TUGU
tugu peringatan peperangan itu
membawaku bau peluru, sengat batu
sedih biru
angin menyelimutinya
berulangkali menerjemahkan sunyi
runtuh ke akarakar lumut
begitu getir kudekapi bau pedih
selalu menguar dari liang tanah
di mana rebah bangkaibangkai
membawa beribu luka, beribu katakata
semua meruyup kisah gelisah
ke dalam asap meratapi nyanyian hati
aku mengambang tanpa temali
di atas laut yang dulu membawa kita kenduri
orangorang kehilangan kekasih
mengisaki hujan dengan segala kegemetarannya
menyelinapkan darah mereka ke tubuhtubuh sepi
seorang bayi, ibu, saudari, bapak, dan masih banyak lagi
tak bisa disebut lagi, dimaknai lagi
–karena mati tak akan membawa mereka kembali–
begitu saja tumpah ke atas tugu ini
bah peperangan, nyawanyawa cahaya
lingsir ke dalam cadar kabut
gugup menyelesaikan erang dan riang yang remuk
pada detikdetik tanpa cuaca
doadoaku pecah dalam raung
tibatiba menderam bersama ngilu kemboja
kehilangan seluruh pucuknya
ketika bungabunga bergelantungan begitu sanwa, begitu merah
di tengah udara seakanakan melepas seluruh nyawanya
dan kita membuatnya hidup kembali
pada analogi tiang, kotak dengan bola bumi yang miring
dalam berpasang mata tak mampu menangkup
kisah lampau itu
ke dalam kini lebih maut lagi
BIOGRAFI TANAH MOYANG
di tanah air subur inilah kita menyambung
garisgaris peta manusia dan kebaikannya
memaknai waktu dan saman
bangkit kembali menegak merayakan hidup
karena antara masa lalu, masa kini, masa depan
ada garis elok mesti ditaut
jadi kekuatan bersatu bangkit melangkah
dalam imaji nyiur melambai memanggil
kita akan menyusuri apa yang kita miliki
tanahtanah ke atasnya seakan
seluruh keringat bisa tumbuh
dan para pendahulu mewariskan negara
mereka bangun dengan jerih lelah dan darah
lalu, di atas masa kini yang ramai ini
ada mesti kita benah dalam kisah menjaga tanah air
kian lama kian rentah, kian luka, kian terjarah
oleh nafsu kita yang alpa
bukankah kita hidup untuk menghidupkan yang lainnya
di masa inilah seseorang akan melarung perahunya
para petani pergi ke ladang dan sawahnya
menanam memanen
semua harapan terkurnia dalam alam
kotakota akan tumbuh merajut kisah niaga yang maju
dalam semangat rakyat bersatu
meraih damai disetiap tetes peluh
lalu, kita melangkah ke masa depan
dalam hutan terjaga hijaunya
dalam laut terawat nyawanya
karena kita mencintai tanah air ini
dalam hidup atau mati
bungabunga akan keluar
menghamburkan wangi ke garisgaris masa
burungburung serentak
beterbangan mengikuti garuda
mengabar kegembiraan dalam satu kata
kata merdeka lebih nyata
di tanah air inilah akan kita raih masa depan itu
laksana burungburung hidup
mendapati rumahnya kembali
membawa kita terbang
ke citacita lebih tinggi
saatnya kita tuliskan dongengdongeng kita sendiri
tentang masa depan yang tahu
dimana letak pagi lebih bercahaya
kita semua akan memandang
bendera dikibar deru angin
di tiangtiang kapal, di tiangtiang masa
dalam kisah rayanya Indonesia
terus tumbuh di liang hati
DONGENG PEPERANGAN
dalam 1656 jam
tahuntahun merangkai buku
sebuah biografi katakata
tumbuh dari satu kata
dengan kata itu kita menulis asap dan nyawa
mengenang debu dan kehilangan
menyambung garisgaris peta dan kebaikan
memaknai waktu dan saman
untuk bangkit kembali tegak
siapa mereka bila ada tanya
siapa kita bila ada langkah
karena hidup bukan bergerylia sepanjang umur
bukan melata oleh perasaan terhina dan terkutuk
antara raffles dan dekker
ada garis elok dan sisi kumal
adipati pengabdi dan pangeran pemberontak
candicandi abadi dan ladangladang cemas
tangga ke surga dan laut yang luka
perantauperantau
tak menemukan rumah di tanah lain
semua mau kembali ke tanah lahir
ke imaji nyiur melambai memanggil
pukul sepuluh di sebuah desa
ditemukan dirinya dalam bentuk segenggam padi
seonggok laut sobek bagai kain
menanti bintangbintang yang teguh mencahayai
bangkaibangkai pesisir remuk ini
di jam itulah ia melarung perahunya
saat bungabunga hutan keluar dari kerudungnya
menghamburkan wangi ke garisgaris masa
burungburung serentak beterbangan
dalam satu kata. satu kata itu saja!
semua mendengar dan menyaksikan
keilahian alam dikata itu
sontak dari benak ibu bumi yang diam
menumbuhkan padi
mayangmayang
kian sarat oleh bijibiji bernas dan pekerti
di sini burungburung hidup mendapati rumahnya kembali
saat hujan mengalungkan air matanya
ke serambi diramaikan gelak anakanak
tanjungtanjung menjorokkan tubuhnya memeluk bandar
terus menanti yang masih ingin pulang ke sini
kereta pertama bergerak diwaktu usang
telah didaur jadi paku dalam kenduri relrel dari masa lalu
ketika tiba di stasiun
orangorang telah menyetel jam ke 1656
waktunya kita kembali ke rumah sendiri
kanakkanak menunggu dengan tangan gemetar
menggenggam sebilah keris
entah mau ditikan ke dada siapa
jangan biarkan waktu tercecar ke tanah
yang begitu lama kehilangan makna
sebagai sebuah rumah
dongengdongeng pun lahir di sini
di tangan ibu yang mencuci bercak darah tuban pecah
di bukubuku bacaan ayah
mencari letak pagi lebih bercahaya
dikeriuhan anakanak nakal membakar kepatuhannya
tibatiba semua tinta ingin menulis tak lagi satu kata
kata yang dahulu jadi pedoman
mereka lupa sejarah bergerak ini
tak saja oleh orang terpelajar
orangorang kecil pun ikut memutar tuasnya
ada mencari karno
ada mencari hatta
tan malaka dan rumahrumah bencana
tapi ditemukannya potretnya sendiri, munafik
sebilah bayonet dan sangkur terhunus
siapsiap membela timur barat dalam tafsir yang kabur
chairil yang aku itu telah letih dan gugur
satu kata yang luhur hilang di stasiun kereta api manggarai
ketika musuhmusuh sejati sesungguhnya diri sendiri
selamat pagi kawan
selamat malam tuan
apa yang kalian ingin tinggalkan dalam gestapu September
menghidukan pesing di bukubuku sejarah
dengan potonganpotongan bianglala tak berwarna
dimana tukul yang ingin pulang ke kata merdeka
sajaksajak sederhananya masygul dalam nisan tak bernama
barangkali ia sedang merayakan mati yang maut itu
ketika sebuah orde menggebuk dalam mimpi paling buruk
maka ada saman
penyairpenyair berkutat dengan air mata
sepanjang hayatnya
seakan air mata bahasa satusatunya
dengan kemuraman dilukis sedemikian detilnya
kotakota pun menyerbu
menggulung dusundusun
tanahtanahnya ditanami racun
kotakota melucuti tradisi
dan kampungkampung jadi wujud yang mati
aku di sini di jam ke 1656
memandang bendera dikibar deru angin
di tiangtiang kapal membawa pergi
harga diri kita ke benuabenua lain
INDONESIA PADA SEBUAH LAYAR
ada ketika seorang anak akan bertanya pada ibunya:
apa itu Indonesia
karena Indonesia yang ia bayangkan
begitu kabur dan samar
Indonesia yang disuguhkan padanya
adalah pertengkaran politik, berita korupsi dan kriminal
hiburan asing yang tak menjawab akar kesusahannya
pahlawanpahlawan super dunia fiksi yang tak nyata
ada ketika seorang anak akan berkata pada ibunya:
sebegini inikah wajah Indonesia yang harus kubayangkan
wajah yang retak, wajah yang kusam oleh ruparupa persoalan,
oleh ruparupa duka cita, perseteruan dan katakata yang tajam
menusuk hati, meretakan jiwa dan harapan
pulaupulau yang tak bernyawa
laut yang bertabur gelombang amarah
alam dan lingkungan yang terjarah
pendidikan yang kehilangan rasa cinta
akan apa yang kubayangkan pada Indonesiaku yang kubanggakan
ada ketika anak itu akan memandang merah putih berkibar
dalam sepi kebanggaan. dalam pertanyaan yang selalu tak terjawab
tapi ibunya yang sabar tetap saja menatapnya dengan cinta,
dengan sayang yang tak berkesudahan
dan ada ketika ibu itu akan berkata:
sejak negeri kita merdeka, hanya pada sebuah layar engkau melihat
Indonesia apa adanya. Pulaupulau yang riang, tanah air yang gemerlapan
karena hanya pada layar sanubari penuh cinta
Indonesia yang kau bayangkan
tak pernah padam
WAJAH KITA, INDONESIA KITA
ini masa dimana
banyak orang memberangus akal sehat
mengunci perdebatan
meski penting disuarakan
kritik dibalas makian
kebenaran
identik dengan jumlah orang turun ke jalan
konflik dan kekerasan
dijadikan sarana
menggebuk lawan
bahkan
untuk menciptakan keseimbangan
isu dinaikkan
mengalihkan perhatian
manakala dianggap mengganggu kepentingan
isu disimpan
menutup diri dari perdebatan
kini banyak orang tak mau
merayakan akal sehat
memberikan catatan kritis terhadap
berbagai kekuatiran
meski itu menyangkut masa depan rakyat
karena tibatiba semua tak mau dianggap berbeda
atau senada
karena kuatir dibalas penghinaan
atau dikafirkan
ini fase paling memuakkan
dimana kesadaran kritis
direndahkan
Discussion about this post