Catatan: Iverdixon Tinungki
Hari ini Sabtu, 10 Juni 2023, ada bedah buku karya Pitres Sombowadile yang berjudul: “Tunas Yang Dibiarkan Terampas” Sejarah Kristen di Siau, 1563-2023. Diselenggarakan di Balai Pelestarian Budaya Manado. Dalam 2 hari setelah diterima, saya baru membaca sedikit halaman dari buku setebal 350 halaman yang diterbitkan pertama kali oleh: Center for Alternative Policy, Manado tahun 2023.
Harusnya saya hadir, karena memang terundang, namun lebih penting dari itu, buku tersebut menghadirkan narasi sejarah yang belum banyak dibicarakan. Maka buku ini dapat dipandang sebagai karya yang langka dan penting untuk anak Siau seperti saya. Tapi saya tak bisa hadir, karena di waktu yang sama, ada tamu gereja yang mesti saya ikut urus.
Meski tak bisa bersama-sama dalam acara penanda kelahiran buku sahabat saya ini, di tengah kesibukan, saya menulis catatan sederhana ini sebagai apresiasi awal dengan membayangkan dua hal: Pertama, simbol ayam besi kuningan ditempa di Jerman, lalu dikirim melintasi ribuan mil laut hingga akhirnya terpasang di menara gereja GMIST Tarorane, Ulu Siau, yang belum lama dibangun menghadap puncak gunung Karangetang. Simbol itu, seakan petanda sebuah missionary propagation.
Dari perspektif semiologi, simbol ayam dalam konteks kekristenan mempunyai makna Euagelion (Injil atau Kabar Baik) dalam tradisi khas gereja Lutherans masa itu. Karena para pendeta zending berasal dari lulusan seminari Gosner di Jerman mengatakan, setiap gereja besar yang dibangun ditempat mereka bertugas, pada menara lonceng dipuncaknya ada simbol ayam. Di Nusa Utara antara lain terpasang di Gereja Manganitu, Gereja Enemawira, Gereja Ulu. Gereja-gereja yang dipasangi simbol ayam ini dalam bahasa lokal disebut “gaheda manu” atau “gereja ayam” sejak tahun 1857, bersamaan kedatangan para zendeling tukang yaitu A. Grohe dan F. Keling di pulau Siau.
Dalam kajian reflektif, simbol ayam berkokok menandakan penyangkalan dalam kisah menjelang penyaliban Yesus yang ditulis Injil. Sementara ayam berkokok pasca-kebangkitan Yesus dimaknai sebagai tanda fajar menyingsing, dan kegelapan berganti terang, di mana pergulatan hidup kembali terbentang.
Saat agama-agama historis atau universal semisal Kristen dan Islam yang berlatar konteks budaya dan sejarah Semitis di Timur Tengah atau Hindu dan Budha dari konteks budaya Indic di India datang ke Nusantara, sebelumnya kepulauan ini telah memiliki agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan lokal di berbagai komunitas etnik. Pada saat kedatangan itulah terjadi perjumpaan agama universal dengan kebudayaan lokal berupa agama dan kebudayaan suku setempat yang disebut transkonseptualisasi.
Saya teringat, Teolog Universitas Kristen Tomohon (UKIT), Sulawesi Utara, Richard A.D. Siwu, ketika memberikan antaran pada buku “Bulan Sabit di Nusa Utara” mengungkapkan, di Nusa Utara proses transkoseptualisasi adalah bagian dari sejarah perjumpaan agama-agama dengan kebudayaan lokal. Sebuah proses alkulturasi (penyesuaian diri) dengan budaya setempat.
Kendati Kristen sebagai agama historis memiliki originalitas konteks dari mana ia lahir dan berasal, namun tetap saja mengalami penyesuaian, Ipso-facto, “perubahan”. Keduanya saling mempengaruhi dan memperkaya. Pada satu pihak, agama dan kebudayaan lokal mengalami “pengayaan” dari luar, tetapi pada lain pihak, agama universal mengalami “pengakaran” pada kebudayaan setempat. Kristen sebagai agama universal, tentu memiliki konteks dan sejarahnya (historical), memiliki penganjur (propagator), memiliki visi ke depan dan berdaya kritis, karenanya disebut pula “profetis”. Sedang dalam locus agama alamiah (natural religion) di Nusa Utara, simbol ayam memiliki makna lain.
Opa Mahonise, adalah sosok penjaga gunung Karangetang dikisaran 1970-an. Kebetulan masih kerabat dekat dengan ayah saya, membuat dia sering mampir ke rumah kami di Kahetang, Tarorane, Ulu Siau. Di masa-masa itu ia menceritakan keberadaan dua ekor ayam di atas puncak gunung Karangetang. “Saat pergi mengontrol puncak gunung, apabila terlihat penampakan ayam berwarna merah, itu petanda puncak gunung lagi panas dan tak boleh dihampiri. Jikalau yang terlihat ayam berwarna putih itu berarti puncak dalam keadaan aman dan bisa didatangi,” ungkapnya. Menurut lelaki yang menghabiskan sepanjang hidupnya sebagai penjaga gunung ini, ayam-ayam itu adalah penjelmaan dewa Aditinggi yang disembah dalam kepercayaan Sundeng. Aditinggi juga disebut Duata atau Ghenggonaļangi (Sang Maha Suci yang bertahta di tempat tertinggi).
Tentang kisah penampakan sosok dua ekor ayam di puncak Karangetang ini menurut keterangan tetua setempat, telah menjadi mitos yang selalu diceritakan dalam tradisi bawowo (tradisi bercerita sebagai pengantar tidur untuk anak-anak). Dalam tradisi sasahara dan sasaili, warna putih adalah simbol dewa Aditinggi, sementara warna merah simbol dewa laut Mawendo atau juga dikenal dengan sebutan Tagaroa (Taghaļoang).
Pada tahun 1857 Pendeta F. Kelling, seorang misionaris Nederlandsche Zending Genoodschaap (NZG) yang datang ke Siau untuk menyebarkan Injil, membaptis gunung Karangetang dengan nama Yohanes dan gunung Tamata dengan nama Yohana. Peristiwa pembaptisan ini tak lain adalah peralihan konsep (trankonseptualisasi) simbol-simbol kepercayaan lama masyarakat setempat ke pemahaman dunia Kristen.
Trankonseptualisasi ini menurut Sovian Lawendatu, adalah upaya para Zending mengarahkan masyarakat Nusa Utara yang beragama Kristen memahami bahwa Duata bukan (lagi) sebagai seorang dewa melainkan sebagai Allah (=Tuhan Allah, Sang Bapa) di dalam Yesus Kristus. Kenyataan ini dengan jelas kelihatan melalui ritus-ritus atau peribadatan Kristen di Nusa Utara (GMIST dan kemudian juga GERMITA). Begitu pula dalam Alkitab ber-Bahasa Sangihe.
Kedua, tentang Minggu menjadi hari yang istiwewa di sana. Keunikannya masih saya saksikan hingga pada akhir 1974 saat keluarga kami pindah dari Ulu Siau ke Manado. Zending Daniel Brilman ketika bersinggah pada tahun 1927 sempat menulis deskripsi yang menakjubkan tentang keistimewaan itu; –Saat lonceng gereja mendenting pertama kali di suatu pagi, hari Minggu, 34.000 penduduk pulau tersebut seakan serentak bergerak menuju rumah-rumah ibadat. Kaum pria mengenakan celana dan baju bersih yang diseterika rapi. Kaum wanita dengan kebaya dihiasi renda lebar yang mahal dan dipakukan dengan peniti emas. Lainnya mengenakan sarong sutera, sanggul ikat dengan sisir besar yang indah dari kulit penyu dan peniti bertatahkan kancing emas. Selop-selop yang bagus dan sebuah payung sutera. Sementara kaum muda mengenakan gaun gaya Eropa.
Pemandangan Minggu itu sudah lazim sejak masa yang lebih jauh, ungkap penulis buku “Onze Zendingsvelden De Zending op de Sangi – en Talaud- eilanden”, yang kemudian diterjemahkan oleh GMIST menjadi “Wilayah-wilayah Zending Kita, Zending di Kepulaun Sangi dan Talaud” ini.
Ada keistimewaan lain lagi di pulau penghasil pala terbaik dunia itu, yaitu gunung Karangetang yang menjulang 1784 meter. Gunung ini pernah meletus pada tahun 1675, mengeluarkan lava pijarnya dengan sangat dahsyat. Karangetang sebelumnya tercatat sudah mengalami erupsi sebanyak 41 kali sejak tahun 1675 hingga masa Brilman. Salah satu ciri khas dari gunung api ini, adalah satu-satunya gunung berapi di dunia yang pernah di baptis.
Raksasa yang sedang berasap adalah metafora Brilman untuk menggambarkan lanskap pulau Siau. Sementara nama Kerajaan Siau sudah disebut dalam suatu publikasi peter Antonio Marta pada tahun 1588 dan Ds. F. Valentijn pada 1700, ungkap Brilman. Data lain yang menyebutkan, pencantuman nama Kerajaan Siau dalam sejumlah sketsa dan peta pelayaran abad 16 oleh sejumlah penulis, di antaranya, catatan harian Antonio Pigaffeta, “Primer Viaje en Torno del Mondo” yang mencatat perjalanan eskader yang dipimpin Laksamana Magelhaes melewati Kepulauan Sangihe dan Talaud pada Oktober dan November 1521. Tome Pires, dalam “The Suma Oriental of Tom Pires and the Book of Fransidco Rodriques” Armendo Cortesao, menyebut pulau Siau dengan nama Chiaoa. Nicolas Desliens pada tahun 1541 menyebut Siau dengan Siao. Huich Allardt menyebut Siaw pada 1652.
Lebih menarik lagi data yang dipapar sejarawan Dr. Ivan RB Kaunang, SS, M.Hum dalam bukunya “Bulan Sabit di Nusa Utara, Perjumpaan Islam & Agama Suku di Kepulauan Sangihe Talaud”, ia menyebutkan, nama Siau sudah dicantumkan dalam buku pentunjuk pelayaran pelaut Cina, sebelum pelaut Spanyol dan Portugis melintasi perairan Nusa Utara (Kepulauan Sangihe Talaud). Mengutip buku petunjuk pelayaran Shun Feng Hsin Sung tahun 1500, dosen Fakultas Ilmu Budaya (dulunya Fakultas Sastra) Universitas Sam Ratulangi Manado ini menyebut, nama Shao (Siau) telah dicatat sebagai bagian dari jalur Utara Cina melewati Zamboanga ke bagian Timur Mindanao, kemudian ke Selatan menuju pengunungan Shao atau Siau.
Seperti juga D. Brilman, Kaunang mengungkapkan, jauh sebelum armada Eropa melintasi Sangihe Talaud, para pelaut dan pedagang Cina, Arab dan India telah menjadikan pulau-pulau Sangihe Talaud ini sebagai tujuan untuk mendapatkan produk-produk andalan seperti kayu hitam, minyak kelapa, kelapa, cengkeh, pala dan fuli serta persediaan makanan. Juga sebagai daerah lintasan dari Mindanao ke Maluku.
Kerajaan Siau didirikan raja pertama, Lokongbanua, pada tahun 1510 dan eksis selama lebih 4 abad hingga masa akhir Presiden Pengganti Raja Siau Ch David, tahun 1956, atau 11 tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jakarta. Awal persentuhan Siau dengan kekristenan catat sejumlah sumber sejarah Gereja di Sulawesi Utara, seiring expedisi Portugal dan Spanyol yang membawa imam-imam Katolik (Misionaris-misionaris Katolik) memasuki perairan Sulawesi Utara dan Maluku Utara sejak tahun 1511 dan 1522. Sebelum disentuh kekristenan, penduduk negeri itu catat Brilman, menganut semacam “kepercayaan mana”, penyembahan orang mati dan kepercayaan pada roh-roh serta dewa-dewa. Kata “mana” adalah suatu kata bahasa Milanesia yang pertama-tama digunakan oleh Zendeling Inggris Codrington untuk menyatakan suatu tenaga sakti penuh rahasia.
Dalam catatan sejarawan Pitres Sombowadile, pada 1516 misi Katolik Portugis pernah singgah dan menyelenggarakan misa paskah di ibukota Kerajaan Siau, Paseng. Disebutkan, Raja Lokongbanua ikut menghadiri misa paskah tersebut. Meski Katolik sudah menggelar acara misa, namun tahun itu tidak serta merta disebut agama Katolik sudah dianut kerajaan ini. Karena dalam catatan Portugis nanti pada tahun 1563 agama itu dianut, yaitu oleh Raja Siau II, Posuma (1549-1587). Agama ini dibawa oleh paderi Diego de Magelhaes dari Kesultanan Ternate.
Misi Katolik itu tulis Sombowadile, dikirimkan Portugis untuk mendahului kedatangan rombongan yang diutus Sultan Khairun dari Kerajaan Ternate untuk membawa siar Islam ke Sulawesi Utara. Rombongan siar itu bahkan langsung dipimpin Pangeran Baabullah.
Sementara sejarawan Sem Narande dalam “Vadu La Paskah” menyebutkan, Raja Posuma tercatat dibaptis menjadi Katolik di sungai besar di Kota Manado bersama 1500 orang rakyat dan Raja Manado. Diego de Magelhaes datang bersama ekspedisi Panglima Portugis Heurique de Sa yang membawa 2 kapal.
Mesionaris D. Brilman membenarkan adanya efektuasi yang luar biasa dalam kehidupan iman jemaat dan masyarakat di lingkungannya sesudah 14 hari Peter Diego De Magelhaes membaptis 1500 orang jemaat yang pertama sekaligus bersama 2 orang Raja yaitu Raja Manado dan Raja Siau.
Dalam berbagai literatur Portugis dan Spanyol, Posuma dikenal dengan nama baptis, Don Jeronimo atau Hieronimus. Dalam masa pemerintahan Raja Posuma, di Siau umat Kristen sudah mencapai 25.000 orang. Meskipun sudah sejak zaman Raja Posuma memeluk agama Katolik, namun nanti pada zaman Raja Winsuļangi kerajaan Siau layak disebut sebagai kerajaan Kristen Katolik, ungkap Sombowadile.
Berbagai catatan paderi menyebutkan bagaimana penyebaran misi Katolik difasilitasi dari Siau ke berbagai tempat di Sulawesi Utara dan Tengah. Kejayaan kerajaan ini dicapai pada masa raja Batahi (1639-1678) dan anaknya, Raja Ramenusa (1680-1715). Tercatat sebelum masa VOC – Belanda, pada tahun 1594 Raja Siau Ketiga, Winsuļangi (1591-1639) atau yang dikenal dengan nama baptis Don Jeronimo Winsuļangi mengikat perjanjian kerjasama keamanan dan perlindungan dengan gubernur Spanyol untuk wilayah Asia (Filipina) di Manila.
Sejak itu kerajaan Kristen Siau dijaga oleh Spanyol. Dua benteng pertahanan di pulau Siau yang dirintis sejak Portugis (Santa Rosa dan Gurita) langsung dihuni bala tentara Spanyol. Juga merupakan tempat mukim para paderi Spanyol, Portugis dan Italia.
Meskipun wilayahnya kecil dan tidak dikenal banyak orang Indonesia, kerajaan Siau pernah memegang peran penting di Sulawesi bagian utara dan Timur Indonesia, tulis Hubert Jacobs, S.J. yang terkenal dengan rangkuman serial sejarah wilayah Indonesia Timur Documenta Malucensia. Ungkapan Hubert Jacobs ini sangat berdasar karena Kompeni Belanda pernah sangat kesulitan mencaplok kerajaan Siau ke dalam lingkup kekuasaannya. Kerajaan Siau merupakan wilayah yang dilindungi Spanyol yang berpusat di Manila, di benteng Intramuros (Filipina).
Pusat kerajaan ini di pulau Siau yaitu pulau di Laut Sulawesi yang terletak pada 02o 45’ 00’’ LU dan 125o 23’ 59’’ BT yang kini merupakan wilayah Kabupaten Kepulauan Sitaro (Siau, Tagulandang dan Biaro). Daerah ini adalah salah satu kabupaten perbatasan Utara Indonesia dengan negara Filipina.
Pulau Siau sendiri hanya berukuran luas tak lebih dari 100 Km2. Namun dalam catatan sejarawan Pitres Sombowadile dalam kiprahnya, wilayah kerajaan Siau pernah mencakup daerah-daerah di bagian selatan Sangihe, pulau Kabaruan (Talaud), pulau Tagulandang, pulau-pulau teluk Manado dan wilayah pesisir jazirah Sulawesi Utara (kini Minahasa Utara), serta ke wilayah kerajaan Bolangitan atau Kaidipang (Bolaang Mongondow Utara) bahkan sampai ke Leok Buol. Perluasan wilayah Kerajaan Siau tersebut terjadi, terutama, di masa pemerintahan Raja Don Geronimo Winsuļangi hingga Raja Don Fransiscus Xavirius Batahi, yang ditopang penuh kekuatan armada angkatan laut yang besar, tulis Max S. Kaghoo dalam bukunya “Jejak Leluhur, Warisan Budaya di Pulau Siau”, yang diterbitkan PT. Kanisius 2016.
Pitres Sombowadile dalam sebuah artikelnya menyebutkan, kerajaan Siau dalam berbagai catatan Belanda dan sejarawan lokal di Manado, H.M. Taulu, disebut-sebut pernah mengusir armada Kerajaan Makassar yang menduduki wilayah Bolaang Mongondow. Tidak terhitung juga menghalau para armada perompak asal Mindanao. H.B. Elias dalam buku “Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia di Siau (1973)” mencatat Hengkengunaung, seorang Laksamana Angkatan Laut Kerajaan Siau, mencapai kejayaan di masa pemerintahan Raja Don Fransiscus Xavirius Batahi, ditandai dengan kemenangannya dalam sejumlah pertempuran laut di kawasan timur Nusantara. Nanti pada tahun 1677 Siau ditundukkan oleh Belanda dengan mempergunakan Sultan Ternate Kaitjil Sibori sebagai pelaksana. Tercatat sejak 9 November 1677 kerajaan ini menjadi bagian dari wilayah yang tunduk pada kehendak VOC-Belanda sebagaimana perjanjian lange contract yang ditandatangani Raja Franciscus Xaverius Batahi. Di antara pasal penting yang ditanda-tangani adalah kerajaan Siau beralih agama ke Kristen Protestan Belanda.
Raja Batahi adalah Raja Siau yang memeluk agama Katolik dan penggantinya Raja Raramenusa adalah Raja Siau pertama yang memeluk agama Kristen Protestan. Semua itu merupakan kondisi yang dilahirkan oleh battle ground perang Batahi. Pada zaman VOC (Kompeni Hindia Belanda) sama sekali tidak diperkenankan penyebaran misi Katolik. Pelarangan penyebaran misi Katolik itu berlangsung dari tahun 1602 sampai tahun 1800. Nanti di zaman GubJen (Gubernur Jendral, Daendels, sesudah VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) dibubarkan pada tahun1800, maka barulah diluaskan agama-agama lain masuk Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tampil semboyan yang terkenal dalam sejarah demokrasi di dunia : “Egalite, Eraternite, Leberte “ dari Revolusi Perancis.
PITRES SOMBOWADILE, Penyair dan Penulis Sejarah Budaya
Terlahir di Manado 28 Mei 1966. Pendidikan terakhir sarjana teknik kelautan ITM Tomohon. Aktif dalam banyak kegiatan kebudayaan sejak 1991. Ikut dalam antologi puisi Sasambo bersama lima penyair lain (Manado, 1994), kemudian terundang bersama Iverdixon Tinungki sebagai salah satu peserta Mimbar Penyair Abad ke-21 di TIM Jakarta (1996). Kegiatannya berupa penerbitan buku antologi, pembacaan puisi dan penulisan esei.
Secara tunggal menerbitkan kumpulan puisi Coelacanth Tak Pernah Mati yang puisinya dibacakan di Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Cirebon (2007). Setahun sesudahnya menerbitkan 3 Menguak Waktu bersama Kamajaya Al Katuuk dan Reiner E. Ointoe (Manado 2008). Tampil membaca dan melantunkan puisi laut Sangihe pada Festival Sastra Lisan bersama dengan Reiner Ointoe di Mataram tahun 2007 dan diganjar sebagai penampil terbaik dengan tim juri, di antaranya, penyair Prof. Sapardi Joko Damono. Di tahun 2016 ikut dalam antologi penyair dan wartawan terbit di Jakarta, 2016.
Terlibat dalam beberapa pementasan Remy Sylado di beberapa kota sejak 1994. Bersama Remy Sylado, Dorothea Rosa Herliany, Kamajaya Al Katuuk dan Reiner E. Ointoe menggagas Poros Budaya Magelang-Manado yang acara awalnya dilaksanakan di Magelang akhir 2007.
Di samping itu, dikenal sebagai aktivis, jurnalis dan penulis sejarah-budaya. Di antaranya membidani Majalah Kristen Narwastu (Jakarta 1993); Majalah Pengembangan SDM Sukma (Jakarta 1994); Tabloid Kabar (Manado, 1999-2003); Media Perbatasan Sasahara (2015-2016) dan beberapa media alternatif lain.
Terlibat mempelajari sejarah dan budaya yang menghasilkan beberapa buku baik sendiri maupun bersama penulis lain, di antaranya: Daerah Perbatasan Keterbatasan Pembatasan (bersama co-writer Winsulangi Salindeho, Fuspad 2007); Kearifan Lokal Masyarakat Bolaang Mongondow Selatan (Keppel Press – BPNB Manado); Kerajaan Bolango: Dari Tapa ke Molibagu (Keppel Press – BPNB Manado); Metamorfosis Bolsel (Keppel Press). (*)
Discussion about this post