Manado, Barta1.com – Bencana banjir dan tanah longsor di Kota Manado menjadi perhatian bagi banyak pihak, baik itu dari segi perencanaan tata kota, pengelolaan, pemeliharaan hingga penanganannya.
Berbagai elemen diantaranya Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN), Balai Wilayah Sungai (BWS) Sulawesi 1 dan Dinas Perumahan, Kawasan, Pemukiman dan Pertahanan (Perkimtan) Sulut duduk bersama di Ruang Komisi III DPRD Sulut, Selasa (31/01/2023) kemarin.
Anggota DPRD Sulut, Ayub Ali Albugis mengungkapkan penanganan banjir hingga saat ini belum tuntas. “Kita ada di sini kapasitas sebagai wakil rakyat dan punya tanggung jawab moril dalam rangka untuk mencari solusi. Daerah kita Sulawesi Utara adalah resistensi terhadap musibah, baik itu tanah longsor, banjir dan musibah lainnya. Jika punya data demikian, seharusnya lembaga-lembaga yang terkait, seperti SKPD, ketika melihat musibah ini seharusnya mempunyai perencanaan baik jangka pendek maupun panjang,” ungkapnya.
“Jangan sampai musibah ini selalu datang silih berganti, tetapi kita melakukan penanganannya tepat di hari H saja. Ini sangat disayangkan, yang pertama BPBD sudah berpengalaman dalam mengatasi permasalahan ketika muncul. Dari hari H sampai penanganan pertolongan bagi orang-orang, baik itu anak-anak maupun orang dewasa. Kadang-kadang kejadian di lapangan tidak bisa terantisipasi secara maksimal oleh BPBD,” tuturnya.
Walaupun, kata Albugis, BPBD sudah mengeluarkan program tangkap bencana, darurat dan sebagainya. Ada pula tenaga pemuda yang sudah dilatih dengan uang negara, tetapi pada saat hari H-nya tenaga-tenaga itu tidak ada di tempat. Itu permasalahan-permasalahan yang sering muncul, sehingga program-program yang sekian banyak dikeluarkan, tetapi pemanfaatannya tidak mengena sasaran.
“Kedua, terkait persediaan barang yang akan diperbantukan. Kadang-kadang tidak tersedia secara maksimal karena dikirim di kabupaten dan kota ini. Persediaan itu tidak siap. Ketiga, alat-alat angkut sudah tidak lagi memenuhi syarat dengan faktor umur, bukan masalah tuanya, melainkan pemeliharaannya juga sudah tidak maksimal. Seharusnya seluruh kendaraan yang menjadi aset dari BPBD, yang peruntukannya untuk bencana jangan dipakai untuk hal lainnya,” ujar Ketua Komisi Nyiur Melambai ini.
Ia menambahkan, ini musibah-nya sangat besar. Musibah itu ada dua, musibah sepanjang rutinitas dan musibah yang luar biasa. Musibah di tahun 2023 ini mendatangkan kemiskinan baru. Menimbulkan kesusahan baru, di mana setiap orang itu tidak mau mendapatkan musibah secara berkepanjangan. Menghidupi diri sendiri saja sulit kali ini, sekarang apa yang dilakukan oleh BPBD dengan adanya musibah besar ini, yang katanya debit air melompat-lompat hingga 2 kali lipat. “Melihat hal itu, saya meyakini kedepannya akan datang menjadi 4 bahkan 5 kali lipat jika tidak diantisipasi,” cetusnya.
“Saya tahu BPBD punya data akan itu, terus apa yang dilakukan pasca bencana itu. Kami dari dapil Manado hanya mampu hari pertama dan kedua, dan itu pun hanya memberikan makanan saja, dan menurut kami, tidak tersalurkan secara maksimal,” terangnya sembari meminta pihak BPBD jangan hanya melihat dari luarnya saja, melainkan masuk ke dalam rumah warga dan lihat apa yang terjadi.
Seharusnya, fasilitas perahu sudah disebarkan dibeberapa kecamatan. Jangan tunggu orang mati baru datang perahunya, yang lucu juga disebarkan perahu tanpa tenaganya, saat itu juga masyarakat takut menggunakannya karena mereka tidak tau teknis penggunaannya. “Jadi pemuda-pemuda yang sudah dilatih mana tanggungjawabnya,” tanya dia lagi ke BPBD.
Berikutnya ada BWS Sulawesi 1, progresnya sangat luar biasa yang dimana menyampaikan langsung kejadian yang ada. Itu langkah cepat, untuk mengantisipasi sungai Bailang, Mahawu dan sebagainya. Dan yang baru ada perencanaannya dan bantuan adalah sungai Tondano dan Tikala.
“Sungai Mahawu dan Bailang masih dalam kajian. Untuk itu, saya sampaikan kepada kepala BWS Sulawesi 1 jangan banyak duduk dibelakang meja. Rakyat sudah berteriak-teriak. Kami dari dapil yang lokasinya mendapatkan bencana jadi sasaran, seakan kami ini juru selamat. Kadang-kadang kami mau cari jalan keluar tidak tau. Amunisi dan apapun itu sudah kami keluarkan. Kiranya daerah Bailang dan Mahawu dapat kita bahas bersama pemerintah kota untuk memecahkan permasalahan yang ada,” pintanya lagi.
Jangan sampai, menurut Albugis, daerah Mahawu dan Bailang tidak ada solusinya sepanjang tahun, sehingga negara kita dianggap memelihara musibah. Dengan adanya musibah tinggi, sehingga dinas sosial programnya jalan, SKPD lainnya juga jalan. “Jika ada orientasi BWS Sulawesi 1 sudah 100% maksimal, Balai Jalan juga maksimal, sehingga program kemiskinan SKPD tidak ada. Kalo terlalu banyak program kemiskinan, berarti kita tidak maju,” imbuhnya.
“Balai Jalan juga luar biasa, saya mengapresiasi setiap langkah-langkah yang dilalukan. Jika kejadian longsor di jalan ditangani Balai Jalan. Jika longsor di rumah, tanggungjawab siapa, apakah provinsi atau kabupaten-kota. Untuk itu, saya memohon ke Balai Jalan untuk bisa membantu warga yang rumahnya terdampak longsor agar dibersihkan,” ucapnya.
Selanjutnya, PUPR itu hanya merepot laporan-laporan Balai Sungai dan Jalan. Lalu apa, yang dilakukan oleh PUPR. “Kalo hanya menyampaikan saya sudah berkomunikasi dengan Balai Sungai, satu jam kemudian dengan Balai Jalan. Lalu apa yang dilakukan PUPR dalam satu jam itu. Kalo hanya perencanaan dan administrasi yang dikatakan, nantinya rakyat ini akan mati pak,” sahutnya.
“Sedangkan menutup Bendungan Kuwil, bapa tinggal dihubungi oleh pak Gubernur Sulut. Berarti langkah Gubernur sudah cerdas, tetapi kenapa tingkat kecerdasan ditingkat PUPR tidak dilakukan,” tegasnya.
Kemudian Perkim, hanya mengirimkan situasi genting untuk dievaluasi. Ada 4 kategori, ada rumah ini dan sebagainya. Dan kemudian, Perkim menurunkan tim untuk ke lokasi karena kedepannya diusulkan kepada pemerintah untuk tata kota dan sebagainya, terus apa yang dilakukan Perkim pasca banjir ini.
“Apakah Perkim hanya menulis catatan-catatan kecil. Tidak ada eksyen sesuai dengan tanggungjawab Perkim. Kritikan ini sifatnya untuk menaikan,” katanya.
Dikesempatan yang sama, Yongkie Limen, yang juga anggota DPRD Sulut dapil Kota Manado angkat bicara, bahwa dirinya sudah tidak mampu lagi mengelilingi lokasi banjir. Sudah berbagai kemampuan dilakukan sampai ATM terblokir. “Paal dua, Kairagi dan semuanya terdampak. Banjir ini menjadi pembelajaran buat kita semua. Kalo masyarakat buat rumah di atas atau bawah pegunungan itu tidak apa-apa, karena itu cari penyakit. Tetapi, jika rutin sudah menjadi langganan suatu daerah tolonglah itu diperhatikan.”
“Sudah cape mau sampaikan apalagi. BPBD punya kewajiban untuk itu, jika bapak tidak bisa, kan bisa koordinasi dengan PUPR dan SKPD lainnya. Setiap ada masalah pemerintah hanya menyediakan supermi dan beras. Sekali lagi, sudah cape mereka dengan kondisi seperti ini. Jika bapak mau lihat sudah habis uang mereka. Dimana, mereka membeli kasur, televisi dan sebagainya,” ujarnya.
Terus ada langkah apa yang bisa dilakukan. “Saya mau minta tolong pak, tolong lihat dan keliling rumah warga. Ini bukan perkara yang wah. Setiap tempat menjadi langganan banjir tolong dikoordinasikan. Bapak kan perpanjangan tangan Gubernur, jika bapak tidak sanggup segera berhenti pak. Tolong tanggungjawab pak, ini berkaitan hidup orang lain,” tambahnya.
“Jika saya walikota tidak bisa menangani masalah ini, saya pasti berhenti esoknya pak ,” singkatnya.
Gubenur selalu menyampaikan terimakasih karena anggota DPRD Sulut melakukan reses. Untuk itu, setiap hasil reses tolong diakomodir pak. Karena masyarakat saat reses tidak minta beras dan sebagainya, melainkan yang mereka minta adalah perhatikan saluran air, jalan dan penerangan.
Begitupun, dengan Sekretaris Komisi III DPRD Sulut, Amir Liputo kepada PUPR, Balai Jalan, BWS-Sulawesi 1 dan BPBD, bahwa beginilah yang disampaikan dari dapil Kota Manado. “Kami hanya mengaktualisasikan keadaan yang terjadi di lapangan. “Mari kita berpikir positif kedepannya apa yang bisa dilakukan. Untuk itu, saya mau meminta kepada BPBD tolong rumah di Pandu difungsikan. Perumahan ada 2 ribu lebih itu, sampai hari ini tidak sampai setengah penghuninya. Buat apa dibangun dengan anggaran ratusan miliar kemudian tidak pernah bermanfaat. Di lapangan itu, bukan rakyat tidak mau pindah, tetapi fasilitas di sana belum lengkap seperti air dan lampu,” serunya.
“Bagaimana orang mau tinggal tidak ada air dan penerangan. Tadi pagi di daerah saya, mereka live kepada walikota Manado, mereka berkata pak wali kami sudah lelah membersihkan air, kami siap direlokasi dengan catatan rumah yang dipindahkan tolong yang layak huni. Ini sudah berulang kali kami sampaikan pak. Yang kami khawatirkan, sampai rumah di Pandu roboh tidak ditempati karena tidak ada pemeliharaannya,” tukasnya. Mohon masalah ini segera diperhatikan yeah.
Setelah mendengarkan aspirasi yang disampaikan oleh anggota legislatif Sulut dapil Kota Manado itu. Kepala Pelaksana BPBD Sulut Joi Oroh, Kepala BPJN Sulut Hendro Satrio, Kepala Dinas PUPR Alex Wattimena dan PLT Perkimtan, Steven Tuegeh menjawabnya dengan kalimat siap sambil menulis catatan yang sudah disampaikan.
Di sisi lain, Kepala BWS-Sulawesi 1 Manado, I Komang Sudana menanggapi, seharusnya tidak bicara bencana. tidak juga harus bicara banjir, tetapi yang harus dibahas sesuai kesimpulan yang ada bagaimana tidak banjir. “Supaya tidak banjir bukan peran dari PUPR saja pak. Kalo kita bisa melihat secara komprehensif, bagaimana penanganan terhadap hulu-hilirnya. Ada tata ruang disitu, seharusnya ada tata ruang yang mengatur ini boleh atau tidak. Di sempadang sungai mestinya kota-kota dan kabupaten membuat peraturan daerah (Perda). Jadinya masyarakat tidak boleh bangun di sini, ternyata sekarang siapa yang melarang, dibangun tidak terkendali. Ada bangunan di atas bantaran sungai,” tandasnya.
“Secara umum Permen sudah ada untuk mengatur batas pembangunan di bantaran sungai dan sebagainya. Dan jaraknya berkisar 50 hingga 100 meter. Maksud saya, mari kita sama-sama mengendalikan hulunya. Kita tanam pohon sebanyak-banyak mungkin. Tata ruang sebenarnya sudah mengatur ini boleh atau tidak. Tapi eksekusinya, dari tata ruang itu tidak terlaksana dengan baik. Esok sungai kita kerut, esoknya banjir lagi. Kita kerja lagi, betul bendungan kuwil adalah solusinya, tetapi harus ada pemeliharaan karena bendungan punya umur. Ada namanya, tampungan mati, tampungan terendah sampai dengan kebutuhan eliminasi intake air baku. Jika itu sudah tertutup, maka bendungan itu sudah mati,” serunya kembali.
Tetapi, bagaimana caranya bendungannya itu tidak mati. Yeah, harus dijaga hulunya. Itu menjadi sebuah saran saja.
Terpantau Barta1.com, yang membuka dan menutup rapat dengar pendapat (RDP) antara komisi III DPRD Sulut bersama BPBD, PUPR, BPJN, Perkimtan dan BWS Sulawesi 1 adalah Berty Kapojos, selalu ketua komisi III DPRD Sulut.
Peliput : Meikel Pontolondo
Discussion about this post