Melihat maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia, sudah sepatutnya Valentine hari ini dirayakan dalam suasana duka mendalam.
Hari Valentine, 14 Februari, jatuh pada hari Kamis tahun ini. Bagi banyak orang, ini adalah waktu untuk merayakan cinta. Namun, bagi banyak orang lainnya, “cinta” datang dengan pelecehan dan kekerasan. World Council of Churches (WCC) atau dewan gereja-gereja sedunia menulis kalimat ini dalam situsnya, dalam upaya menguatkan kampanye Thursdays in Black.
Tagar Thursdays in Black hari ini, Kamis 14 Februari 2019, tepat saat umat manusia merayakan hari Valentine, bertebaran di media sosial. Aksi nyata kampanye tersebut di lapangan telah dilakukan kelompok aktivis perempuan gerejawi di Liberia. Di wilayah Margibi mereka berbaris, seia-sekata, menentang gelombang kekerasan terhadap perempuan dan anak yang makin marak akhir-akhir ini di negara tersebut.
Tiga Kupu-kupu Pemicu Kampanye Anti Kekerasan pada Perempuan
“Ini adalah masalah global kuno, jadi kita harus menanganinya sebagai masalah sosial,” ujar pemimpin Perempuan Methodist Liberia Muriel V Nelson, sebagaimana laporan E Julu Swen dari United Methodist News Service.
Semua perempuan yang menghadiri temu tahunan United Methodist Women di Liberia Januari lalu, mengenakan pakaian hitam, menjadi simbolisasi dukungan terhadap kampanye Thursdays in Black. Sikap itu pula merupakan bentuk advokasi bahkan perlawanan terhadap kekerasan gender dan pemerkosaan.
Nelson yakin perlawanan yang mereka gelar semangatnya bisa memengaruhi semua perempuan di dunia. Kaum perempuan Methodist mendorong visi mengubah iman, harapan dan cinta menjadi tindakan bagi wanita, anak-anak dan remaja.
“Kami akan membantu para korban kekerasan dengan menyediakan rumah yang aman, konseling psikososial, layanan hukum, layanan medis, keterampilan mata pencaharian, beasiswa untuk mengejar pendidikan, advokasi dan kesadaran yang akan berupaya untuk mengakhiri kejahatan ini terhadap perempuan dan anak perempuan,” katanya.
Agenda Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Sulut
Pastor Rose R Farhat, rohaniawan pendukung gerakan ini di Liberia mengatakan advokasi itu adalah untuk semua wanita.
“Kami adalah suara bagi mereka yang tidak bersuara dan dalam advokasi kami, kami akan menyertakan semua wanita ketika kami berusaha untuk membuat murid bagi Yesus Kristus dan menawarkan kehidupan dalam segala kelimpahannya kepada orang-orang Liberia,” kata dia.
“Melalui kemitraan ini, dukungan kami terutama untuk beasiswa dan kegiatan pelatihan yang akan memberdayakan wanita di gereja dan negara.”
Dia mendorong perempuan Methodis di Liberia untuk tidak melindungi anggota keluarga yang menganiaya anak perempuan mereka melalui pemerkosaan atau bentuk pelecehan lainnya.
“Berhenti menyembunyikan kesalahan yang dilakukan pada gadis-gadis muda kami atas nama melindungi pernikahanmu,” dia memperingatkan.
Sejak Januari
WCC telah mengumandangkan perang melawan kekerasan terhadap perempuan dan anak sejak Januari awal tahun ini. Kampanye Thursday in Black puncaknya jatuh pada perayaan Valentine 2019. Di laman situs resminya, WCC menyatakan kekerasan berbasis gender di setiap negara sering disembunyikan dan para korban sering diam, takut stigma dan kekerasan lebih lanjut.
“Kita semua memiliki tanggung jawab untuk berbicara menentang kekerasan, untuk memastikan bahwa perempuan dan laki-laki, anak lelaki dan perempuan, aman dari pemerkosaan dan kekerasan di rumah, sekolah, pekerjaan, jalan-jalan —di semua tempat di masyarakat kita,” kata WCC.
Ajakan mengenakan pakaian hitam adalah sebuah ironi saat perayaan hari kasih sayang yang harusnya identik dengan warna pink. Menurut WCC, mengenakan pakaian hitam menjadi bagian dari gerakan global yang menentang sikap dan praktik yang memungkinkan terjadinya pemerkosaan dan kekerasan.
Pentingnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Segera Dibahas
Pakaian hitam juga merujuk pada rasa hormat kita buat para wanita yang ulet dalam menghadapi ketidakadilan dan kekerasan. Hitam yang sering dikonotasikan rasial negatif berubah menjadi warna perlawanan dan ketahanan.
WCC menulis, kampanye ini terinspirasi oleh para Ibu di Buenos Aires, Argentina, yang melakukan protes di Plaza de Mayo, menentang hilangnya anak-anak mereka selama kediktatoran. Juga ini adalah dukungan terhadap perempuan-perempuan di Israel dan Palestina, yang hingga kini memprotes perang dan kekerasan.
Selain itu mendukung perempuan di Rwanda dan Bosnia yang memprotes penggunaan pemerkosaan sebagai senjata perang selama genosida, serta Gerakan Black Sash di Afrika Selatan yang memprotes apartheid dan penggunaan kekerasan terhadap kulit hitam.
Di bagian lainnya, WCC menyinggung tentang “kesalah-pahaman” dalam menafsir bagian Kita Suci menyangkut kasih. Kitab 1 Korintus 13: 4-8 menulis tentang penerapan kasih yang tidak berbatas;
Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.
“Di satu sisi, tulisan suci ini mengungkapkan keindahan dan kemampuan yang tak terbatas untuk memberdayakan kasih,” kata Nicole Ashwood, eksekutif program WCC untuk Komunitas Perempuan dan Laki-Laki yang Setara.
“Tetapi beberapa wanita membaca garis-garis seperti cinta ‘menanggung semua hal ’untuk berarti bahwa dalam perkawinan atau hubungan mereka harus menghadapi kekerasan. Jadi kami ingin membongkar tulisan suci ini, dan membicarakannya dalam konteks cinta Tuhan untuk semua orang,” kata Nicole. (*)
Penulis: Ady Putong
Discussion about this post