MALAYSIA, BARTA1.COM – Lembaga riset Institute of Strategic and International Studies Malaysia mengunggulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) Indonesia tahun 2019 mendatang.
“Dalam konteks politik di Indonesia saat ini, pasangan nomor 01 Jokowi-Ma’ruf mempunyai kesempatan lebih besar untuk memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019,” ujar Deputy Chief Executive Institute of Strategic and International Studies Malaysia, Dato’ Steven CM Wong saat me-launching hasil riset lembaga tersebut, di Kuala Lumpur, Malaysia, Kamis (15/11/2018) lewat rilis yang dikirim ke Barta1.com.
Wong mengatakan, penelitian tersebut dilakukan oleh dua analis lembaga tersebut yang merupakan warga negara Indonesia, yaitu Muhammad Sinatra dan Dwintha Maya Kartika.
Metode 5P
Analis Foreign Policy and Security Studies Institute of Strategic and International Studies Malaysia, Muhammad Sinatra menjelaskan, penelitian itu menggunakan metode analisis faktor 5P, yaitu party (partai), personality (kepribadian), pocket (pendanaan), policy (kebijakan) dan preference (pilihan)
“Hasil penelitian menyimpulkan, pasangan Jokowi-Ma’ruf unggul dalam faktor party (partai) dan personality (kepribadian). Sedangkan pasangan Prabowo-Sandi unggul dalam faktor pocket (pendanaan). Sementara itu, untuk faktor policy (kebijakan) dan preference (pilihan), kedua pasangan terlihat seimbang,” ungkap Sinatra.
Ia menjabarkan, faktor partai melihat konteks distribusi kekuasaan dalam dinamika koalisi kedua pasangan calon dan berdasarkan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018. Berdasarkan jumlah partai dalam kedua koalisi, pasangan Jokowi-Ma’ruf diunggulkan oleh sembilan partai dalam gabungan Koalisi Indonesia Kerja. Sementara itu, pasangan Prabowo-Sandi hanya didukung lima partai dalam Koalisi Indonesia Adil Makmur. Meskipun begitu, berdasarkan hasil beberapa pemilihan umum (pemilu) yang dilaksanakan dalam beberapa tahun terakhir, jumlah partai tidak serta merta menentukan keunggulan pasangan calon.
“Misalnya, pasangan Prabowo-Hatta yang didukung enam partai kalah dari pasangan Jokowi-Kalla yang hanya didukung lima partai. Akan tetapi, menurut hasil Pilkada 2018, tujuh dari 10 provinsi terpadat di Indonesia diperintah oleh gubernur-gubernur yang simpatik terhadap pasangan Jokowi-Ma’ruf,” katanya lagi.
Tantangan Pemilu 2019
Lebih jauh, Sinatra memperkirakan bahwa partai peserta Pemilu 2019 akan menghadapi tantangan dalam membagi usaha dan sumber daya partai untuk memenangkan Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 dan Pilpres 2019.
Meski partai-partai bisa diuntungkan oleh coattail effect melalui aliansi dengan salah satu kandidat, situasi ini juga dapat menimbulkan beberapa masalah. Sebagai contoh, kader Partai Demokrat dan PAN dilaporkan ragu-ragu untuk mendukung pasangan Prabowo-Sandi di beberapa daerah pendukung kuat pasangan Jokowi-Ma’ruf, seperti di Manado dan Jawa Timur.
“Koalisi partai juga tidak absolut. Seperti misalnya, beberapa kader Partai Demokrat diberi kebebasan untuk mengkampanyekan pasangan Prabowo-Sandi. Alasan yang diberikan adalah untuk memaksimalkan kesempatan Partai Demokrat memenangkan Pileg 2019,” kata Sinatra yang meraih gelar Master dari Nanyang Technological University, Singapore itu menambahkan.
Penentu Besar
Sementara itu, Dwintha Maya Kartika, Analis Economics, Trade and Regional Integration Institute of Strategic and International Studies Malaysia menuturkan, pihaknya menemukan faktor kepribadian calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) menjadi penentu besar untuk memenangkan hati lebih dari 180 juta pemilih di Indonesia.
Berdasarkan temuan beberapa lembaga survei, kata dia, secara konsisten elektabilitas Jokowi lebih tinggi daripada Prabowo dalam satu tahun terakhir, bahkan setelah pengumuman cawapres di bulan Agustus 2018 lalu.
“Beberapa pengamat politik berpendapat bahwa Prabowo akan menjadi pemimpin otoriter jika terpilih menjadi presiden disebabkan oleh citra “strongman” yang lekat dengan Prabowo. Akan tetapi, Presiden Jokowi-lah yang telah memperlihatkan kecenderungan dalam menunjukkan karakter otoriter selama masa jabatannya,” papar Maya yang merupakan jebolan dari London School of Economics and Political Science (LSE) itu.
Maya menambahkan, pencalonan cawapres Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno juga telah mengubah dinamika Pilpres 2019. Pada awalnya, lanjut dia, isu-isu primordial diprediksi akan digunakan oleh kubu Prabowo. Namun Jokowi mematahkan peluang tersebut dengan mengusung Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya.
“Sayangnya taktik ini juga menunjukkan bahwa Jokowi telah mengesahkan keberadaan politik identitas dalam pertarungan Pilpres 2019. Pencalonan Sandi juga memperlihatkan bahwa kubu Prabowo telah memprioritaskan isu-isu ekonomi sebagai sebuah taktik untuk menyerang kubu Jokowi,” terang Maya.
Keunggulan Prabowo
Menurut Maya, hasil riset itu mengunggulkan kubu Prabowo-Sandi terkait pendanaan dalam memenangkan Pilpres 2019. Di tahun 2013, katanya, Forbes memprediksi total pengeluaran seorang kandidat presiden dalam pilpres mencapai angka fantastis Rp7 trilliun atau US$600 juta. Sementara itu, total kekayaan pribadi Jokowi-Ma’ruf berjumlah sekitar Rp61 miliar, sedangkan Prabowo-Sandi mencapai Rp7 trilliun.
“Dengan figur ini, pasangan Prabowo-Sandi terlihat unggul di faktor pendanaan. Di samping itu, kedua pasangan juga telah mengumumkan dana kampanye awal sebanyak Rp11 miliar untuk Jokowi-Ma’ruf dan Rp2 miliar untuk Prabowo-Sandi. Prediksi kami, dana kampanye ini akan naik seiring dengan berjalannya periode kampanye,” terang Maya.
Faktor Lainnya
Hasil penelitian itu juga mencatat, kedua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tidak menunjukkan banyak perbedaan dalam visi-misi mereka terkait faktor kebijakan. Kedua kubu menjanjikan kebijakan populis yang memfokuskan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Visi misi kedua kubu juga tidak menekankan strategi global jika terpilih.
“Dalam masa kampanye, pasangan Prabowo-Sandi terlihat menyerang pasangan Jokowi-Ma’ruf dalam isu-isu ekonomi. Pasangan Jokowi-Ma’ruf juga melancarkan serangan balik dengan menyoroti bahwa klaim-klaim pasangan Prabowo-Sandi tidak substantif,” ucap Maya menambahkan.
Terkait faktor pilihan yang menyoroti preferensi masyarakat terhadap kedua pasangan, Sinatra menyimpulkan bahwa kedua kubu terlihat seimbang. Pihaknya menekankan pentingnya dinamika neighbourhood politics (politik RT/RW) untuk menentukan pilihan. Karakter komunitas Indonesia yang sangat erat menandakan bahwa informasi yang bias kepada salah satu pasangan dapat mempengaruhi preferensi masyarakat dalam komunitas tersebut.
“Dalam sejarah politik Indonesia, pemilih rural lebih cenderung memilih petahana, sedangkan pemilih urban lebih kritis dalam menilai performa kandidat,” katanya.
Sinatra melanjutkan, terdapat tiga target utama Pilpres 2019 yaitu pemilih milenial, emak-emak dan Muslim konservatif. Pemilih milenial merepresentasikan sekitar 42 persen dari total daftar pemilih tetap. Pemilih wanita (emak-emak) juga mempunyai pengaruh yang besar karena mewakili setengah dari total pemilih.
Jokowi dan Sandi, sebut Sinatra, terlihat seimbang dalam pertarungan mereka untuk memenangkan hati pemilih milenial dan emak-emak. Pemilih konservatif juga menjadi target kedua kubu dalam Pilpres 2019. Di pilpres-pilpres yang lalu, faktor agama hanya memiliki sedikit pengaruh dalam menentukan preferensi pemilih.
“Namun, pembakaran bendera yang terjadi di Garut pada bulan Oktober 2018 lalu berkemungkinan melemahkan daya tarik pasangan Jokowi-Ma’ruf. Kedua koalisi juga harus memperhatikan besarnya pengaruh pemilih Golongan Putih (Golput). Voter turnout telah menunjukkan penurunan dalam beberapa pemilu dalam dua dekade terakhir. Di Pilpres 2019, kami berpendapat bahwa pemilih Golput akan bertambah, yang mencakup pemilih apatis, kelompok minoritas dan beberapa Muslim moderat,” jelas Sinatra memprediksi pemilu 2019.
Ia menambahkan, dalam lima bulan mendatang, akan terjadi beberapa tren di masyarakat. Pertama, berbagai polemik baru akan bermunculan secara reguler. Kedua, kompetisi kedua kubu akan meningkat karena banyak pemilih yang belum menentukan pilihannya. Ketiga, isu-isu lama seperti komunisme berpeluang untuk dipolitisasi kembali. Keempat, pasangan Prabowo-Sandi akan lebih agresif untuk mengejar ketinggalan elektabilitas mereka.
Editor : Agustinus Hari
Discussion about this post