
Jull Takaliuang adalah salah satu dari deretan perempuan cerdas Sulawesi Utara. Sosok perempuan sederhana dan bersahaja ini, termasuk aktivis yang tak mengenal takut. Tak sedikit terror, ancaman pembunuhan dan pelecehan yang dialaminya. Ia tetap kokoh, tak goyah memperjuangkan hak-hak masyarakat yang terpinggirkan. Ia bekerja keras memberdayakan dan mendidik masyarakat yang terabaikan di Sulawesi Utara.
“Saya pernah dicekik oleh anggota paramiliter saat kasus Buyat. Itu terjadi di saat putusan pengadilan Rignolda Djamaluddin, tahun 2007. Kemudian, di kasus MSM, saya jadi tahanan rumah. Pernah diserempet hingga nyaris masuk got. Mobil saya juga pernah diancam dibakar,” ujarnya.
Takutkah dia? “Rasa takut hanya akan membuat kita tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, kita tetap perlu waspada,” kata Jull.
Ikwal kiprahnya, sejak tahun 2004 telah intens melakukan advokasi lingkungan bersama Yayasan Suara Nurani di program perempuan. Kemudian mengadvokasi kasus Buyat. Karena, setelah hasil pemeriksaan, dari 100-an orang pekerja yang diperiksa, 70% indikasinya adalah keracunan.
Setelah advokasi di Buyat, ia terlibat advokasi warga di sekitar tambang Maeres Soputan Mining (MSM). Di situ dia pernah jadi tahanan rumah. Selain itu, ia menangani kasus ilegal logging di Desa Lihunu, pulau Bangka. Waktu itu, warga kekurangan air, tiba-tiba ada yang melakukan ilegal logging, sekitar tahun 2005-2006.
“Dari kasus-kasus tadi, saya melihat luar biasanya berperang melawan korporasi. Karena, mereka menggunakan seluruh kekuatan untuk menyerang balik perjuangan kami,” kata Jull.
Melawan Korporasi-korporasi Besar
Berperang melawan korporasi besar tidaklah mudah. Namun kegigihan perlawanan yang ditunjukan sosok aktivis satu ini tak dapat dipandang sebelah mata.
Kendati di tingkatan lokal hingga nasional ia sering dianggap sebagai musuh, karena menolak pembangunan yang berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat serta dipandang berseberangan dengan pemerintah, namun di dunia internasional perjuanganya mendapatkan apresiasi.
“Selama konsep kesejahteraan antara pemerintah dengan masyarakat tidak ketemu, di situ akan terjadi persoalan. Di situ pula saya melawan.,” ungkapnya.

Dikatakannya, pertambangan memiliki dampak yang bisa merasuk ke semua sendi kehidupan. Setelah lingkungan rusak, manusia juga akan terkena dampaknya. Ini sebabnya kata dia, penting tetap ada orang yang konsisten, dan berkomitmen berjuang menyelamatkan lingkungan. Kalau tidak tulus, maka tidak pernah ada advokasi untuk masyarakat yang berjalan baik.
Kendati banyak klaim mengatakan bahwa industri pertambangan identik dengan investasi dan mendatangkan keuntungan bagi masyarakat. Justru menurutnya dengan adanya tambang, masyarakat akan kehilangan keseimbangan
“Saya tidak pernah lihat keuntungannya. Kalau merugikan, iya. Masyarakat hanya dijanjikan bahwa tambang akan membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan kesejahteraan, akan membuka akses jalan. Saya tidak melihat adanya kesempatan masyarakat untuk bertumbuh sesuai dengan kemampuannya,” kritik dia.
Mari kita lihat, lanjut dia, di mana transparansi royalti pertambangan? Siapa yang terima dan dimanfaatkan untuk apa?
“Kalau bicara royalti pertambangan, saya tidak yakin. Lihat saja di daerah-daerah lain yang banyak industri pertambangannya, Kalimantan, Bangka-Belitung hingga Papua, sejauh mana masyarakat di sana sejahtera,” tantang Jull.
Bukan berarti kita tidak mensyukuri tambang yang ada, katanya, tapi di saat teknologi kita belum bisa mereduksi dan mengatasi dampak buruk tambang bagi lingkungan dan masyarakat, kenapa harus dipertahankan?
“Sekarang masih ada sektor-sektor yang lebih ramah lingkungan yang bisa dimajukan. Di Sulut, misalnya, potensi perikanan bisa mencapai Rp900 miliar per tahun. Itu belum dikembangkan,” ujarnya.
Menurut Jull, hingga saat ini, masyarakat masih harus terus banyak berjuang supaya keadilan bisa diperoleh, karena mafia hukum ada di mana-mana.
Melangkah ke DPD RI
Juli 2018 masyarakat Desa Tiberias, Kabupaten Bolaang Mongondow meminta Jull Takaliuang maju sebagai calon Anggota DPD RI, karena mereka percaya sosok aktivis satu ini mampu membawa aspirasi mereka ke Senayan.
“Belum menjadi Anggota DPD RI saja, dia sudah berjuang bersama dengan kami, apalagi kalau terpilih. Dan kami siap mengantar Ibu Jull ke Senayan,” teriak mereka.
Selasa, 31 Juli 2018 ratusan orang pun berkumpul di kediaman aktivis HAM dan Lingkungan Hidup Sulut ini, di Manado, mendeklarasikannya untuk maju sebagai calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Dapil Sulawesi Utara.
Hadir dalam deklarasi itu mayoritas kaum tertindas. Ada yang dari Pulau Bangka, Minahasa Utara, warga Candi, Kota Bitung, lalu warga Desa Tiberias. Tak ketinggalan puluhan pedagang di pantai Malalayang yang tergusur.
Kepada BARTA1.com, ia mengatakan ada tiga perjuangan seandainya duduk di DPD RI nanti: Pertama, berjuang untuk persoalan-persoalan terkait lingkungan hidup. Kedua, perjuangan untuk perempuan dan perlindungan anak. Ketiga, tetap memperjuangan pemberantasan korupsi di negeri ini.
“Semua itu garis perjuangan yang sudah saya lakukan selama ini jauh sebelum mencalonkan diri maju ke DPD RI. Artinya, saya tetap konsisten dengan perjuangan rakyat yang saya bela selama sampai hari ini,” ungkapnya.
Mengapa saya selalu ingin membela masyarakat? Karena, kesederhanaan masyarakat itu yang membuat saya semakin berupaya untuk menolong mereka dalam semua situasi.
“Itu membuat saya menjadi kuat. Terkadang, saya merasa tidak mampu dan buntu. Tapi, ketika melihat orang berurai air mata, dalam ketidakmampuannya, saya pasti akan jadi lebih kuat dari dia,” tutupnya. (*)
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post