Desa Koya Tondano, Kabupaten Minahasa, sejak tahun 2012 sebagian lahan perkebunannya dihiasi dengan tanaman koya yang bibitnya diambil dari Tompaso. Kegunaan koya ini ternyata dijadikan kopi koya.
Dan sejak tahun 2013 mulailah aktif dari beberapa petani kopi koya untuk mengelolahnya. Ironisnya, waktu demi waktu para petani ternyata tidak mendapatkan keuntungan dari kopi koya tersebut. Dilihat dari pemeliharaanya, lebih banyak mengeluarkan biaya dari pada hasilnya. Dan peminat untuk membeli pun sangat kurang.
Salah satu indikasi, karena kurangnya publikasi. Lalu tidak adanya keuntungan yang diperoleh petani mengakibatkan kebayakan petani koya beralih usaha dari petani koya yang menghasilkan kopi koya dan akhirnya menanam pala, cingkeh dan kelapa.
Dan dari sejumlah petani kopi tadi yang beralih profesi ke tanaman lain, ada tiga petani yang tetap bertahan untuk terus mengelolahnya. “Kami berharap ada media yang mempublikasi kopi koya ini. Kemudian mendapat perhatian pemerintah untuk memperhatikan nasib kami,” Martine Makalew, salah seorang petani.
Ia menyebutkan, hasil pengelolaan kopi koya hanya sedikit akibat peralatan yang tidak memadai. “Tenaga petani yang kurang, serta materi dan dukungan dari berbagai pihak seperti pemerintah, tidak ada sama sekali,” paparnya.
Martine menambahkan, cara membuat kopi koya hanya sederhana yakni songara. “Alhasil, hanya mencapai 4 sampai 5 kilo per bulan yang bisa dihasilkan, sesuai dengan kondisi dan tenaga kami bertiga sebagai petani,” paparnya.
Nah, meringankan beban para petani kopi koya tadi sejumlah anak muda pecinta kopi tergerak untuk mendiskusikan mengenai masa depan kopi koya, yang merupakan produk lokal Sulut. Diskusi pun dilaksanakan Sabtu (3/11/18) lalu di Gavra Studio Tondano dengan hosted by Kawanua Kreatif, yang melibatkan narasumbernya yakni petani kopi koya, Mika Makalew, Syarisal Arifin dari Blackcupcoffe dan Brandon Gumansing dari Esspecto Coffe.
Diskusi yang dimulai pukul 8.00 WITA hingga pukul 15.00 WITA dihadiri 26 anak muda pecinta kopi. Mereka banyak membahas bagaimana peran anak muda menfasilitasi kopi koya ini kepada masyarakat dan mencari dukungan relasi dari berbagai pihak termasuk pemerintah untuk membantu dalam mengembangkan serta memajukan kopi koya lokal tersebut.
Angreyni Putri Bukasiang, salah satu pengiat kopi, yang hadir dalam kegiatan diskusi tersebut mengungkapkan kopi koya lokal perlu dikembangkan serta diperhatikan baik masyarakat, dan pemerintah. “Ini penting karena merupakan kekayaan Sulut. Sesuai hasil diskusi mengenai kopi koya bersama petani dan pengiat kopi lainnya yang sering mengunjungi perkebunan koya tersebut. Para petani menyampaikan untuk ketinggian kopi koya tersebut memenuhi syarat arabika, dan baik untuk dikonsumsi langsung masyarakat,” katanya.
Ia menambahkan, ada beberapa kedai kopi yang ada di Minahasa dan Manado menggunakan kopi koya sebagai bisnis usaha mereka. Kopi koya dikenal dengan ciri khas rasanya lemonade dan brown sugar oleh pencinta kopi.
“Harapan kedepanya, kiranya pemerintah Sulut memperhatikan nasib petani kopi koya. Pemerintah wajib dan kembangkan produk lokal Sulut yang memiliki ciri khas lokal kita. Sebab kopi ini memiliki nilai ekonomi yang baik jika diperhatikan dengan baik,’’ ungkap Reyni.
Peliput : Meikel Eki Pontolondo
Discussion about this post