Negeri Lirung, atau Kota Lirung, di pulau Salibabu, Kabupaten Kepulauan Talaud, di zaman dahulu bernama Sara Banua. Tetapi penduduk setempat juga menamakan tempat itu dengan nama negeri Hilamunan, karena di sepanjang pantainya banyak tumbuh sejenis rumput laut hilamunan.
Sara Banua merupakan negeri yang cantik dan subur. Terletak di lembah sebuah gunung. Sedang di depannya terbentang samudera luas Pasifik. Penduduknya hidup dari hasil bertani, nelayan dan berburu. Sepanjang tahun, penduduknya tak kekurangan bahan pangan, karena mereka termasuk anak suku yang rajin bekerja. Para penduduk tidak tinggal di suatu tempat selayaknya sebuah perkampungan yang ramai. Tetapi, mereka tinggal agak berpencar di kebun-kebun dan di pesisir hingga mereka bisa bekerja sepanjang hari.
Dikisahkan, di Negeri Sara Banua itu pernah hidup seorang pemuda bernama Pinamangun. Ia tinggal di suatu daerah perbukitan bernama Pangiloloan. Ia pemuda yang rajin, pandai berburu, memanah ikan, dan bertani. Suatu ketika, Pinamangun berniat turun ke pesisir pantai hendak memanah ikan. Untuk mencapai pantai yang berada di tanjung Taduwowong, ia harus berjalan cukup jauh, kurang lebih sepuluh kilometer.
Sesampainya di pantai ia melihat sebuah rakit besar bersusun empat terdampar di sana. Penasaran dengan isi rakit itu, Pinamangun segera membongkarnya. Alangkah terkejutnya dia, karena di dalam rakit itu ternyata ada seorang gadis yang cantik jelita. Namun tubuh gadis itu tampak letih dan lemah. Barangkali karena terlalu lama terombang ambing di lautan luas maka seluruh tenaganya telah terkuras. Hati Pinamangun jadi kasihan melihatnya.
Melihat ada orang yang datang padanya, sang gadis berusaha untuk bicara. Tetapi bahasa yang digunakannya tak dapat dimengerti. Namun begitu, Pinamangun mengerti di mana sang gadis itu meminta pertolongan darinya. Pinamangung pun segera menolongnya. Gadis itu diangkatnya, lalu dibawanya ke hamparan pasir pantai yang kering dan hangat. Pinamangun kemudian memanjat kelapa dan mengambil buahnya yang muda. Setelah meminum air kelapa dan menyantap dagingnya yang lembut, lambat laun tubuh sang gadis menjadi agak kuat kembali.
Mereka berdua kemudian bercakap, tapi keduanya tidak saling mengerti bahasa yang digunakan masing-masing. Pinamangun kemudian mencoba mengajaknya bicara dengan menggunakan bahasa isyarat, dan akhirnya Pinamangun tahu nama gadis itu Putri Arusa. Sedangkan Putri Arusa tahu nama lelaki di dekatnya itu Pinamangun.
Untuk menghindari terjadinya kegemparan soal ditemukannya seorang perempuan asing yang terdampar di pantai Sara Banua, juga supaya keberadaan Putri Arusa tidak diketahui orang, Pinamangun tak membawanya ke tempat tinggalnya di Pangiloloan. Putri Arusa dibawa Pinamangun ke suatu tempat yang agak jauh dari perkampungan yakni di sebuah pegunungan – itu sebabnya di kemudian hari, gunung tempat Pinamangun menyembunyikan Putri Arusa itu dinamakan Wowong Marruala (Gunung Nona) -.
Pinamangun merawat Putri Arusa dengan baik hingga kesehatannya benar-benar pulih. Mereka pun hidup bersama di tempat yang agak terpencil itu. Pinamangun membangun sebuah rumah untuk Putri Arusa, sementara Putri Arusa pun ikut membantu pekerjaan Pinamangun saat ada panenan yang harus dijemur. Ia juga memasak makanan untuk mereka berdua.
Hari demi hari, persahabatan Puri Arusa dan Pinamangun kian erat meskipun mereka adalah dua orang asing yang hidup di sebuah rumah di pegunungan yang sunyi itu. Putri Arusa pun berusaha keras belajar bahasa Talaud yang digunakan Pinamangun hingga mereka bisa berkomunikasi dengan lancar. Putri Arusa juga sudah sangat percaya kepada Pinamangun karena sikapnya yang baik padanya. Sementara Pinamangun memang dengan segenap hati membantu dan menolong Arusa hidup menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dan asing baginya. Lama-kelamaan Putri Arusa akhirnya bisa berbahasa Talaud.
“Sebenarnya dari mana asal kamu,” tanya Pinamangun suatu ketika.
“Aku berasal dari sebuah kerajaan yang bernama Spanyol,” jawab Putri Arusa.
“Spanyol itu di mana?”
“Tempatnya sangat jauh dari sini, berada di seberang lautan sana,” jelas Putri Arusa.
Putri Arusa kemudian bercerita bila ia sesungguhnya adalah seorang putri dari keluarga bangsawan di Kerajaan Spanyol. Tapi ia dihukum oleh ayahnya karena telah menghilangan cicin kawin tanda pertunangannya dengan seorang lelaki bernama Airung. Ia teledor memakai cincin itu saat bermain dengan adiknya. Atas kesalahannya, ia dihukum dengan cara dihanyutkan di laut dengan sebuah rakit bersusun tujuh. Ia dikurung dengan diberi bekal secukupnya. Setelah terombang abing di tengah samudera berminggu-minggu, suatu ketika rakitnya diterjang angin ribut dan gelombang besar. Tiga susun rakitnya hancur berantakan, dan yang tersisa tinggal empat susun.
“Untung aku masih bisa selamat dari malapetaka itu. Rakitku kembali hanyut berhari-hari dibawa arus, dan perbekalanku sudah habis. Aku pikir, aku akan segera mati kelaparan. Sudah beberapa hari aku tidak makan dan akhirnya terdampar di pesisir pulau ini,” kisah Putri Arusa.
“Betapa sulit kau melewati hari-harimu di laut itu,” kata Pinamangun.
“Untung kau menolongku. Terima kasih atas pertolongan dan kebaikan hatimu,” kata Putri Arusa. Ada air mata haru menetes ke pipinya.
“Menolong sesama adalah kewajiban setiap manusia. Berterima kasihlah pada Tuhan,” ujar Pinamangun menghibur hati Putri Arusa.
Hari berganti hari, kedua anak muda itu akhirnya jatuh cinta. Mereka menjadi sepasang kekasih yang saling menyayangi. Hidup keduanya berkecukupan, karena mereka saling bahu-membahu melakukan pekerjaan. Putri Arusa sudah membuang jauh-jauh gaya hidupnya sebagai putri seorang bangsawan yang kaya raya. Kini ia hidup sebagai perempuan desa. Ia ikut belajar bertani dan mengelola hasil pertanian. Ia juga memelihara binatang ternak. Semua pekerjaaan itu dapat dikuasainya, karena Putri Arusa benar-benar belajar melakukannya dengan sungguh-sungguh.
Putri Arusa dan Pinamangun akhirnya sepakat untuk menjadi suami-isteri. Perkawinan mereka pun dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Ponisan. Ponisan tumbuh menjadi gadis yang wajahnya secantik ibunya. Ponisan juga rajin bekerja membatu ayah dan ibunya. Ia pandai membuat anyaman tikar pandan. Ia juga belajar menenun kain dari serat pisang Abaka.
Dengan kehadiran Ponisan, rumah tangga Pinamangun dan Putri Arusa kian harmonis dan damai. Putri Arusa merasa tak menyesal telah dibuang ayahnya ke lautan luas. Karena dengan hukuman itulah ia bisa bertemu dengan suaminya yang sangat menyayangi dia.
Namun jauh di dasar hatinya, ada hal yang sebenarnya mengganjal Putri Arusa yang tak diketahui Pinamangung. Jauh di seberang lautan, di Kerajaan Spanyol, ia meninggalkan seorang kekasih yang amat disayanginya. Putri Arusa dan pacarnya bernama Airung sama-sama keturunan bangsawan Spanyol yang kaya raya. Putri Arusa selalu teringat janjinya kepada Airung untuk akan selalu menyayangi kekasihnya itu sampai kapan pun. Mereka saling menyayangi. Mereka telah saling berjanji untuk menikah pada suatu ketika nanti.
Namun terpisah jarak sejauh ini, apa yang bisa dilakukan Putri Arusa. Putri Arusa memang selalu teringat janjinya pada Airung, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Kadang-kadang ia menyembunyikan kesedihan yang tanpa diketahui suaminya saat ia teringat Airung. Putri Arusa selalu resah dengan janjinya kepada Airung yang telah dilanggarnya. Ia berjuang keras membuang bayangan Airung dari hatinya, tapi selalu sia-sia. Bayangan Airung seperti selalu datang mendekati dirinya. Ia berkali-kali bermimpi melihat Airung yang terpuruk dalam kesedihan.
Namun kebaikan dan perhatian Pinamangun padanya membuat hati Putri Arusa tak berdaya. Ia seperti telah ditaklukkan oleh sebuah kekuatan cinta yang baru, yang begitu indah dan dasyat. Putri Arusa sering berpikir, seandainya suatu saat ia berjumpa Airung, entah keputusan apa yang harus ia ambil. Apakah ia akan meninggalkan Pinamangun dan pergi bersama Airung. Ataukah ia akan mengabaikan Airung lalu tetap hidup bersama Pinamangun. Pikiran semacam itu, selalu membuat hati Putri Arusa cemas.
***
Pada suatu hari Pinamangun melihat ada benda aneh yang kian kemari merapat ke pesisir. Setelah cukup rapat, benda itu ternyata sebuah kapal layar yang besar dan berlabuh di pantai Sara Banua. Pinamangun mengajak istrinya Putri Arusa dan anak gadisnya Ponisan untuk pergi ke pantai melihat kapal itu. Dari atas gunung mereka turun menyusuri sebuah andaara (sungai) bernama Linturan.
Sejak meninggalkan rumah mereka, Putri Arusa sudah merasa begitu cemas. Jantungnya berdegup kencang. Ia gelisah kalau-kalau yang datang dengan kapal itu adalah Airung. Karena ia ingat, Airung pernah berjanji akan mencari dirinya kemana pun rakit itu membawanya. Putri Arusa juga tahu sikap Airung yang selalu menepati janjinya. Airung adalah sosok yang cerdas dan setia memegang janji. Kalau sampai kapal itu membawa Airung, bagaimana nanti ia harus bersikap pada Airung.
Selama perjalanan, di hati Putri Arusa selalu terbayang sosok pemuda tampan tunangannya itu. Setelah sampai di tepi pantai, mereka langsung melihat ada seorang lelaki yang tengah berbaring di pasir melepaskan letih. Pinamangun mencabut sondappa (pedang), ia berjaga jangan sampai lelaki itu adalah orang jahat.
Kira-kira jaraknya kurang dari seratus meter, Pinamangun mengeratkan genggaman sondappanya. Sementara hati Putri Arusa menjadi kian risau karena benar lelaki asing yang ada di sana itu adalah Airung. Saat Pinamangun hendak menyergap Airun, Putri Arusa menahannya.
“Jangan! Aku mengenal lelaki itu,” kata Putri Arusa.
“Kau mengenalnya?”
“Biarkan aku berbicara dengan dia karena aku mengenalnya bahkan sangat mengenalnya,” bujuk Putri Arusa.
Awalnya Pinamangun tak mengizinkan Putri Arusa. Ia takut lelaki asing itu akan mencelakainya. Pinamangun ingin segera membunuh laki-laki itu. Tapi istrinya mampu membujuknya. Ia mendekat ke arah Airung. Ternyata apa yang dicemaskan Putri Arusa selama berpisah tujuh belas tahun dengan Airung kini menjadi nyata.
Di sana, di pesisir yang ditumbuhi rumput laut hilamunan, tampak Airung dengan wajah yang kuyu dan letih. Hati Putri Arusa terasa perih. Sedangkan Airung begitu terkesiap memandang Putri Arusa.
“Airung, kaukah itu,” tanya Putri Arusa ingin meyakinkan.
“Benar Putri Arusa. Aku Airung!”
“Bagaimana ceritanya hingga kau sampai di tempat ini?”
“Aku telah menyewa kapal itu untuk mencarimu. Aku telah mengelilingi banyak negeri untuk menepati janjiku akan mencarimu. Di setiap pelabuhan dan pantai yang aku datangi, aku selalu bertanya kepada orang-orang apakah mereka pernah melihat sebuah rakit besar yang hanyut. Setiap berpapasan dengan kapal yang lain aku juga bertanya kepada nahkodanya apakah ia pernah melihat sebuah rakit besar yang hanyut. Petunjuk demi petunjuk kuikuti. Hingga tujuh belas tahun aku terus berlayar mencarimu. Dan akhirnya aku mendapat petunjuk yang pasti dari penduduk yang tak jauh dari tempat ini bahwa sebuah rakit yang memuat seorang gadis telah terdampar di pantai ini. Itu sebabnya aku sampai di sini,” jelas Airung.
Mendengar cerita Airung, air mata Putri Arusa tak tertahankan lagi. Hatinya seperti terkoyak-koyak. Ia memandang Airung dengan perasaan sedih yang mendalam.
“Airung, aku tahu betapa kuatnya cintamu padaku hingga kau harus menempuh perjalanan berat selama belasan tahun mencariku. Tapi waktu untuk kita sudah lewat. Lihat lekaki dan anak gadis itu Airung, mereka adalah suami dan anakku,” kata Putri Arusa dengan linang air mata.
Airung menatap Pinamangun dan Ponisan yang berdiri tak jauh dari mereka. Hatinya begitu pedih mendapati kenyataan pahit, kekasih yang amat disayanginya kini telah menikah dan punya seorang anak. Meskipun pahit, Airung mencoba memaksa hatinya agar menjadi tegar.
“Aku telah menempuh perjalanan sejauh ini demi kau Putri Arusa. Aku bisa menerima kenyataan kau telah menikah. Tapi tinggalkanlah tempat ini, ikutlah dengan aku lagi, Putri!” bujuk Airung.
“Aku memang tak bisa melupakan cintamu Airung. Tapi aku juga tak bisa mengabaikan cinta, kebaikan hati, dan pertolongan suamiku. Tanpa dia barangkali aku sudah mati, Airung. Aku masih hidup karena dia. Maka sisa hidupku biarlah kubaktikan untuknya,” jawab Putri Arusa.
Mulut Airung terasa tercekat oleh jawaban yang tulus itu. Hatinya merintih di tengah senja yang mulai turun. Sebentar lagi malam, tapi kegelapan lain telah merubungi hati Airung. Tubuhnya terasa goyah, seperti mau lesap ke dalam pasir, tapi dengan kuat ia berusaha menahannya.
“Baiklah Putri Arusa. Karena aku amat mencintaimu, maka semua keputusan yang baik darimu biarlah kuikuti dengan hati yang lapang. Apalagi, lelaki yang kini jadi suaminya adalah seorang yang baik. Jagalah dan cintailah suamimu dengan segenap hati,” kata Airung.
Mendengar perkataan Airung, hati Putri Arusa menjadi lapang. Ia tahu ada kepahitan dalam nada suara Airung. Tapi ia tak bisa lagi membalikkan waktu untuk Airung. Ia memanggil suaminya dan anaknya Ponisan untuk bertemu dengan Airun. Mereka bertemu dalam suasana yang begitu haru. Pinamangun pun mengajak Airung untuk mempir ke rumah mereka. Ajakan yang tulus itu tak ditampik Airung.
***
Pada malam harinya, Putri Arusa memanggil suaminya Pinamangun ke kamar. Ia menceritakan semua rahasia hidup masa lalunya dengan Airung dan juga perjuangan Airung selama belasan tahun mencarinya. Mendengar cerita itu hati Pinamangun jadi tersentuh. Pinamangun sebenarnya ikhlas bila istrinya memilih ikut kembali dengan Airung ke Spanyol. Tapi Putri Arusa telah menyatakan dengan tegas bahwa kini cintanya hanya untuk Pinamangun. Airung hanyalah sebuah masa lalu baginya.
Setelah beberapa hari tinggal di rumah Pinamangun dan Putri Arusa, Airung menjadi dekap dengan Ponisan. Akhirnya berjodolah mereka. Pinamangun dan Putri Arusa merasa senang melihat hubungan anaknya dengan Airung. Atas persetujuan mereka, menikahlah kedua pasangan kekasih itu.
Setelah menikah, Airung memilih untuk tidak kembali lagi ke negerinya Spanyol. Ia memilih tinggal di Negeri Sara Banua. Ia ingin membantu Pinamangun dan Putri Arusa membangun negeri yang terpencil dan sunyi itu menjadi perkampungan yang ramai dan maju.
Hari demi hari, Airung mencurahkan segala pengetahuannya yang dibawa dari negerinya untuk membangun pemukiman penduduk di Negeri Sara Banua. Ia melatih penduduk cara membangun rumah yang lebih layak huni dan modern. Ia mengajar cara membangun perahu layar yang besar. Ia juga mengajar teknik pertukangan dan pertanian yang lebih baik.
Meskipun dengan sarana yang terbatas dan cara berpikir penduduk yang masih terkebelakang untuk ukuran masyarakat moderen dan maju, Airung tak menyerah. Ia terus melatih dan mengajar penduduk tanpa merasa lelah.
Negeri Sara Banua kian hari kian ramai. Para penduduk yang hidup terpencar-pencar kini turun membangun rumah di suatu perkampungan untuk hidup bersama. Cara-cara hidup bersama dalam suatu kelompok masyarakat maju juga diajarkan Airung. Akhirnya, Negeri Sara Banua atau negeri Hilamunan itu menjadi kota kecil yang maju dan makmur di masa itu.
Untuk menghormati jasa Airung yang telah bekerja keras membangun kota itu, para tua-tua kampung pun memutuskan mengabadikan nama Airung sebagai nama untuk kota mereka. Nama itu juga sebagai pengingat tentang seseorang yang telah datang dari jauh yang menambatkan cinta dan kesetiaannya untuk negeri mereka. Tapi karena penduduk sulit melafalkan nama Airung, maka kota itu dilafalkan dengan nama Lirunga. Dan kini kini disebut Lirung.
Cerita ini secara khusus berpesan bahwa Tuhan selalu punya rencana indah bagi setiap manusia, meski harus dilewati dengan berbagai persoalan. Secara umum berpesan bahwa cinta dan kebaikan hati akan menjadi simpul erat yang mempersatukan manusia dari segala perbedaan.
(Diceritakan kembali oleh Iverdixon Tinungki)
Discussion about this post