Sangihe, Barta1.com – Sangihe Ikekendage sarang papateku (Sangihe tercinta sampai aku mati) bukan hanya lirik harafiah tanpa makna bagi orang Sangihe, tetapi sangat mendalam dimaknai sebagai sebuah komitmen yang ditandai oleh tindakan nyata menjaga eksistensi Sangihe sebagai Sakramentum Allah.
Sebanyak 42.000 hektar, atau 57% dari luas daratan Sangihe, diberikan izin oleh Kementerian ESDM untuk dijadikan konsesi tambang oleh TMS hingga tahun 2054. Masyarakat Sangihe, yang berjumlah 58.000 jiwa di 80 kampung dan 7 kecamatan, bergerak bersama SSI dalam menolak ancaman tersebut.
Langkah awal perlawanan dilakukan melalui petisi online di change.org yang ditandatangani oleh 160.000 orang dan ditujukan kepada Presiden Joko Widodo. SSI juga mengambil jalur hukum dengan mengajukan gugatan terhadap IUP TMS di PTUN Jakarta dan Ijin Lingkungan di PTUN Manado. Meskipun Mahkamah Agung (MA) membatalkan IUP TMS, kekhawatiran muncul saat Baru Gold Corporation, induk perusahaan TMS di Kanada, mengumumkan pengalihan operasi kepada CV. Mahamu Hebat Sejahtera (MHS).
Dugaan kuat muncul bahwa MHS adalah perpanjangan tangan dari HARITA Grup yang sebelumnya mengakuisisi saham TMS. Operasi pertambangan ilegal MHS di area Entanah Mahamu, kampung Bowone, semakin menegaskan ketidakpastian akan keberlanjutan Sangihe.
Pada 20 September 2023, TMS melalui Baru Gold Corp kembali mengumumkan kontrak dengan PT. Putra Rimpulaeng Persada (PRP) untuk operasi pertambangan di Sangihe. PRP akan beroperasi di wilayah seluas 7 ha yang masih termasuk dalam Kontrak Karya TMS. Lokasi aktivitas ilegal mining PRP juga berada di Entanah Mahamu, Bowone.
Menyikapi hal ini koalisi Save Sangihe Island (SSI) dan tetua adat di Kabupaten Kepulauan Sangihe akan menggelar ungkapan syukur, ungkapan hati, dan rintihan jiwa bersama, masyarakat Sangihe berkumpul dalam acara adat “Dalumatehu Sembanua” untuk menggumuli dampak jeratan pertambangan terhadap lingkungan hidup mereka. Acara yang akan dihelat di kota Tahuna ini, Sabtu 16 Desember 2023 akan menyoroti kepedihan dan keprihatinan warga atas ancaman hilangnya keindahan alam dan sumber daya alam akibat eksploitasi yang berlebihan.
Pertambangan yang marak belakangan ini telah menorehkan luka di kawasan yang sebelumnya dikenal sebagai surga alam. Warga Sangihe yang menggumuli jeratan pertambangan ini akan datang dari berbagai lapisan masyarakat.
Jull Takaliuang, Ketua Panitia Kegiatan, mengungkapkan keprihatinan terhadap operasi pertambangan ilegal yang melibatkan TMS, MHS, dan PRP. Kegiatan ini tidak hanya melanggar hukum tetapi juga mencemari lingkungan pesisir, mengancam mangrove dan sumber daya laut.
“Sayangnya, upaya penindakan dari aparat kepolisian terhadap pertambangan ilegal ini terlihat minim. Entanah Mahamu, yang mengalami kerusakan parah akibat aktivitas ilegal mining, malah diumumkan siap memasuki tahap operasi produksi oleh TMS, padahal izin operasionalnya sudah dicabut,” ungkap Jull pada Jumat (15/12/2023).
Kerusakan akibat aktivitas ilegal mining di Entanah Mahamu menciptakan dampak serius, termasuk sedimentasi lumpur yang semakin parah, dugaan keracunan masyarakat di Bowone karena konsumsi kerang, dan penurunan kepercayaan masyarakat terhadap ikan dari Teluk Binebas.
Koordinator SSI, Jan Rafles Takasihaeng, mengingatkan bahwa Sangihe Ikekendage, yang seharusnya menjadi ruang hidup nyaman, kini menghadapi ancaman serius. Semua pihak yang mencintai Sangihe dihimbau untuk bersatu dalam upaya menjaga kelestarian dan kesejahteraan pulau ini.
“SSI bekerja sama dengan Tetua Adat Sangihe mengadakan Ritual Adat dalam acara ‘DALUMATEHU SӖMBANUA’ (Rintihan Jiwa Bersama). Acara ini bertujuan untuk membangun kesepahaman, komitmen, dan konsistensi antar generasi dalam melestarikan budaya dan adat-istiadat Sangihe,” ungkap Takasihaeng.
Ritual adat tersebut diharapkan dapat memperkokoh eksistensi budaya, dan membangun konsistensi generasi muda dan tetua adat Sangihe dalam menyelamatkan pulau Sangihe dari ancaman kehancuran.
Peliput: Rendy Saselah
Discussion about this post