Di masa lalu, daratan Kota Palu sesungguhnya adalah bentangan lautan. Sebagai misteri, daratan itu kemudian diyakini masyarakat terbentuk akibat gempa dan pergeseran lempeng (palu koro) sehingga daerah yang tadinya lautan terangkat dan membentuk daratan lembah.
Ini sebabnya warga menyebut Kota Palu sebagai Topalu’e yang artinya Tanah yang terangkat. Istilah lain juga menyebutkan bahwa kata asal usul nama Kota Palu berasal dari bahasa Kaili Volo yang berarti bambu yang tumbuh dari daerah Tawaeli sampai di daerah sigi.
Bambu sangat erat kaitannya dengan masyarakat suku Kaili, ini dikarenakan ketergantungan masyarakat Kaili dalam penggunaan bambu sebagai kebutuhan sehari-hari mereka. baik itu dijadikan Bahan makanan (Rebung), Bahan bangunan (Dinding, tikar, dll), Perlengkapan sehari hari, permainan (Tilako), serta alat musik (Lalove)
Awal mulanya, Kota Palu merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Palu. Pada masa penjajahan Belanda, Kerajaan Palu menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Onder Afdeling Palu yang terdiri dari tiga wilayah yaitu Landschap Palu yang mencakup distrik Palu Timur, Palu Tengah, dan Palu Barat; Landschap Kulawi; dan Landschap Sigi Dolo.
Pada tahun 1942, terjadi pengambilalihan kekuasaan dari Pemerintahan Belanda kepada pihak Jepang. Pada masa Perang Dunia II ini, kota Donggala yang kala itu merupakan ibukota Afdeling Donggala dihancurkan oleh pasukan Sekutu maupun Jepang.
Hal ini mengakibatkan pusat pemerintahan dipindahkan ke kota Palu pada tahun 1950. Saat itu, kota Palu berkedudukan sebagai Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) setingkat wedana dan menjadi wilayah daerah Sulawesi Tengah yang berpusat di Kabupaten Poso sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950.
Kota Palu kemudian mulai berkembang setelah dibentuknya Residen Koordinator Sulawesi Tengah Tahun 1957 yang menempatkan Kota Palu sebagai Ibukota Keresidenan.
Terbentuknya Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964, status Kota Palu sebagai ibukota ditingkatkan menjadi Ibukota Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah.
Kemudian pada tahun 1978, Kota Palu ditetapkan sebagai kota administratif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1978. Kini, berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1994 Kota Palu ditingkatkan statusnya menjadi Kotamadya Palu.
Masyarakat Kota Palu sangat heterogen. Penduduk yang menetap di kota ini berasal dari berbagai suku bangsa seperti Bugis, Toraja dan Mandar juga ada yang berasal dari Sulawesi Barat, Gorontalo, Manado, Jawa, Arab Tionghoa dan Kaili yang merupakan suku asli dan terbesar di Sulawesi Tengah.
Kota Palu sering diasosiasikan dengan kekerasan dan konflik. Padahal, masyarakat tidak terpengaruh oleh konflik atau bentrokan antarwarga. Bentrokan antarwarga di Kelurahan Nunu dan Kelurahan Tavanjuka yang sempat diberitakan di media massa tidak mempengaruhi aktivitas masyarakat. Warga tetap beraktivitas seperti biasa
Sebagaimana sebutan Topalu’e yang artinya Tanah yang terangkat, Kota Palu merupakan daerah rawan gempa.
Pada 24 Januari 2005 daerah ini tercatat diguncang gempa 6,2 Skala Richter. Pusat gempa terjadi di Desa Bora Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi, 16 km arah tenggara Palu,di kedalaman 30 km.
Akibat gampa ini membuat warga panik dan langsung mengungsi karena takut kemungkinan adanya Tsunami. Sebagian dari mereka melarikan diri ke perbukitan dan pegunungan. Akibatnya, satu orang meninggal, empat orang cedera dan 177 bangunan rusak.
(Baca juga: Golden Time dan Pentingnya Edukasi Tentang Tsunami)
Pada 28 September 2018 gempa berkekuatan 7,4 Skala Richter mengguncang daerah Donggala, Palu dan sekitarnya. Selain, menelan ribuan korban jiwa, gempa dan tsunami di Donggala juga menyebabkan bangunan-bangunan rusak. Salah satunya Jembatan Kuning yang menjadi ikon kota Palu.
Terkait bangunan yang rusak data sementara menyebutkan: Pusat perbelanjaan atau mal terbesar di kota Palu, Mal Tatura Jala Emy Saelan ambruk, Hotel Roa-Roa berlantai 8 di Jalan Pattimura rata dengan tanah.
Di hotel terdapat 76 kamar dari 80 kamar yang terisi oleh tamu, Arena Festival Pesona Palu Nomoni yang terdapat puluhan hingga ratusan orang pengisi acara. Rumah Sakit Anutapura yang berlantai empat di Jalan Kangkung, Palu roboh, Jembatan Kuning Ponulele roboh diterjang tsunami, Jalur trans Polo-Poso-Makassar tertutup longsor. (*)
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post