Tak ada negeri yang terkutuk, dan duka cita harus diakhiri. Ada masa keberanian ditegakkan, pedang dan tombak diacungkan kembali, dewa-dewa mati harus ditinggal pergi, hubungan Tuhan dengan manusia dipertautkan kembali. Begitulah kisah menarik ini.
Dapalan, sebuah desa di timur Pulau Karakelang, Talaud. Daun-daun kelapa melambai di pebukitan. Pohon Panamburin, Kapuraca, dan Ketapang berjejer bagai pagar hijau rindang menaungi pedesaan.
Ada bau garam menguar menembus bukit-bukit jauh dari pesisir saat angin laut Pasifik berhembus di pagi hari. Bila dipandang dari laut, Dapalan seakan desa yang riang oleh tarian pohonan, teduh dan menawan.
Bersama angin laut, para nelayan akan pulang membawa perahunya ke pesisir, setelah semalaman mengesiurkan dirinya di atas alun gelombang demi cerita kehidupan keluarganya di esok hari.
Sedang di pagi yang sama, para petani bergerak menuju kebun tak sakadar menanam, tapi barangkali juga menuai berkah di kebun yang telah ranum. Inilah Dapalan dalam pemandangan keseharian.
Pesisir desa ini sungguh elok dan memesona. Ada sejarah lama terpatri di sana. Sejarah dan legenda tua dari sebuah tradisi moyang-moyang lama. Artefaknya masih berdiri tegak, menyisakan cerita untuk generasi kini. Artefak itu bernama Batu Baliang. Batu Baliang artinya batu berlobang atau batu yang mempunyai gua.
Bagi orang-orang Dapalan, Batu Baliang tak sekadar batu pantai biasa. Batu itu adalah altar penyembahan moyang-moyang orang Dapalan di masa lalu kepada Tuhan. Mereka menyembah Tuhan pencipta alam semesta dan kehidupan yang disebut Derro atau Genggonalangi.
Derro diambil dari baraatta (bahasa tua) Talaud yang artinya Tuhan yang patut dipuja. Sementara Genggonalangi dari bahasa Talaud pada umumnya.
Selain Batu Baliang, ada lima gugusan batu lain yang berjejer dari darat hingga ke lepas pantai yakni, Batu Talenggo, Batu Manahe, Batu Panimbulan, Batu Babalolo, Batu Hanggulan. Deretan batu itu seakan tertata indah dan unik.
Dua Andaara (sungai) kecil mengalir di Dapalan. Andaara Laluaran Kecil dan Laluaran Besar. Dua Andaara itu bermuara di pesisir tak jauh dari letak deretan Batu Baliang. Pada jejeran batu dan sungai itulah sebagian sejarah Dapalan tersimpan.
***
TERSEBUTLAH di zaman dahulu kala, ada seorang perempuan tua bernama Woi Entengan. Di masa hidupnya, Woi Entengan sangat dihormati orang-orang Dapalan. Ia seorang pemimpin spiritual sekaligus pemimpin agama adat di daerah itu. Ia dikenal sakti dan punya ilmu mengobati berbagai penyakit. Ia juga mampu menghindarkan Dapalan dari berbagai bencana lewat ritualnya di Batu Baliang.
Sudah berkali-kali serangan binatang buas, atau serangan hama dan binatang hama seperti babi dan tikus mampu ditepisnya lewat ritual permohonan perlindungan sang Derro. Serangan para perompak dan bajak laut juga demikian.
Itu sebabnya Batu Baliang adalah tempat yang dikeramatkan orang Dapalan di masa lalu. Kebersihannya terjaga dan tempatnya sejuk asri. Selain pohon Panamburin, Ketapang, Kapuraca yang tumbuh besar merindangi tempat itu, pemandangan di Batu Baliang, diselingi panorama hijau tumbuhan pandan yang tumbuh berlapis-lapis di berbagai celah batu.
Burung warna-warni berkesiuran dan bersarang di dedahan pohon. Berbagai jenis binatang juga bertengger dan tidur di bawah rindangan pohonan dan rumput yang menjalar. Ada biawak, ular pohon, kadal, lipan, dan binatang lainnya.
Batu Baliang memang batu yang besar dan panjang. Panjangnya mencapai seratus meter. Lebarnya 75 meter. Sedangkan tingginya 10 meter. Karena berada di tepi laut, maka banyak juga hewan laut hidup dan bersarang di rongga-rongganya yang terbuka. Ada ular laut, siput, ketam batu laut, ikan tangga, dan tiram.
Batu Baliang, punya dua liang utama. Satunya berada di atas permukaan batu. Mulut liang ini cukup besar, dan menghadap arah utara. Panjangnya kisaran 6 meter lebih. Lebarnya mendekati 3 meter. Tingginya sekitar 4 meter. Liang inilah yang menjadi ruang suci bagi Woi Entengan memanjatkan doa kepada Derro.
Liang satunya lagi berada di bawah permukaan air laut dan menghadap arah selatan. Konon kabarnya liang yang di bawah air sangat panjang dan besar. Setiap kali ombak memapar arah selatan Batu Baliang, akan terdengar suara gemuruh di dalam batu, lalu diikuti lesatan air laut yang cukup tinggi dari lobang-lobang kecil yang ada dipermukaan batu.
***
Konon, pada masa sebelumnya, sebenarnya orang-orang Dapalan belum mengenal adanya Derro atau Genggonalangi, sebagai Tuhan yang menciptakan langit dan bumi beserta kehidupan.
Mereka hidup dalam kegelapan kepercayaan lama yang menyembah pohon atau batu-batu besar. Mereka hidup dengan bersandar pada amulet dan mantra-mantra untuk mengusir berbagai bencana.
Tetapi, bencana terus datang menghancurkan kehidupan penduduk dan tanaman di kebun di desa mereka. Woi Entengan sudah memperingatkan mereka. Tapi ajaran Woi Entengan tak mereka gubris.
Suatu ketika terdengar kabar, para perompak dan bajak laut Balangingi dari Filipina, berencana menyerang Dapalan dan seluruh Pulau Karakelang dari dua arah. Dari arah timur dan barat. Semua penduduk ketakutan. Para tetua adat pun meminta Woi Entengan menggelar ritual doa di Batu Baliang.
“Gelarlah ritual doa untuk desa dan pulau ini,” pinta seorang tetua adat. Mendengar permintaan yang sungguh-sungguh itu tergugahlah hati Woi Etengan.
“Baiklah. Karena kalian kini percaya adanya Tuhan yang patut disembah, saya akan menyiapkan ritual doa,” jawab Woi Entengan.
Woi Entengan pun menghitung hari baik atau waktu yang tepat untuk ritual doa menurut Pasang air laut dan bulan di langit. Karena ritual doa hanya bisa dilaksanakan pada saat pasang Umaendo atau Atolla, dan ketika bulan di langit pada posisi Lattu hingga Naworaa. Persiapan dilakukan. Tenda-tenda di pasang.
Saat harinya tiba, Woi Entengan menyuruh seorang pembantunya, memukul Batu Telenggo. Batu itu mendentingkan gema yang keras sebagai tanda mengundang semua warga desa dan para tetua berkumpul menghadiri ritual doa di Batu Baliang.
Batu Telenggo memang berfungsi sebagai batu lonceng atau batu pemanggil. Tingginya sekitar 15 meter (kini tinggal 10 meter, karena dirusak tangan-tangan jahil). Bunyi batu ini kalau dipukul bisa terdengar sejauh dua kilometer bahkan lebih. Seluruh penduduk desa ketika itu bisa mendengar bunyinya.
Penduduk Dapalan berduyun-duyun datang. Mereka berharap ritual doa bisa menghindarkan mereka dari petaka. Sebab kisah keganasan perompak dan bajak laut telah mereka dengar dari mana-mana.
Sementara di Batu Manahe, Woi Entengan menempatkan beberapa penjaga untuk melindungi keberlangsungan ritual doa. Lima orang laki-laki ditempatkan di pucak batu sebagai pengintai. Sepuluh orang ditempatkan di tanah menghadap utara. Sepuluh orang lainnya menghadap barat. Sementara sepuluh orang lainnya lagi menghadap selatan. Maka penjaga atau pengawal itu berjumlah tiga puluh lima orang laki-laki atau Satu Buntuan. Ini sebabnya batu tersebut dinamakan Batu Manahe atau Batu Penjaga.
Saat semua penduduk dan para tetua Dapalan berkumpul, duduklah Woi Entengan di salah satu sisi yang tinggi dari Batu Baliang. Di sana, ia memulaikan ritual doa dengan melantunkan lagu pujian dan penyembahan yang disebut Magunde dan Megaloho. Lagunya terdengar ritmis dan resik. Orang-orang tampak takjub dan gigil.
Sesudah itu, Woi Entengan turun ke dalam liang. Di sana ia melakukan ritual khusus yang hanya didampingi seorang pembantu. Selesai ritual khusus di dalam liang, Woi Entengan kembali ke tempatnya semula untuk mengakhiri ritual doa di puncak Batu Baliang.
Sedang rentetan ritual selanjutnya akan berlangsung di tempat lain. Woi Entengan mengajak semua yang hadir menuju Batu Panimbulan (Batu Pengasapan) dan Batu Hangguran (Batu Tenda). Di tempat itu telah dibangun tenda untuk memasak dan tenda untuk makan.
Semua warga harus makan bersama sebagai tanda ucapan syukur sesudah ritual doa di Batu Baliang. Tradisi makan ini barangkali semakna dengan “perjamuan kudus” pada umat Nasrani. Makan bukan sembarang makan, tapi menikmati nikmat kurnia dari Tuhan yang maha-penyayang.
Usai makan, tempat itu kembali dibersihkan dan semua kotoran di buang di puncak sebuah batu besar yang bernama Batu Babalolo. Batu Babalolo artinya batu jahat dan busuk.
Seusai pembersihan, Woi Entengan mengajak semua penduduk ke tepi pantai di muara dua sungai kecil yaitu sungai Laluaran Kecil dan Laluaran Besar untuk mengakhiri seluruh rentetan acara ritual. Di tempat itu semua peserta ritual menyanyi dan menari sebagai pujian kepada sang Derro lewat lagu-lagu Bondang, Alule dan Alenda.
***
Beberapa hari setelah acara ritual doa, orang-orang desa masih saja bertanya-tanya, apakah Derro akan menolong mereka.
“Doa yang dipanjatkan dengan sungguh-sungguh akan didengar sang Derro,” kata Woi Entengan menguatkan hati para penduduk desa.
Sementara para pengintai yang ditempatkan di lepas pantai, telah melihat kumpulan kapal para bajak laut dan perompak samar-samar kian kemari mendekat. Kaum perempuan dan anak-anak terlihat takut dan panik. Namun, Woi Entengan tak henti menguatkan hati mereka.
Sementara kaum lelaki dan para pemberani telah siaga di pesisir. Mereka sudah siap bertarung dengan para bajak laut dan perompak meski harus dengan cara bertukar nyawa. Peralatan perang telah disiapkan. Kaum perempuan dan anak-anak telah diunsikan ke pedalaman.
Di suatu pagi, pesisir timur Pulau Karakelang itu tampak mencekam. Serangan armada kapal bajak laut dan perompak Filipina kian dekat. Saat musuh itu sudah mendekati daratan, muncullah sebuah kapal patroli angkatan laut Belanda yang langsung mengusir para bajak laut. Maka luputlah semua warga pesisir timur dari serangan para bajak laut ini. Orang-orang mulai percaya, Derro melindungi mereka dengan cara menibakan armada angkatan laut Belanda tepat pada waktunya.
Sementara serangan para bajak laut dari arah barat berlangsung gencar. Pertempuran sengit pecah di pesisir barat Pulau Karakelang. Penduduk pesisir barat dengan gigih bertempur dibantu sepasukan angkatan laut Belanda. Semua pasukan bajak laut Filipina tewas dalam pertempuran itu.
Sementara dipihak penduduk dan angkatan laut Belanda beberapa orang dinyatakan gugur. Termasuk salah seorang pemimpin angkatan laut Belanda yaitu Laksamana Joly. Untuk menghormati Laksamana Joly, oleh penduduk pesisir barat, jenazahnya dimakamkan di Pulau Nusa Dalam. Itu sebabnya hingga kini pulau Nusa dalam disebut Pulau Joly.
Sejak peristiwa ini, Batu Baliang menjadi tempat ritual doa penduduk Dapalan. Di tempat itu mereka memohon perlindungan Derro untuk negeri Dapalan dan Pulau Karakelang pada umumnya.
Cerita ini secara khusus mengajarkan agar kita menghormati dan menjaga budaya leluhur. Secara umum mengingatkan di mana kemampuan manusia selalu ada batasnya, tapi kebaikan Tuhan pada umatNya tiada berkesudahan. Setiap permohonan yang sungguh-sungguh kepada Tuhan pencipta khalik semesta akan mendapatkan perkenaanNya.
- (Diceritakan kembali oleh Iverdixon Tinungki, Denny Dalihade, dkk)
Discussion about this post