T a r s i
Karya: Iverdixon Tinungki
BAGIAN I: DIALOG-DIALOG SEPI.
Liemsela di ruang tanpa jam. Debu-debu menempel dalam rupa-rupa gambar kusam. Tarsi, perempuan tua itu di sana merenungi kesunyiannya. Lilin masih menyala. Buah melon teronggok begitu saja di atas meja.
LIEMSELA:
Pernahkah kalian mendengar burung-burung belibis bersungut?
WAJAH DEBU:
Pertanyaan itu lagi. Lagi-lagi pertanyaan itu.
LIEMSELA:
Pasti sulit menjawabnya! Karena usia manusia tak cukup untuk mempelajari hidup.
Sementara setelah hidup, manusia lebih banyak menghabiskan waktu belajar untuk mati.
TARSI:
(Sedih)
Saat ulang tahunku yang ke lima puluh lima, anak-anakku tidak datang.
LIEMSELA:
Apakah kalian tahu perbedaan antara manusia dan itik?
WAJAH DEBU:
Dia tak akan menjawab.
LIEMSELA:
Tentu antara sulit dan mudah menjawabnya. Karena manusia pada dasarnya makhluk peragu.
Sementara itik, sudah pasti tak pernah bunuh diri.
TARSI:
(Menangis)
Saat ulang tahunku yang ke lima puluh enam, mereka tidak datang juga. Dan terus seperti itu,
seakan-akan mereka tak punya waktu lagi untukku.
LIEMSELA:
Satu-satunya kepastian, sebatang pohon akan tumbang bila ia ditebang.
Tapi manusia bisa tumbang oleh kerinduan.
Wajah Debu bersenandung meluapkan perih.
TARSI:
(Kecewa)
Aku selalu meniup lilin ini sendiri (meniup lilin). Aku selalu memotong melon ini sendiri
(Tarsi memotong melon lalu memakannya dengan berlinang air mata).
Mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan barangkali. Atau barangkali mereka telah melupakanku. Mereka tak tahu, aku tak pernah melupakan mereka sedetik pun.
LIEMSELA:
Dia terus mengulang sesuatu yang sia-sia, menanti anak-anaknya pulang. Padahal dia tahu ada masa dimana setiap orang akan merasa tak ada lagi yang patut dilanjutkan. Dan setiap orang boleh memilih meringkuk menikmati krisik cemara, bunga-bunga putih mengambang, dan bunga-bunga levender ungu melulur cahaya. Setiap orang boleh berbaring seperti antilope meninggalkan masa lalu pada gerumbul catatan telah berlalu.
TARSI:
(Kepada Liemsela)
Selalu hanya kau yang datang. Sebuah kenangan yang membuat aku bimbang membedakan antara baik dan buruk, antara benci atau merindukan, antara marah atau cinta. Beruntung manusia punya Tuhan. Bilamana tidak, kebimbangan semacam ini entah dimana disematkan.
Sudah sepuluh tahun kau mati, tapi kau selalu kembali menjerumuskan aku dalam jurang kenangan, jurang renungan yang itu-itu lagi. Dan semua yang selalu kusiapkan ini tidak ada gunanya lagi. (Membuang satu demi satu sajian di atas meja). Pergilah! Beristirahatlah kamu dengan tenang di alam sana.
(Tarsi, perempuan tua itu kemudian terpuruk dalam sepi yang menjadi satu-satunya sahabatnya).
Bunyi tembakan.
LIEMSELA:
Ada yang terbunuh! Lagi-lagi kematian.
Liemsela pergi. Waktu mendetak dan debu-debu bergerak mengikuti angin. Menyelusup ke mana-mana. Mereka bersuara tapi tak ada yang mau mendengarnya. Mereka bernyanyi:
DEBU-DEBU:
(Menyanyi)
Ia bagai malam menjagai halaman bintang-bintang. ia bagai penambang menggali kedalaman diri.
Mencari, mencari, mencari diri yang sejati.
DEBU1:
Bahkan saat memandang seluruh dirinya meleleh ke wajan kehidupan, dipiuh gelombang-gelombang keterasingan, dipecah-pecahkan oleh gaduh yang menutup semua jalan. –ia tetap malam yang merayakan kesendirian. Orang-orang yang selalu dianggap tak ada dalam ribut percakapan tanah air yang setia ia jaga.
DEBU-DEBU:
Ia bagai malam menjagai halaman bintang-bintang. ia bagai penambang menggali kedalaman diri.
Mencari, mencari, mencari diri yang sejati.
Wajah di sebuah dipan tiba-tiba menegak.
WAJAH DEBU:
(Monolog)
Tinggal segelas masa lalu, bayang liatmu, dan aroma kayu manis. Di atas meja itu aku menyesap bagian paling amis wujud tangismu. Lalu kita berpisah seakan dua penjahat di hari yang memucuk sebagai mata api, terbakar, tapi selalu ingin kembali.
TARSI:
Manusia adalah buku, buku yang menulis sendiri isinya.
WAJAH DEBU:
Mati punya beribu-ribu cara. Tentukan sekarang: racun, pisau atau tali gantungan.
TARSI:
Kata-kata adalah senjata memantulkan maut pada setiap kenangan yang ingin dibunuhnya.
WAJAH DEBU:
Di atas meja itu kau menembakiku dengan pecahan hari yang remuk. Sebagai buku, buku yang tamat dengan muram, lusuh dan beraroma amis tangismu. Aku dijamu olehnya, oleh bacaan mencekik. Dicekik penyesalan saat tak mampu menggubah catatan baru dan lain, mungkin Ruelia ungu atau Melati dan atau suara Charlotte dalam Panis Angelicus. Di atas meja itu kuteguk segala tajam peluru kehancuran itu.
TARSI:
Siapa kamu yang begitu berani menawarkan mati padaku?
WAJAH DEBU:
Aku ada dalam dirimu, hidup dalam keluh kesahmu. Aku sahabat sekaligus musuh.
Saat suamimu bunuh diri aku memberi kau kekuatan. Bahkan aku ada di tanganmu saat kau begitu cekatan mengola kebun, menyiangi tanaman, bekerja keras membanting tulang menyekolahkan anak-anakmu.
Kau sering menyebutku semangat, kau sering menyebutku harapan. Namun saat anak-anakmu pergi meninggalkanmu kau menyebut aku keluhan, kau menyebut aku ketakberdayaan. Aku jawaban sekaligus pertanyaan. Aku pilihan sekaligus bukan pilihan.
TARSI:
Aku tak mengerti!
WAJAH DEBU:
Aku ketakmengertian itu.
TARSI:
Pergilah engkau wahai diriku yang selalu mengeluh.
WAJAH DEBU:
Kau selalu mengusirku seakan-akan aku ini seorang pejahat.
Padahal aku yang membuat kau tegar bahkan diharihari yang sangat pilu.
DEBU-DEBU:
(Bernyanyi)
Hari-hari akan segera lewat, debu jalan membebat semua jejak. Ia sedang menulis tentang dirinya, tentang hal-hal yang sulit ditundukkan, sesuatu yang mustahil dijinakkan.
Sambil bernyanyi debu-debu ditiup angin menjadi gumpalan lalu meledak, menempeli sebuah ruang rawat rumah sakit. Di sana Tarsi menjalani ritus hidupnya.
DEBU1:
Di sebuah rumah sakit seorang ibu tua selalu datang sendiri
DEBU 2:
ia menyusuri koridor. ia mencari di setiap sisi barangkali Tuhan menyisakannya sepotong matahari
DEBU 3:
Hari itu senin dan bisa juga hari lain. Ia menyeret sepinya yang gergasi. Matanya tak lagi seretih suatu pagi
saat anak-anaknya riang bernyanyi.
Seseorang Debu bernyanyi, seseorang lagi, dan lagi. Lalu sepi.
WAJAH DEBU:
(Monolog)
Entah bagaimana rasanya jadi ibu seperti ini. Ada kerak peluh runtuh di wajahnya, semacam petakpetak sayang mengelupas, semacam seberkas senja tua pecah di keningnya. Ia berjalan dan sesekali menoleh dengan hati-hati, seakan ia tahu maut berdiri di sebuah pintu dengan tatapan leli.
DEBU-DEBU:
(Bernyanyi)
Hari-hari akan segera lewat, debu jalan membebat semua jejak. Ia sedang menulis tentang dirinya, tentang hal-hal yang sulit ditundukkan, sesuatu yang mustahil dijinakkan.
DEBU 4:
Di ruang cuci darah seperti biasa ia berdoa
TARSI:
Tuhan, andaikata aku punya satu hari lagi…
WAJAH DEBU:
(Monolog)
Ia berdoa seperti menumbuhkan selembar daun ke pucuk hidupnya. Karena untuk itu ia tak lagi menghitung
berapa kali harus kembali ke rumah sakit. Ia hanya tahu harus kembali sendiri. Meski sendiri, ia tak mau menyerah pada diri. Ia berharap masih punya satu pagi lagi menunggu, barangkali anakanaknya kembali.
DEBU 5:
setiap kali anak-anaknya yang sibuk itu menelpon dengan sabar ia katakan;
Bunyi telepon genggam, dengan sigap Tarmi mengangkatnya.
TARSI:
ibu baik-baik saja! iya. Ibu baik-baik saja!
WAJAH DEBU:
(Monolog)
Selalu begitu. Begitu saja. Lalu air matanya menetes, entah mau membisikkan apa. Hanya itu saja di pipinya.
DEBU1:
Di sebuah rumah sakit, seorang ibu tua selalu datang sendiri, memperpanjang kegembiraan sebelum ia benar-benar mati.
DEBU-DEBU:
(Bernyanyi)
Ia bagai malam menjagai halaman bintang-bintang. ia bagai penambang menggali kedalaman diri.
Mencari, mencari, mencari diri yang sejati.
Debu-debu kemudian berlalu ditiup angin.
BAGIAN II: DIALOG DI SEBUAH HARI
TARSI:
(Monolog di sebuah jendela)
Lihatlah aku sudah tua, tak bisa apa-apa lagi, begitu kata Liemsela suamiku, setiap kali menguak daun jendela ini. Usia tua itu seperti kutuk, tak bisa dilawan katanya. Lebih baik aku mati saja, umpatnya.
Liemsela, tiba-tiba telah berdiri dekat ayunan.
LIEMSELA:
Ya lebih baik aku mati saja! Hidup itu tragedi!
TARSI:
Lalu ia akan duduk di ayunan. Berayun sambil menangis. Ia merindukan masa lalunya, masa mudanya yang penuh kisah perjuangan yang heroik. Lalu ia mengutuk kenyataan hidup para pejuang yang tak dihargai.
LIEMSELA:
Andaikan mati itu punya jalan kembali, aku akan kembali tapi tidak sebagai pahlawan. Apa artinya pahlawan di negeri yang tak menghargai kemerdekaan. Bahkan Tuhan telah dipakai untuk melegitimasi kejahatan.
TARSI:
Lalu ia akan berdiri seperti seorang deklamator atau orator yang memucratkan semua kekesalan.
LIEMSELA:
Ini masa dimana banyak orang memberangus akal sehat
mengunci perdebatan meski penting disuarakan.
Kritik dibalas makian, kebenaran identik dengan jumlah orang turun ke jalan.
Konflik dan kekerasan dijadikan sarana menggebuk lawan
Bahkan untuk menciptakan keseimbangan, isu dinaikkan mengalihkan perhatian
Manakala dianggap mengganggu kepentingan, isu disimpan, menutup diri dari perdebatan
Kini banyak orang tak mau merayakan akal sehat, memberikan catatan kritis terhadap
berbagai kekuatiran meski itu menyangkut masa depan rakyat.
Karena tibatiba semua tak mau dianggap berbeda atau senada, karena kuatir dibalas penghinaan
atau dikafirkan.
Ini fase paling memuakkan dimana kesadaran kritis direndahkan
TARSI:
Lalu ia mengumpat kesibukan anak-anak yang seakan-akan tak punya waktu lagi berkunjung ke rumah ini. Ia bisa berjam-jam di sana dikerubuti segala pikiran berat. Sungguh masa tua yang tak bahagia!
LIEMSELA:
Apakah anak-anak pernah datang mengunjungimu?
TARSI:
Sudah sepuluh tahun mereka tak pernah datang.
Arga sibuk mengurus perusahaannya.
Dita beralasan anak-anaknya terlalu kecil untuk dibawa bepergian.
Sela, foto model seperti dia, mana punya waktu luang.
LIEMSELA:
Itulah perbedaan anak dan merpati, Tarsi.
Meski terbang kemana pun, Merpati selalu pulang ke sarangnya.
Tapi anak adalah anak panah, ketika ia lepas dari busurnya, jangan harap
ia akan kembali. (Terpuruk dalam pedih) Buatkan aku kopi!
Tarsi beranjak ke dapur. Debu-debu melintas di jalan menyerupai para petani. Mereka bernyanyi. Liemsela ikut bernyanyi dengan penuh semangat.
DEBU-DEBU:
(Bernyanyi)
Ke sawah ladang menanam padi, Padi menguning hidupkan negri.
Si orang kaya makmur sendiri, Miskin merana nasib petani
Saat para debu berlalu, Liemsela masih menyanyikan lagu itu sendiri.
Tarsi masuk membawa segelas kopi, meletakannya di meja.
TARSI:
Kopi!
Liemsela beranjak mendekat.
LIEMSELA:
(Sambil menyeruput kopi)
Aku benci dengan orang-orang yang lupa semangat perang Permesta. Kau tahu kan Tarsi, kami bukan pemberontak yang bertujuan memecahkan Negara. Tapi kami menuntut pemerataan pembangunan di seluruh tanah air. Nah… kau dengar lagu para petani itu: “Ke sawah ladang menanam padi, Padi menguning hidupkan negri, Si orang kaya makmur sendiri, Miskin merana nasib petani.”
Tarsi kembali beranjak ke jendela.
TARSI:
Sungguh masa tua yang murung!
Liemsela mengeluarkan pestol dan menembaki kepalanya, lalu terkulai ke tanah.
TARSI:
Sebelas tahun yang lalu Suamiku mati bunuh diri.
Setiap kali aku mengenangnya, selalu terbayang kematiannya yang tragis itu.
Ia mati dalam kekecewaan yang amat sangat.
Setiap kali mengenangnya sebenarnya aku telah ikut mati bersamanya.
Debu-debu yang menyerupai para petani melintas di jalan dengan wajah muram, seakan senyuman dan harapan telah menjauh dari desa. Deru pesawat terbang melintas di langit. Semua menoleh ke atas dengan takjub, sesaat kemudian kembali suram dan berlalu. Lalu terdengar suara penjual buah melon. Tarsi memanggilnya.
TARSI:
Brasman!
Brasman berhenti dan menoleh.
BRASMAN:
Iya Bu Tarsi!
Tarsi beranjak mendekat.
BRASMAN:
Tinggal satu Bu Tarsi.
TARSI:
Tinggal satu?
BRASMAN:
Iya. Lainnya sudah dipesan orang.
TARSI:
Ya sudah itu saja.
BRASMAN:
Akan ulang tahun lagi Bu Tarsi?
TARSI:
Iya. Moga tahun ini anak-anak, menantu dan cucu bisa datang.
BRASMAN:
Sudah sepuluh tahun ibu menyiapkan melon untuk mereka. Tapi mereka tidak datang.
Apakah Bu Tarsi tidak pernah kecewa.
TARSI:
Sudah pasti aku kecewa. Tapi bagaimana caranya aku melupakan anak-anakku sendiri.
Mereka lahir dari rahimku. Aku membesarkan mereka. Bahkan saat ayah mereka bunuh diri sebelas tahun yang lalu, aku harus jadi ibu sekaligus ayah untuk mereka.
Aku benar-benar kecewa, tapi bagaimana caranya agar aku berhenti menyayangi mereka. Aku ini ibu, Brasman.
BRASMAN:
Tuhan pasti menolongmu Bu Tarsi.
Tarsi menyerahkan uang ke Brasman. Brasman kemudian pergi. Liemsela kembali muncul di dekat ayunan.
LIEMSELA:
Mereka tidak akan datang.
TARSI:
Aku yakin mereka akan datang.
LIEMSELA:
Tidak!
TARSI:
Datang!
LIEMSELA:
Sudah sepuluh tahun mereka tidak datang.
TARSI:
Tapi kali ini mereka akan datang.
LIEMSELA:
Aku tidak percaya.
TARSI:
Aku lebih memilih percaya, meski segala sesuatu belum tentu mungkin.
LIEMSELA:
Tidak akan datang.
Tarsi membanting buah melon dengan penuh amarah.
TARSI:
Mereka akan datang!
Terdengar suara-suara unjuk rasa. Debu-debu sontak melintas di jalan dengan wajah murka. Mereka membawa senjata apa saja, seperti mau menyosong pertempuran.
LIEMSELA:
(Monolog)
Di jalanan sana ada amarah tumpah entah oleh alasan apa, tapi selalu dikenakan baju agama.
Di jalanan sana ada gelombang manusia tumpah merayakan kritik yang mati dan menggantinya dengan kata-kata yang tak bergizi, nyinyir, dan hanya bermakna kutuk maki.
Gelombang itu bagai bah, orang-orang pongah tak punya seni bahasa, kearifan, dan kebijakan akal
(Bunyi Tembakan)
Astaga! Jatuh korban!
Liemsela pergi. Suasana kembali sunyi dan muram. Tarsi mengumpulkan pecahan melon yang berhamburan. Wajah Debu Muncul lagi.
WAJAH DEBU:
Sudah sepuluh tahun kau menanti anak-anak pulang.
Kau sosok ibu sejati, Sebutlah begitu, ibu yang tak pernah kehilangan harapan dan kasih sayang.
Tarsi membawa pecahan melon-melon itu ke atas meja, lalu pergi ke jendela menanti anak-anaknya pulang. Jam berdetak.
TARSI:
Andai mereka bisa datang, sehari saja.
Aku ingin mendengar suara riang mereka.
WAJAH DEBU:
Lihatlah siapa merindukanmu. hanya ada sebuah peta buta dan seekor dinggota bertengger di tiang bambu
menyelusupi perasaan tiada dari sepi.
Warnawarna luntur di dinding udara, menajami mata malam menguntumi bunga-bunga antara kelabu dan putih, bau kesturi tiba-tiba terasa lirih.
Dan kau tak lain hanya seseorang dalam bayangan Dickens, seseorang yang menjagai pos perlintasan kereta api, seseorang yang dihantui penampakan petualangan lain menuju mati.
Tarsi meringkuk disebuah bangku dengan pedih. Liemsela muncul dekat ayunan mengarahkan pestol ke kepalanya sendiri dan menembak, lalu terkulai ke tanah.
WAJAH DEBU:
Lihatlah suamimu. Sungguh betapa muda menuju kematian.
Tentukan sekarang: racun, pisau atau tali gantungan.
TARSI:
Aku tak ingin memilih kematian yang tragis seperti itu. Aku tak ingin menjadi orang yang kalah di hadapan hidup.Aku ingin menjalani apa yang diinginkan Tuhan untukku. Pergilah! Kau hanya hantu dari masa lalu, yang menyodori pilihan kematian yang aneh.
Andai pun aku aku mati, aku harus mati bersama Kristus. Mati dalam kasih saying yang tak pernah berakhir.
Pergilah!
WAJAH DEBU:
Selama hidup, aku terus mengujimu. Dan kau berhasil mengakhiri pertandinganmu dengan kemenangan.
Dulu aku dikalahkan oleh nabi Ayub. Kini aku dikalahkan olehmu. Sungguh iman yang terus membesar menjadi biji sesawi.
BAGIAN III: JAM TERAKHIR
Debu-debu muncul ditiup angin menjadi gumpalan lalu meledak, menempeli sebuah ruang rawat rumah sakit. Di sana Tarsi kembali menjalani ritus hidupnya.
DEBU1:
Di sebuah rumah sakit seorang ibu tua selalu datang sendiri
DEBU 2:
ia menyusuri koridor, ia mencari di setiap sisi barangkali Tuhan menyisakannya sepotong matahari
DEBU 3:
hari itu senin dan bisa juga hari lain. Ia menyeret sepinya yang gergasi. Matanya tak lagi seretih suatu pagi
saat anakanaknya riang bernyanyi.
seseorang Debu bernyanyi, seseorang lagi, dan lagi. Lalu sepi.
WAJAH DEBU:
(Monolog)
Akan tiba saatnya setiap orang mendebak-debak tanah, seperti kekasih yang girang menyongsong hidup lain mulai bersemi, saat semua rambut memutih, dan bulan bersimbur di dataran sepi.
Tak ada lagi yang patut dilanjutkan saatnya semua diletakan, tak terkecuali pikiran. Semua akan duduk di tengah alam yang berdandan memandang seleret cahaya menggayut dari jauh, seolaholah hari akan segera fajar, dan bintang-bintang berbintik tak lagi memuaskan percakapan.
DEBU-DEBU:
(Menyanyi)
Hari-hari akan segera lewat, debu jalan membebat semua jejak. Ia sedang menulis tentang dirinya, tentang hal-hal yang sulit ditundukkan, sesuatu yang mustahil dijinakkan.
DEBU 4:
di ruang cuci darah seperti biasa ia berdoa. Lalu berbaring memanggil Tuhan.
TARSI:
Tuhanku, aku ingin pulang. Aku ingin menunggu anak-anaku di sana saja. Aku ingin menunggu mereka bersamaMu.
WAJAH DEBU:
pabila engkau melihat laut, ingatlah
batas air itu begitu berliku
karena berhulu di air mata ibu
sebutlah samudera
seluas itulah cinta ibu menebus
segala perkara
pabila langit memberi engkau pemandangan
bintangbintang, satwasatwa bernyanyi
untukmu di segala padang. dari hutan bau perdu
mengilhamkan keteduhan, ingatlah
ibu yang mengantarmu ke pintu kehidupan
mungkin ia tak mampu memberi segala yang engkau inginkan
namun ia selalu mencoba segala yang mungkin dilakukan
bahkan itu bila sekadar doa atau dekapan
karena ia berharap kau mampu mengarungi jalan
yang tak seluruhnya dapat ia jelaskan
Lalu air matanya menetes, entah mau membisikkan apa
hanya itu saja di pipinya.
(Lonceng mendetang.)
WAJAH DEBU:
Dan sosok kematian seperti aku, sia-sia mengalahkan wujud ibu seperti ini.
Wajah Debu menembak kepalanya dengan pestol, lalu terkulai.
TAMAT
Manado, 25 Oktober 2018. Dilarang dipentaskan tanpa seizing pengarang. Iverdixon Tinungki 085343976992.
Discussion about this post