ANTARA BETLEHEM DAN HATI KITA
Karya: Iverdixon Tinungki
Bila yang kau petik di pucuk natal hanya kisah
Apa yang kau sarungkan di hatimu
Untuk suatu ketika kau acung sebagai pedang
Ketika duka atau musuh menghadang nafasmu
Pada rembang malam, pagi, jelang petang
Bukankah natal sebuah ladang
Tak saja burungburung membutuhkan gabah
Manusia pun hidup dari bijibiji putih maknanya
Antara Betlehem hingga hati kita
Jaraknya hanya seberapa mau kita menerima Dia
Tak lagi seperti bocah mungil yang lahir dari sang perawan
Tapi kekasih yang berbagi penghiburan di lengang dan air mata kita
Dan bila ajal tiba dikirimnya kereta kencana
Menjemput kita ke rumahNya dimana nestapa tak ada
Ia mencintai kita seperti bumi tak bertanya
Seberapa besar jahatnya kita padanya
Ketika kau berseru; aku cinta Yesus
Sebuah telaga tenang dibangunNya di hatimu
Di sana kau mandi, basah, dan berayun di atas riakNya
bersamaNya
laiknya bocah dalam gendongan ibu
tak pernah berkata benci meski ia lelah
“Yesus ini hatiku”
Katakan itu dengan suka dari dasar hatimu
Sebuah pelangi akan menyusur gelap malam
Hingga tiba di sebuah hari dimana matahari dan hujan
Akan menggambar sebuah tanda padamu;
Di tengah api pun cintaNya tak pernah pudar untukmu
Selamat Natal semua!
FRAGMEN 10: Efata
Karya: Iverdixon Tinungki
semesti sejak Tirus, Sidon, Dekapolis didatangi
tak ada lagi tanahtanah kafir
ribuan kota tumbuh di impian kanakkanak
berbagi roti dengan merpati
tapi semua gagap, tuli. katakata berhenti
perempuanperempuan menangis di tepi kanal
menambahkan banjir ke akarakar sejarah
anjing melolong dengan ringkih
menyusupi derak tulang para buruh, terpiuh
merekat mimpi anaknya sendiri
dari bunyi bedug hingga gementing lonceng
para penjual es tak lagi percaya bisa katakata
kecuali gerincing, desis stom kue putu
merecoki sore bising deram mesinmesin
kampungkampung dalam rupa lesu
menyeduh setiap ludah peluh
di tengah malam, hitamnya sebegitu biru
di sini aku ingat kisahmu anastasia
lelaki dengan tatap seindah mata burung Pleci
tubuhnya menguarkan aroma pohon cendana
nafasnya menyemburkan bau kelapa muda
ketika bungabunga soka mekar seperti sayapsayap serangga
aku mau menyentuh jubahnya, mendengar suaranya yang suasa
berkata: “efata!”
ya…efata
ke seluruh nanah menelaga
sepanjang saman ketika katakata tak berdaya
FRAGMEN 12: Pasal Natal
Karya: Iverdixon Tinungki
maut yang luka
meninggalkan sungaisungai
tubuhtubuh puisi
menulisi senja burungburung sriti
begitu riuh gaduhnya menyambangi malam
seseorang tiba di langit moyang
pohonpohon trembesi yang menegak
daundaun matang gugur ke tanah
ia mendesiskan nyanyian
orangorang miskin lebih dulu melihatnya
ia berjalan di atas seluruh jazirah sejarah
menjelma kota ini
ketika sukusuku keturunan Abraham diselamatkan
cahaya matahari berkelindan di sayapsayap sriti dan balam
ia datang meniti hari jelang malam
menggenapkan seluruh tahun dulu hilang
emas kemenyan dan mur
dari timur yang tanahnya berbau dupa, wangi kemangi
diramu menuru dalam wajan
juga semua air mata saman
dipersembahkan padanya
dalam upacara ruwatan domba
lahir untuk tertikam
di sini dukaduka tumpah
dalam bah kesakitan
karena dunia butuh liang luka
bagi persemaian benihbenih kegembiraan
FRAGMEN 18: Suatu Hari di Tahun 2013
Karya: Iverdixon Tinungki
hari ini kita masih menyalakan beriburibu lilin
dari satu api pertuanan
mimbarmimbar batu granit, marmer, dan…
pagar stainless steel memisah kabut dengan langit jernih
di jalanan, di simpangsimpang sempit
rumahrumah gubuk berhimpit
hidup beriburibu kaum terjepit
terbius jawabanjawaban mati
di batangbatang hari kian tak mereka kenali
di bentaran kali barangkali seorang rasul menggigil mendekap injil
begitu dekil ia menangisi gerejagereja remuk di bayangan air
anastasia, cahayacahaya seakan mau tumpah hanya
dalam cawan raja, paderi
di sana semua kenikmatan seakan mau bersembunyi
kaktus, dan kebunkebun cemara menumbuhkan metafora alam
kaum bersisihan dengan air mata, tapi
tak mencemaskan cuaca
dengan cara apa kamu percaya
bila begitu mudah melupakan makna dari
seluruh isi katakata,
suluruh isi kitab kau perdaya
bintangbintang muram tak bertemu arus pasang
mengantar pencarian lebih jauh dan dalam
ke dasardasar palungan
di bawah malam kalam. wajahwajah tak tepermanai
menampilkan kembali Abraham tak mampu menatap kesedihan Ishak
terbucang ketakutan terus kau tikam
tapi mereka begitu tegar memandang kemiskinan
depan altar mata kita dengan senyum belum merekah
selalu terenggutkan
ia yang datang mengetuk diri kita
kehilangan katakata untuk lahir dan hidup bersama
–kecuali di antara dinding dinah–
sebuah kandang hina. tempat kaum gembala menyalakan unggun
merayakan malam luruh dalam semua kesakitan
FRAGMEN 16: Perjanjian
Karya: Iverdixon Tinungki
Musa mencari kota tanpa berhala
di manamana kota berdiri di atas sejarah
ada gerbang dari batu memahat namanama jalan
sungaisungai menghanyutkan kemurungan
tumpah dari kisahkisah peperangan
Kanaan dicari Musa tak pernah ada
Kanaan didapati Yosua tak ubahnya sebuah Jakarta
para pembual, ahli sihir mendapatkan kemewahan
ada palma, tangisan luruh di tepitepi malam
di abad lain kapalkapal misionari membawa paderipaderi
ke semua belahan benua
ke hutanhutan dihuni manusia serigala
mereka datang dengan suara perjanjian Tuhan dengan Musa
pecah di dalam sejarah manusia
anastasia…
di hutan para penebang mencari kayu gofir yang hilang
dalam kisah nuh yang karam, kisah kita yang selalu asam
di kotakota palangpalang trembesi kukuh berdiri
menanti lelaki baik hati tertikam di suatu hari
FRAGMEN 14: Mesias
Karya: Iverdixon Tinungki
ia tak menghunus kapak menebang kaki langit
mengambangkan bulan, menenggelamkan tangisan
ia tak memandang pohon
lalu mengatakan hiduplah seperti pucuk meninggi
mencinderai kabut yang membebat langit biru
tapi diperahnya anggur dari carangcarang kepedihan
ke dalam bulibuli penggenapan
kerena sedanau air tak menenggelamkan dahaga
mencekat kodrat manusia sebagai serigala
ke dalam saman limbung
ia mendayung dengan serombongan nelayan
menjaring semua hati karam
dari roti dimintanya pada petani
dipecahpecahkannya tubuhnya sendiri
buat hati patah di tungkaitungkai dini hari yang latah
anastasia…
lihatlah, tanahtanah lantak oleh peperangan
burungburung gagak berpesta di atas bangkai anakanak
serombongan filsuf tiba dengan pedati
menampung seluruh peribahasa
ditumpahkannya di semua jalan lintasan sejarah
mencair seumpama lendir
pada muntahan katakata anyir dan bedil
pada semua kitab hancur itu
puingpuing kesedihan ini tumbuh kembali
aku menghunus kapakku
menebang sebatang kayu buat perahu
menuju negeri lelaki yang terbunuh setiap pagi hari
SAMBO GHENGGONA
(Sebuah Sajak Natal)
Karya : Iverdixon Tinungki
Tuhan sajak bungabunga, bungabunga sajak Tuhan
Dalo dalo ia medalo mesuba Ruata
sembah syairsyair nafas, nafas syairsyair sembah
Ghenggona Langi Duatang Saruruang
kelip bintang tepi duka, duka di kelip bintang
Iamang ianang Fattimah magenda putung
amuk ombak samuderasamudera, samudera amuk ombakombak
Su hiwang Baginda Aling
pujaan sajaksajak laut, laut sajaksajak pujaan
Dalo dalo ia medalo
Keperkasaan semesta mata ibu, ibu mata semesta keperkasaan
Ghenggonalangi medadingan su gaghenggang
hati lepuh cair diratap mantra, mantra ratap dilepuh hati
Iamang ianang Fattimah magenda putung
ya Esa… esakan duniaku, dunia esa ya… Esa Tuhanku
Su hiwang Baginda Aling
dari arasaras jalan menikung, menikung jalan arasaras
Dumaleng suapeng nanging
menuju denting surga, surga harapan denting hati
Manendeng mbanua mbanua Duatalangi
menuju kupu menafsir cahya, dan cahya menafsir kupu
Sole tama sole buntuang taku makibang
yang mencari pagi punya matahari, karena matahari punya pagi
O, Biabe sukakendagu Ruata, e
WAKTU
Karya: Iverdixon Tinungki
“abu ke debu, debu ke tanah, tanah ke pasir,
pasir ke batu, batu ke bukit, bukit ke awan,
awan ke hujan, hujan ke laut, laut ke air,
air ke api, api ke nafas
nafas ke hidup, dan hidup ke mati”
bila Aku tak di sini maka puisi ini tak ada
puisi ini ada kerena Aku di sini
Aku tak bisa memilih di sini atau di sana
untuk kamu Bapa memilih Aku
Aku waktu! Sang pelahir, Sang pengambil
Sang alfa, Sang omega, Sang ada dan tetap ada
tak ada yang tak mendetak dalam nadiKu
Aku roti hidup
makanlah Aku, maka kamu akan di kenyangkan
ikutlah Aku maka kamu akan hidup.
Aku selalu mempertemukan dan memisahkan.
Aku selalu menghitung tanpa peduli kemana nafasku mengalir
Aku tidak pernah berhenti menagi kepada zaman dan sejarah
Semua hendaklah berjalan mengikuti jejak yang ku tinggalkan
ada yang berkata: waktu hanya sebuah ruang yang menyimpan
kenangan dan tak keberdayaan.
waktu adalah racun dalam penungguan
Semua yang tak berpengharapan membenci waktu,
tapi aku tetap sabar berjalan menulis sejarah karena
Aku tak pernah mati meski sepi selalu menepi di tepi hari
“abu ke debu, debu ke tanah, tanah ke pasir,
pasir ke batu, batu ke bukit, bukit ke awan,
awan ke hujan, hujan ke laut, laut ke air,
air ke api, api ke nafas
nafas ke hidup, dan hidup ke mati”
detik yang pergi tak kembali
usia adalah menit yang mengikuti jejak nafas
waktu adalah catatan yang menulis cinta dan maut
di atas sebuah kertas yang bernama natal!
Discussion about this post