MASA lalu orang-orang Sangihe Talaud tak saja ditandai era kegemilangan akar astronomi. Namun menampilkan juga perjalanan yang mencengangkan melalui sejarah spiritual dan mitologi lewat alam pemikiran esoterisnabati.
Kendati musim pasang tradisi esoteris itu perlahan surut pasca persentuhan dengan alam pemikiran dunia Barat semitik abad ke XV, namun sejumlah frasa dari khazanah sastra purba mereka masih menyisahkan kilaunya hingga kini.
Dari kelindan kekayaan alam pemikiran masa lalu itu saya ingin mensitir satu larik pernyataan dari masapurba yaitu: “Manusia berasal dari pohon”.
Sebuah legenda mengisahkan manusia pertama di kepulauan itu berevolusi dari pohon pisang Abakka. Alam pemikiran esoteris di atas sudah pasti menohok pandangandan sejarah spiritual masyarakat yang sudah mapan.
Namun, rahasia penciptaan dalam pandangan dunia kuno Sangihe Talaud ini dapat dipersandingkan dengan pandangan esoteris orang-orang Mandrake sebagaimana dipersaksikan sejarawan Herodotus dari Yunani pada abad ke 5 SM.
Orang-orang Mandrake juga meyakini manusia berasal dar itumbuhan. Manusia berevolusi dari pohon. Dalam perbincangan masa kini tentu bukan lagi diskursus baru dalam pemetaan kesadaran nabati. Di negeri-negeri seperti India, Jepang, China, Jerman, dan Amerika, juga membicarakan konten asal-usul manusia ‘berevolusi dari pohon”, bahkan telah mengispirasi suatu translasi model-model meditasi.
Jonathan Black, sarjana filosofi dan teologi dari Oxford, lewat bukunya yang bestseller internasional berjudul “Sejarah Dunia Yang Disembunyikan” secara luas dan mendalam membahas tema ini dengan mengasu dalam pemikiran dunia esoteris Barat.
Seperti pohon, manusia dalam pandangan dunia esoteris Sangihe Talaud juga berkembang secara hermafrodit sepert Hawa yang dibentuk dari tulang Adam.
Berkembang secara seksual.
Cara reproduksi lainnya disebut parthenogenesis. Bagian dari tumbuhan jatuh dan tumbuh menjadi sebuah tumbuhan baru. Tumbuhan baru itu merupakan penerus dari yang lama sehingga dalam beberapa hal tidak mati.
Di dunia barat, selain berbagai peninggalan pantung dan gambar-gambar kuno, memang tak ada artefak tentang proto manusia hidup dalam bentuk tumbuhan. Namun kini ikwal kehidupan seperti tumbuhan parthenogenesis itu telah menjadi benang kehidupan yang menarik untuk diurai di tengah kusut peradaban masa kini.
Di Sangihe Talaud, di era para misionaris yang ditandai berbagai stigma pagan dan kafir, alam pemikiran kuno itu pun mulai disembunyikan dalam sebuah tradisi yang disebut “Wawunian” yang artinya “disembunyikan”.
Beruntung ransekan dunia semitik itu tak cukup gigih menghabisi peninggalan alam pemikiran lama ini, hingga generasi kini masih bisa membaunnya lewat peninggalan khazanah sastra lama.
Larik-larik syair lama seperti: “katuwokatamang” (tumbuh dan hiduplah), atau “sombondaisombo, Tuwondaituwo” (hidup dan hiduplah, tumbuh dan tumbuhlah) adalah contoh dari bagian dalam frasa besar alam pemikiran nabati Sangihe Talaud.
Di pulau Kakorotan, Nanusa, Talaud Utara, masyarakat setempat hingga kini percaya adanya pohon kehidupan yang disebut “Pohon Lawa” pernah tumbuh di sana. Di Bannada, pulau Karekelang, pohon Lungkang dimitologikan sebagai penjelmaan seorang perempuan bernama Nahangging yang merupakani bumitologis dari suku bangsa Porodisa, Talaud.
Dalam pengajaran rahasia yang disebut “Sasasa” masyarakat purba Sangihe Talaud, memetaforkan manusia sebagai pohon. Bagian pertama pembuka syair ‘Sasalamate’—salah satu bentuk khazanah sastra purba Sangihe Talaud— yang hingga kini masih digunakan dalam berbagai upacara adat Tulude di bawah ini menunjukan lekatnya kehidupan alam pemikiran nabati dalam kehidupan suku bangsa ini:
“Mengalung pingka esu alungu binawa. Metirolong langi suwowong tagialu. Mendeda potunku emen dedating tadetene. Hamu u bialelang menggegala dempugelohang ngukalu kalu wulaeng. Nepisilapise nipikiung ngulumu. Dau kalung hawunawa enaleka. Nalekabe nawobenuseuhu, ensa u lowoe. Dan Namuhe enede hamune nahangbatu Ondole Nawongkasang daukalung pia lelang, lekabe pisilendeng pegasutungkue.”
Peninggalan puisi-puisi purba seperti “Sasambo” juga menegaskan konsep pemikiran esoteris nabati itu. Larik yang menyebut “kalunairi” (Cabang yang patah) adalah penggambaran kehidupan manusia yang mati.
Dalam ikonografi orang Sangihe Talaud purba menyimbolkan manusia sebagai pohon hidup (kalutamata). Simbol ini mengisyaratkan asal-muasal kehidupan manusia. Sementara setan disimbolkan sebagai kayu kering (kaluhegu).
Simbol lain tentang semak di gunung, disebut “Utae” (rambutnya). Hutan di bukit disebut “wembange” (pundak). Sementara kebun di lembah gunung disebut “Sulaede” (kaki). Bahkan hingga kini orang Sangihe saat mengucapkan selamat Hari UlangTahun (HUT) kepada seseorang dengan sebutan “Pakalaluhe, pakaumbure” (tumbuhlah tinggi, panjanglah umur).
Dalam tahun-tahun perjalanan saya meneliti alam pemikiran esoteris Sangihe Talaud di negeri 124 pulau itu dipertemukan sejumlah fakta lewat tuturan para pemelihara tradisi yang memandang pohon memiliki eksistensi sebagaimana manusia.
Sebagai misal, dalam hal pengobatan tradisional, bila seorang tabib membutuhkan daun jenis pohon “A”, namun pohon itu sulit ditemukan di tempat tersebut, maka sang tabib bisa meminjam daun kepada pohon “B”. Bila manatahapan pengobatan telah selesai dilakukan, maka sang tabib harus berjalan mencari pohon “A’ hingga bertemu, lalu meminta kepada pohon “A” untuk memberikan daunnya sebagai penganti daun yang diambil dari pohon “B”.
Eksistensi pepohonan dalam tradisi esoteris ini termaktub dalam bagian tradisi besar “Sasahara dan Sasalili” (Budaya Laut dan Budaya Pulau). Bagi masyarakat tradisi di sana, semua pohon memiliki kehidupan, bahkan setiap pohon memiliki dewanya sendiri.
Pandangan esoteris ini menempatkan delusi, khayalan, dankemauan, berada di antara kekuatan-kekuatan besar di alam semesta.
Hingga kini masyarakat setempat dalam hal pembuatan perahu atau kapal, juga rumah yang mengunakan kayu tidak sembaran menebang pohon. Setiap tahapan penebangan diatur dalam serentetan ritual yang berhubungan dengan eksistensi kehidupan pepohonan.
Inilah secuil bagian dari rahasia pengajaran kuno Sangihe yang terterah dalam sastra dan mitologi. Setiap frasanya tak sekadar menyajikan kabut imajinasi, namun mengungkap rahasia sejarah dari ibu kehidupan dan dunia pemikiran mereka, jauh sebelum Darwin mengemukakan teori evolusi.
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post