Manado, Barta1.com – Solidaritas Nelayan Sulawesi Utara melakukan rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi II DPRD Provinsi Sulut, Senin (17/02/2025).
Pada RDP itu berbagai aspirasi tersampaikan. Salah satunya datang dari Toko Pemuda sekaligus aktivis nelayan, Mario Mamuntu. ” Kami ingin menyampaikan beberapa poin utama, adalah terkait wilayah penangkapan ikan, Dibatasi dengan zona penangkapan, alat monitoring, penggunaan special monitoring system (PMS) yang diwajibkan bagi seluruh kapal nelayan, sertifikasi nelayan.”
“Kemudian kewajiban memiliki SKN dan BST bagi nelayan, harga acuan ikan (HAI), digunakan sebagai dasar pembayaran PNBP, surat Izin penggunaan rumpun (ACR), kebijakan terkait izin penggunaan rumpun,” ungkap Mario.
Lanjut aktivis HAM ini, terkait kapal cadangan. KKP perlu menyediakan kapal cadangan untuk menghadapi musibah di tengah laut.
Tuntutan tersebut kemudian dijabarkan oleh Ketua Gerakan Nelayan Perkasa Indonesia (GNPI), Julius Rolly Hengkengbala.
“Kami ingin menyoroti beberapa permasalahan yang dihadapi nelayan, khususnya terkait kebijakan pemerintah dalam sektor perikanan tangkap. Saat ini, kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkesan lebih membatasi daripada membantu nelayan. Salah satunya adalah penerapan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 11 Tahun 2023,” ujar Julius.
Pada dasarnya, kata dia, kebijakan ini tampak baik karena seolah-olah melindungi nelayan. Namun, faktanya, laut Indonesia kini seakan “dipagar” oleh aturan yang membatasi akses nelayan dalam menangkap ikan. Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) telah membatasi nelayan untuk mencari ikan secara bebas, dan ini semakin dipersempit dengan regulasi zona penangkapan ikan.
“Kami bukan menolak aturan, tetapi mengapa setiap kebijakan yang dibuat justru semakin mempersulit pelaku usaha dan nelayan? Contoh konkretnya, jika seorang nelayan dari Bitung ingin menangkap ikan di daerah asalnya di Siau, ia harus memilih antara izin zona dua atau zona tiga. Jika memilih Surna tiga, ia tidak dapat menangkap ikan di kampung halamannya karena Siau termasuk dalam zona dua. Ini adalah bentuk pembatasan yang tidak masuk akal,” ucapnya.
Berikutnya pajak dan PNBP yang Tidak Adil. Menurut PP No. 85, PNBP diterapkan dengan sistem pembayaran: 10% untuk kapal di atas 60 GT, sedangkan 5% untuk kapal di bawah 5 GT. “Masalahnya, harga acuan ikan ditetapkan sepihak oleh KKP tanpa mempertimbangkan jenis dan ukuran ikan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, harga acuan ikan cakalang ditetapkan Rp10.000/kg, tetapi di lapangan, harga sebenarnya berkisar antara Rp8.000 hingga Rp16.000 tergantung ukurannya. Ini jelas merugikan nelayan.”
” Lebih parahnya lagi, dalam penerapan pembayaran PNBP, setelah nelayan melapor dan membayar sesuai ketentuan, tiba-tiba muncul LPM tambahan dengan angka yang tidak jelas dasar perhitungannya. Ada yang dari Rp5 juta hingga Rp300 juta. Ironisnya, pembayaran pajak ini masih bisa dinegosiasi, yang menimbulkan tanda tanya besar mengenai transparansi dan keadilannya,” tuturnya.
Bahkan ia menambahkan, Permen No. 17 dan Kebijakan yang tidak Pro-Nelayan. Kebijakan lain yang bermasalah adalah Permen No. 17, yang mengatur harga ikan hanya berdasarkan kajian akademisi dan pakar, tanpa melibatkan stakeholder utama, yaitu para nelayan. Padahal, nelayanlah yang sehari-hari berhadapan langsung dengan kondisi di lapangan.
“Fakta bahwa aturan ini tidak mempertimbangkan nelayan menunjukkan bahwa kebijakan yang dibuat tidak berbasis realitas. Peran nelayan sangat vital dalam rantai pangan, namun justru mereka yang paling banyak mendapat hambatan regulasi,” ucapnya.
Adapun ancaman terhadap nelayan dan bagaimana masa depan perikanan. “Selain permasalahan harga dan pajak, aturan baru yang mewajibkan ABK memiliki SKN atau BST menjadi ancaman besar bagi nelayan tradisional. Banyak nelayan yang tidak mengenyam pendidikan formal, tetapi dipaksa untuk memenuhi persyaratan administratif yang sulit. Jika aturan ini diterapkan secara kaku, maka banyak nelayan yang akan kehilangan mata pencaharian,” imbuhnya.
“Kami berharap, para anggota dewan yang terhormat dapat memperjuangkan aspirasi kami agar kebijakan yang dibuat tidak semakin memberatkan nelayan. Jangan sampai kebijakan hanya menjadi wacana tanpa ada tindak lanjut yang nyata. Dunia perikanan tangkap saat ini tidak baik-baik saja. Jika tidak segera ada perbaikan, nelayan akan semakin terpinggirkan di negeri sendiri,” cetusnya.
Setelah penyampaian dari pihak nelayan, kemudian diberikan kesempatan kepada pihak Kepala Pelabuhan Perikanan Samudra Bitung, Adi Chandra sekaligus dari Kepala PSDKP Bitung, Kurniawan.
Apa yang menjadi sanggahan keduanya, berbeda yang terjadi di lapangan. Bahkan ada pengusaha kapal sampai yang membayar denda 50 juta, akibat aturan yang diberlakukan.
Melihat hal itu, Ketua Komisi II DPRD Provinsi Sulut, Inggried Sondakh, ke depannya akan melakukan turun lapangan mengecek kebenaran aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat.
Kedua, akan bertemu dengan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih, sekaligus meminta kepada Gubernur adanya pihak nelayan akan bertemu untuk menyampaikan aspirasinya.
“Ketiga kami meminta poin penting dari aspirasi yang telah disampaikan oleh Bapak Ibu Solidaritas nelayan, agar bisa diperjuangkan,” tegasnya.
Pada pertemuan itu, hadir pula para keterwakilan Solidaritas Nelayan Sulut, seperti Ibu Fitri Takaliuang selalu pelaku Usaha perikanan, Yuyun Mahmud sebagai bendahara umum Aliansi Nelayan dan pengusaha Pajeko, Isal Mamuntu Ketua Aliansi Nelayan Sulut, Stenly Sendouw Ketua Adat Brigade Nusa Utara berserta jajaran dan nelayan yang menjadi korban dari aturan yang diberlakukan.
Begitupun pihak Pelabuhan Perikanan Samudra Bitung, selain kepalanya, hadir pula jajaran lainnya yakni Erik Lasmana, Syahbandar Bitung Pelabuhan Bitung dan Resa, sebagai ketua tim kerja operasional pelabuhan Bitung. Sedangkan Pangkalan PSDKP Bitung, selain kepalanya hadir juga Teddy dan Junaidy, selaku Tim Pengawasan perikanan.
Untuk anggota Komisi II DPRD Provinsi Sulut yang hadir hanya Priscilia Rondo, Inggrid Sondakh, Michaela Elsiana Paruntu, Jeane Laluyan, Dea Lumenta, Ruslan Gani, Normans Luntungan, Angelia Wenas dan Harry Porung.
Terpantau Barta1.com, berkaitan dengan RDP penting yang dihadapi oleh Komisi II DPRD Provinsi Sulut, pertama pada hari senin, 3 Februari 2025 bersama Dinas Perkebunan dan BKAD Provinsi Sulut, kemudian Senin, 17 Februari 2025 bersama Solidaritas Nelayan Sulut. Pada dua kali RDP itu, Eldo Wongkar, anggota legislatif suara terbanyak dari Dapil Minsel – Mitra itu tak kunjung terlihat.
Peliput: Meikel Pontolondo
Discussion about this post