Megawati Soekarnoputri agak terbata ketika berbicara di atas mimbar gereja GMIM Sion Tomohon pada 8 Agustus 2016. Dia baru saja diberitahu bahwa sang ayah, Soekarno, juga pernah berpidato di atas mimbar yang sama 59 tahun silam.
Arsitektur gereja Sion tidak pernah berubah, demikian juga dengan mimbarnya yang berdiri kokoh. Megawati yang diundang menghadiri gelaran festival bunga Tomohon mengenang banyak hal menyangkut ayahnya di atas mimbar tersebut.
Hari itu, 30 September 1957, sang Bung Besar memang pernah datang ke tanah Minahasa. Dia berkunjung untuk menghadiri perayaan ulang tahun Sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) ke-23. Situs chaonechoan.com menulis Presiden pertama Republik Indonesia itu datang bersama Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani serta Duta Besar Amerika untuk Indonesia John M. Allison.
Misi nasionalisme diemban Soekarno saat itu, demi merebut kembali hati bangsa Minahasa yang tengah dalam pergolakan. Pada Maret 1957 atau 6 bulan sebelum perayaan HUT sinode, Letkol Ventje Sumual telah memproklamirkan berdirinya Permesta (perjuangan semesta). Selaras dengan itu keluarnya piagam di wilayah Teritorial VII/Wirabuana yang ditanda-tangani 51 tokoh Indonesia Timur.
Jelas tersirat keraguan para pelaku Permesta pada kepemimpinan Soekarno dalam poin 2 bidang pemerintahan piagam Permesta, yang meminta wilayah Indonesia bagian Timur harus segera diberikan otonomi seluas-luasnya. Otonomi dimaksud menata pembagian pendapatan daerah dengan klausul daerah surplus mendapat 70 persen pendapatan, sisanya 30 persen dikirim ke pusat. Sedangkan daerah minus, 100 persen pendapatan ditambah subsidi pemerintah pusat untuk pembangunan vital selama 25 tahun.
(baca juga: Sisi Lain Permesta, Perang Yang Dipicu Oleh Kopra)
Di sisi lain, Sinode GMIM sebagai denominasi gereja terbesar perlu mempertegas posisinya sebagai pembawa misi kedamaian di Tanah Minahasa. Ketua sinode Ds A.Z.R Wenas adalah pihak pertama yang paling menentang pertumpahan darah. Dalam perjalan sebagai pelayan Tuhan, Domeni Wenas sering disuguhkan dengan fakta peperangan jemaatnya melawan penjajah. Namun Permesta akan membuat orang Minahasa baku bunuh dengan saudaranya sendiri.
Maka misi antara Soekarno dan Wenas akan terakomodir dalam perayaan kelahiran gereja. Tidak ada penolakan rakyat atau jemaat karena Bung Besar datang dalam labelisasi pesta iman. chaonechoan.com menyatakan yang menyambut rombongan pusat adalah Gubernur Sulawesi Utara yang diangkat Permesta, H.D Manoppo, serta ketua panitia penyambutan Mayor Wim Tenges, yang juga kepala urusan logistik pemerintah militer KDM-SUT. Soekarno ikut dikawal para Pemuda GMIM.
(baca juga: Mau Tahu Susunan Lengkap Organisasi Pasukan Permesta, Ini Dia…)
Rakyat Sulawesi Utara kemudian menyuguhi Soekarno dengan pesan-pesan Alkitabiah. Saat menjejak Universitas Permesta, Sario, untuk memberi kuliah umum, para mahasiswa membentangkan spanduk dengan tulisan dari Amsal 1:7 “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan”. Di spanduk lainnya, mahasiswa bahkan berani menyentil paham komunisme yang tengah berkembang deras di masa itu.
Setelah mengunjungi Sekolah Tinggi Katolik Seminari di Pineleng dan mengelilingi Tondano dengan jeep, Soekarno didampingi AZR Wenas berpidato di atas mimbar GMIM Sion Tomohon. Dengan fasih dia mengutip injil Yohanes 1:1, “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itulah adalah Allah.”
chaonechoan.com juga menulis tentang filosofi tudingan yang diamanatkan Soekarno di hadapan jemaat GMIM yang hadir dalam ibadah puncak ulang tahun Sinode. “Saat jari telunjuk menuding orang, kita tidak sadar ada 3 jari lain yang menuding diri kita sendiri,” katanya.
Di sisi berbeda, kedatangan Soekarno di tengah pergolakan malah menimbulkan opini lain bagi para pelaku Permesta, bahwa pemerintah pusat memang mendukung gerakan ini. Perang saudara yang berkobar telah menelan ribuan korban jiwa. Satu tahun setelah pidatonya di gereja Sion, tepatnya 12 Maret 1958, Sinode GMIM mengeluarkan seruan damai yang ditandatangani Domeni Wenas.
Menurut Sinode, tindakan-tindakan kekerasan pada hakekatnya bukan satu-satunya jalan menuju keselamatan negara dan bangsa kita, karena yakin bahwa ini bukan kehendak Tuhan Allah dalam Tuhan kita Yesus Kristus.
(baca juga: Kisah Pendeta GMIM Esentrik dan Revolusioner di Masa Pergolakan)
Sinode menyerukan, “Tinggalkanlah dan hentikanlah jalan kekerasan, melalui pemboman, perang saudara antara kita dengan kita. Hentikanlah pemuntahan peluru dan granat pada Kota Manado atau kota-kota lain yang telah mengakibatkan tewasnya orang-orang yang tiada bersalah.
Ganti penyelesaian persengketaan ini dengan kapal perang dan pesawat pembom, dengan mengangkat pedang dan serangan-serangan yang seru dan hebat kami desak pada pemerintah akan mencari jalan lain guna penjelesaian untuk keutuhan negara dan bangsa kita.
Sekali lagi kami tegaskan bahwa adalah bertentangan dengan kehendak Tuhan Allah, daerah kita Minahasa dan daerah-daerah lain yang sebahagian besar penduduknya adalah beragama Kristen akan mengisap darah dari anak-anaknya sendiri dan darah suku-suku yang lain di Indonesia disebabkan oleh perang saudara.”
Permesta memang berhasil dipadamkan, dan semangat otonomisasi yang menjadi tujuannya disetujui pemerintah pusat justru setelah Bung Besar tidak lagi menjadi pemimpin negara. (*)
Penulis: Ady Putong
Discussion about this post