Talaud, Barta1.com – Tim hukum dan advokasi Pasangan Calon (Paslon) Bupati dan Wakil Bupati Kepulauan Talaud nomor urut 3, yakni Welly Titah (WT) dan Anisa Gretsya Bambungan (AGB) melayangkan somasi terbuka kepada Polres Kepulauan Talaud, Minggu (22/12/20240).
Pasca masuknya nama calon Wakil Bupati terpilih pada Pilkada 2024 ,Anisa Gretsya Bambungan dalam daftar pencarian saksi (DPS) yang keluarkan oleh Polres Kepulauan Talaud, tim hukum dan advokasi Paslon nomor urut 3 angkat suara dan langsung melayangkan somasi terbuka.
Kepada media ini, Vanderik Wailan, S.H, salah satu anggota tim hukum dan advokasi Paslon nomor urut 3 mengatakan, pencantuman nama dan identitas diri pribadi Anisa Gretsya Bambungan dalam surat penetapan DPS nomor : DPS/02/XIII/2024/Reskrim yang dikeluarkan oleh Reskrim Polres Kepulauan Talaud merupakan sebuah bentuk perampasan kemerdekaan dan hak seseorang.
Kata Wailan, semestinya penyidik jangan terburu – buru menetapkan saksi dalam DPS, karena status DPS merupakan bentuk upaya paksa yang merampas hak dan kemerdekaan seseorang. Apalagi perkara yang melibatkan saksi masih dalam tahapan penyidikan yang belum menemukan tersangkanya.
“Belum ada tersangka tetapi seorang saksi sudah diperlakukan layaknya buronan/penjahat yang seluruh identitas diri dan data pribadinya telah dibuka dan dipertontonkan di depan publik secara terbuka. Ini merupakan pelanggaran undang – undang perlindungan data pribadi serta jelas dan nyata menurut UU LPSK, saksi itu berhak dilindungi dan dijaga identitas kerahasiaannya,” jelas Wailan.
Bahkan, sebagai bentuk keseriusan terhadap persoalan ini, Wailan menerangkan, dirinya bersama tim hukum & advokasi Paslon WT-AGB dalam waktu dekat ini akan melayangkan aduan masyarakat secara resmi di Yanduan Propam Polda Sulut dan Dumas presisi di Mabes Polri terkait dugaan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran undang – undang perlindungan data pribadi dan undang – undang LPSK terhadap saksi AGB yang dimuat dalam akun Facebook Polres Kepulauan Talaud oleh unit IV Satreskrim Polres Kepulauan Talaud.
Lebih jauh soal penetapan DPS, Wailan menjelaskan, hal tersebut berbeda dengan saksi yang tidak mau menghadiri panggilan hakim dalam tahapan persidangan yang sudah jelas ada Korban, ada terdakwanya, saksi yang demikian bisa dihukum. Berbeda dengan kasus DPS AGB, tersangkanya dan terdakwanya belum Jelas, saksinya sudah diperlakukan seperti buronan pelaku kejahatan terorisme dan pembunuhan.
“Dalam kasus penetapan DPS nomor : DPS/02/XIII/2024/Reskrim yang dikeluarkan oleh reskrim polres kepulauan talaud atas nama Kasat Reskrim/Kanit IV bagi saudari saksi Anisya Gretsya Bambungan yang jelas dan nyata berstatus sebagai saksi bukan tersangka merupakan dugaan tindakan penyalahgunaan kewenangan dan/atau perbuatan melawan hukum serta bentuk pelanggaran HAM dan prinsip hukum acara pidana yaitu asas hukum praduga tidak bersalah,” tambahnya.
Karena menurutnya, tidak ada regulasi yang mengatur atau dasar hukumnya yang diatur dalam peraturan perundang – undangan. Bukankah Negara Indonesia adalah negara hukum, sehingga setiap tindakan hukum yang dilakukan harus berdasarkan dengan eraturan perundang – undangan yang berlaku.
Tak hanya itu, ia menuturkan, dalam kasus penetapan DPS pada saudari saksi Anisya Gresya Bambungan (AGB) terkesan dipaksakan dan menempatkan saksi seolah – olah sebagai tersangka.
“Karena jika kita melihat isi daftar pencarian saksi yang dipublikasikan melalui akun facebook polres kepulauan talaud di angka/poin 13 dengan terang – terangan mempublikasikan identitas saksi secara terbuka dan tidak dirahasikan apalagi tidak menggunakan kata diduga langsung menggunakan kata “Melanggar Pasal 189 Jo Pasal 70 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang. Seharusnya menggunakan kata diduga, tersangka saja dalam pengertian menurut KUHAP menggunakan Kata patut diduga sebagai pelaku tindak pidana,” tukasnya.
Terkait hal ini, ia sangat menyayangkan pencantuman identitas pribadi Anisa Gretsya Bambungan dalam surat DPS tersebut, karena menurutnya berdasarkan undang – undang, data dan identitas pribadi saksi seharusnya disembunyikan, dan saksi juga harusnya mendapatkan perlakuan khusus.
“Tindakan menempatkan saksi sama dengan tersangka adalah bentuk pelanggaran HAM dan bertentangan dengan undang – undang lembaga perlindungan saksi dan korban. Dimana bentuk – bentuk perlindungan hukum terhadap saksi dan korban yang dirumuskan dalam bentuk pemberian hak – hak kepada saksi dan korban sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU perlindungan saksi dan korban harus dirahasiakan identitasnya,” ujarnya lagi.
Lanjutnya, dalam kaitannya dengan penetapan DPS tidak ada satupun peraturan perundang – undangan yang mengatur atau regulasi baik dalam KUHP, KUHAP, PERBAWASLU, PKPU dan UU Pemilukada, dimana jika saksi dipanggil secara sah dan patut tidak datang atau mangkir dari panggilan Polisi/Penyidik untuk dimuat dalam DPS.
“Jelas dalam rumusan KUHAP Jika saksi yang dipanggil tidak datang dapat dibuat surat perintah untuk membawa di depan penyidik, bukan dijemput paksa, apalagi ditetapkan dalam DPS yang dipublikasikan, karena jika seorang saksi yang dijemput paksa oleh penyidik minimal berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk membuktikan bahwa benar orang tersebut merupakan pelaku tindak pidana,” tutur Wailan.
Peliput : Evan Taarae
Discussion about this post