Andaikata tak mengesankan, menggairahkan dan menggerakan semua emosi, maka kisah dua karakter historis Mark Antony dan ratu Mesir Kuno Cleopatra, tak didramatisasi William Shakespeare ke atas panggung.
Demikian dalam kisah-kisah termasyur para pemimpin dunia, politik dan cinta seakan dua sisi dari satu mata uang. Dan sebagaimana pohon, gairah, semangat dan nasionalisme pun berakar di sana.
Tanpa Mark Antony, sejarah kerajaan Mesir kuno tak terbaca segemilang hari ini meski Cleopatra memiliki kecerdasan dan kekuatan yang tak bisa diragukan. Hubungan cinta antara keduanyalah yang menempatkan negara Mesir dalam posisi kuat.
Di Indonesia, kita pun tak mungkin membincangkan kemasyuran B.J. Habibie tanpa menyebut peran ibu Hasri Ainun Besari. Bahkan mantan Presiden Republik Indonesia itu dengan tangannya sendiri menulis drama kehidupannya dalam buku biografi “Habibie & Ainun”.
Di dunia politik, kisah-kisah inspiratif dan memesona dari ruang cinta bisa menjelma diksi heroik yang menggugah kesadaran publik dan menumbuhkan sense of belonging terhadap nilai-nilai kebangsaan dan patriotisme.
Demikian Tomohon adalah sebuah kota yang tak mungkin terabai dalam catatan kehidupan Adrey Laikun, seorang politisi Nasdem yang kini menjabat Wakil Ketua DPRD Kota Manado.
Karena di sanalah ia melewati tahun-tuhun pendidikan tinggi strata satu, di sana pula ia bertemu cinta sejatinya. Negeri itu terletak di ketinggian 900-1100 meter dari permukaan laut dan diapit dua gunung berapi aktif, Lokon (1.580 m) dan Mahawu (1.311 m).
Tomohon termasuk kota yang bersuhu dingin di kawasan tropis, 30 derajat Celsius di siang hari, dan 18-22 derajat Celsius pada malam hari. Keindahan yang memesona dari lanskap negeri seluas 147,21 km2 ini tak saja pernah ditulis etnograf N. Graafland saat berkunjung pada tahun 1850, namun telah menjadi semesta puisi para penyair, di antaranya bait-bait yang dikutip dari buku “Kopero” karya Iverdixon Tunungki yang sangat disukai Adrey Laikun, berikut ini:
di bentang pematang penyeberangan
kutemukan lagi cahaya tua tirus di atas pelepah
sebuah masa membawa pergi sesuatu pernah kita reka
pucukpucuk gabah, tubuhtubuh bernas
mengering dilisut gamis senja
tinggal bau sawah, bau rawa membawaku Juni yang basah
bunga tilansia, pohonpohon nuclea
memunculkan kembangnya
jernih seperti mata cinta, masih sama
seperti saat kita menari dengan sepi duka bajak petani
satwasatwa, pemburu madu, menyerbu kenangan itu
saat runtuh satusatu dari hatiku
ke pematang rapuh oleh air mataku
aku melewatinya bersama beberapa pengerik
melintasi desadesa sepi
wajahwajah menyimpan letih di keranjang berisi benih
burung bulbul di ranting cempaka sesekali mendengung
mengingatkan aku desis rambutmu:
–kenangan itu seakan punya kaki membuntutiku
Di kota puitis itu, ada festival bunga tiap tahun yang seolah-olah mau mengatakan dalam bahasa paling ikonik, hidup adalah sejuntai Sepatu, Anthurium, Aster, Bromelia, Levender, Agave, dan Alamanda. Sebuah dunia bunga yang dalam perspektif psyacology memungkinkan cinta mendapatkan ruang musim seminya.
Itu sebabnya, kendati waktu terus beranjak, namun membicarakan Tomohon bagi Adrey Laikun, setara menyelusupkan garis api meteorit melesap ke eter sebegitu legam di hulu dadanya. “Mengingat Tomohon bagi saya adalah mengingat kehidupan,” ucapnya. Dan di sanalah Adrey mengaku pertama kali bertemu istrinya Meylani. Dan uniknya, membincang lekuk kehidupan pribadi Adrey dan Meylani adalah membincang cinta dalam sekotak abon.
Mari mundur kedua puluh tahun sebelumnya. Meike Meylani Polii adalah seorang gadis cantik ketika itu. Gadis Minahasa kelahiran Manado, 03 Mei 1979 ini adalah seorang mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Kristen Tomohon.
Di masa yang sama, Adrey Laikun adalah mahasiswa jurusan teknik di Politeknik dan kemudian melanjutkan ke Universitas Sariputra Indonesia (UNSRIT) Tomohon. Asyiknya, sebagaimana umumnya alur film drakor dan novel-novel romantik Eropa semisal Romeo dan Julia karya William Shakespeare, perkenalan pertama Adrey dan Meylani berawal dari sekotak abon.
Suatu Ketika Adrey diminta ibunya mengantar sekotak abon untuk kakaknya Enice Laikun, yang sama-sama kuliah dengan Meylani, di Fakultas Teologia UKIT Tomohon. Melihat tingkah sahabat kakaknya yang sangat menyukai abon yang baru diantarnya, Adrey tiba-tiba terpikir memberikan abon secara khusus untuk Meylani.
Sejak itu, abon yang titip ibunya untuk jatah kakaknya kontan beralih ke tangan Maylani. Dari kisah kotak-kotak abon itulah cinta mereka bersemi hingga masuk jenjang pernikahan dan dikaruniai tiga orang putra, Firstlady Angie Mercilia Laikun, Sheva Fransesco Timothy Laikun, Yesyurun Yehezkiel Anugerah.
Sebagai manusia politik dan langkah politiknya yang sukses menuju posisi Wakil Ketua DPRD Kota Manado, Adrey mengatakan, tak bisa lepas dari peran sosok perempuan yang mendampinginya itu. Bahkan sebelum terjun ke dunia politik, Meylani istrinyalah yang menjadi motivator semangatnya dalam dunia usaha di bidang konstruksi.
“Ia cinta dan penyemangat, ia ibu tak saja untuk anak-anak, tapi juga untuk penat dan keluhku,” kata Adrey. Dan ungkapan, “selalu ada wanita hebat di balik sukses seorang pria” menjadi frasa yang relevan dari sebuah naluri atavistik paling manusiawi seorang manusia dalam mendetakan atrofi perasaan.
Tak saja di Indonesia, dalam sejarah dunia politik pada umumnya, kisah-kisah inspiratif dan memesona semacam ini sudah melegenda sejak era Mesir kuno, hingga ke negara-negara benua semacam Eropa dan Amerika.
Seakan alam semesta atau Tuhan dalam pemahaman semitik, selalu punya cara mempertemukan sepasang manusia dalam apa yang disebut cinta. Pada konteks itu, cinta dapat dipandang sebagai anugerah manusiawi yang sangat indah dalam kisah kehidupan anak manusia yang patut diceritakan.
Di sini pula kita dipertemukan dari hal yang paling beradab dalam perspektif filsafat politik Niccolo Machiavelli, di mana cinta adalah bagian dari segala cara dalam membentuk perilaku politik seorang politisi. Sebab perilaku politik sebagaimana pemahaman ilmu politik, merupakan pemikiran yang berasal dari dalam diri yang berhubungan dengan sistem politik yang titik suburnya tak berada di panggung-pangung besar politik, tapi justru tumbuh dan bermulanya di ruang keluarga.
Pada konteks ini cinta menjadi hal yang sangat relevan dalam politik. Dan kaki akan mengikuti ke mana cinta membawa, menjadi terasa tak sekadar pepatah kuno Arab yang artistik, tapi merupakan adagium yang dapat dicermati dari sudut theology sebagai anugerah yang patut disyukuri. (*)
Penulis: Iverdixon Tinungki, Albert Nalang dan Tim
Discussion about this post