SEBUAH diskusi di Sekretariat AJI Manado beberapa waktu lalu berjalan alot. Coco Jeriko, aktivis kaum Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Queer (LGBTQ) tak terima dengan pemberitaan sebuah media di Manado yang menuding bahwa banyak anak muda yang katanya tertular LGBTQ.
“Dorang kira stow (mereka mengira), LGBTQ ini adalah penyakit menular. Jujur pemberitaan itu terlalu mendiskriminasi kami,” ujar Coco kala itu.
Temannya yang lain ikut menyahut. “Banyak pemberitaan media di Manado, apalagi pada kasus-kasus kriminal, jika yang terlibat adalah teman-teman LGBT diangkat dengan judul yang sangat bombastis. Seolah-olah kami ini tidak layak hidup di muka bumi ini,” ujar teman Coco yang enggan menyebut namanya.
Diskusi itu terang saja ditengani dan direspon kawan-kawan AJI Manado. “Kami harus mengakui bahwa pemberitaan-pemberitaan media di Manado memang seperti itu. Pertama karena kawan-kawan jurnalis tak paham pemberitaan dengan berperspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Atau mereka hanya mendapat berita dari satu sumber, misalnya berita kriminal melalui SPK Polres atau Polsek sehingga mereka langsung menulis seperti itu. Hal lain jurnalis juga kesulitan untuk mengkonfirmasi kepada kelompok aktivis LGBT guna perimbangan berita,” ujar Yoseph E Ikanubun dari AJI Manado.
Salah satu solusinya, Komunitas LGBT di Manado harus belajar bagaimana cara untuk mencounter pemberitaan di media terkait berita-berita tersebut. “Jika muncul berita diskriminasi kaum kalian segeralah mengirim bantahan atau rilis ke media yang bersangkutan sehingga ada perimbangan,” bebernya.
Ternyata kondisi itu tak hanya terjadi di Manado. “Media massa di Indonesia kerap menghakimi kaum LGBT lewat pemberitaan melalui judul maupun angel yang mereka buat. Judul dan angel yang dibuat sering kali hanya fokus untuk menaikkan page view,” ungkap Tunggal Pawestri saat menjadi pembicara dalam Workshop dan Fellowship tentang Keberagaman Gender dalam Perspektif HAM yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen dan Ardhanari Institute, Rabu, 5 September 2018 lalu.
Tunggal, konsultan HAM yang kerap menangani pelanggaran HAM yang terjadi pada kelompok LGBTQ mengatakan bahwa pengaruh pemberitaan media yang memberi stigma negatif pada kelompok LGBTQ ternyata berdampak buruk. Banyak diantaranya mengalami depresi yang parah.
Ia mengatakan, mengutip laporan dari Ardhanari Institute, pada Januari 2016 lembaga tersebut mendapat laporan bahwa banyak teman-teman LGBT yang ingin bunuh diri karena tak kuat tekanan media. Tunggal juga menyatakan, selain depresi, kaum LGBT juga mengalami persekusi, dan diskriminasi dalam akses pendidikan, akses kesehatan, dan akses pekerjaan.
Karena itu, ia meminta para jurnalis untuk mengenal dan mau belajar mengenai isu LGBTQ. Menurutnya, jurnalis perlu memiliki pengetahuan dasar mengenai SOGIESC, atau Sexual Orientation, Gender Identity, Gender Expression dan Sex Characteristics.
Dengan mengenal dan mempelajari SOGIESC, maka para jurnalis akan memahami bentuk diskriminasi terhadap LGBT dan dampak dari pemberitaan tersebut. “Fakta tentang konstruksi sosial dibangun kaum patriarkhi dan heteronormatif, menyudutkan dan mendiskriminasi kaum LGBT,” ujarnya.
PEMAHAMAN JURNALIS
Meski kampanye akan kesadaran gender terus dilakukan, nyatanya tak berbanding selaras dengan persepsi publik mengenai identitas gender, yang tak hanya terbagi pada maskulin dan feminin, tapi juga ada transgender. Mereka yang berada dalam posisi sebagai transgender, apalagi berkaitan dengan orientasi seksual, menjadi kelompok yang rentan di masyarakat karena paling sering dibenturkan dengan nilai sosial dan norma agama.
Benturan ini membuat mereka akhirnya mengalami diskriminasi dan stigma sosial yang negatif. Dan kelompok yang paling rentan dalam menunjukkan identitas gender dan pilihan orientasi seksual adalah LGBTQ tadi.
Gerakan dalam memperjuangkan hak kelompok LGBTQ selalu menemui hambatan besar di masyarakat. Sebab, stigma negatif terus ditujukan kepada mereka. LGBTQ kerap dipandang sebagai sebuah aib, kutukan, atau penyakit yang harus disembuhkan. Cara pandang seperti ini akhirnya membuat publik lupa, bahwa kelompok LGBTQ juga manusia yang memiliki hak asasi, hak dasar sebagai manusia untuk hidup, tumbuh dan mengembangkan kapasitas dan kapabilitasnya sebagai mahluk ciptaan Tuhan.
Kondisi ini juga kerap diperburuk dengan pemberitaan media yang tak mempertimbangkan hak asasi kelompok LGBTQ. Media sering kali membuat berita mengenai LGBTQ dari sisi isu orientasi seksual dengan mengedepankan unsur sensasional dan judul yang bombastis.
Sekjen AJI Revolusi Riza mengakui isu LGBT sebagai isu yang perlu pemahaman cukup. Menurutnya, pemberitaan yang salah mengenai kelompok LGBT bisa menimbulkan terjadinya re-viktimisasi, atau korban tak mendapatkan pembelaan, tapi kembali menjadi korban. Itu sebabnya penting bagi jurnalis untuk memiliki perspektif HAM yang memadai agar bisa menulis tentang LGBT tanpa menjadikan mereka obyek page view terus menerus.
Pembicara lainnya, Eko Subiantoro mengatakan, melalui workshop ini jurnalis akan memahami ada penjelasan medis yang sangat kuat yang melatarbelakangi seseorang menjadi LGBTQ. Ia juga memaparkan, diskriminasi yang terjadi pada kelompok ini lebih didominasi oleh konstruksi sosial yang terbangun d tengah masyarakat.
Dikeyahui workshop dan fellowship tentang Keberagaman Gender dalam Perspektif HAM ini diadakan AJI Indonesia dan Ardhanari Institute diikuti 24 peserta dari seluruh Indonesia, termasuk dua dari Manado. Mereka mengikuti workshop ini di Jakarta.
Melalui workshop ini diharapkan para jurnalis yang menjadi peserta memiliki pemahaman baru yang berbeda tentang kelompok LGBTQ dan bisa menjadikan HAM sebagai dasar pemberitaan yang tak boleh dilanggar.
Penulis : Agustinus Hari
Discussion about this post