Oleh:
Iverdixon Tinungki
Tahun 1973, Kora-kora terakhir mampir di Pelabuhan Tatahadeng, Ulu Siau. Itu perahu layar besar bermoncong tajam dari para pelayar Nanusa, wilayah paling Utara Kepulauan Talaud. Mereka dalam perjalanan menuju Manado kemudian terus ke Maluku dalam misi perdagangan dan kekeluargaan.
Saya beruntung diajak sang Kapiten perahu yang masih famili dengan ibu saya untuk berlayar berputar-putar di depan pulau Siau, setelah proses perbaikan bagian buruitan perahu yang rusak dihantam badai dalam perjalanan dari Talaud ke Siau.
Dalam pelayaran uji coba itulah, saya pertama kali mendengar istilah “Angkat Layar” yang dalam bahasa Talaud dialek Utara, Nanusa “mendu’i u Senggo” yang diseruhkan kapiten kepada anak buah perahu. Perahu itu berlayar ganda, segi tiga ke belakang dan segi tiga ke depan. Setelah layar terangkat dan terterpa angin, perahu pun melaju dalam kecepatan penuh.
Selasa, 8 Maret 2022, sekitar pukul 16.00 wita, saya kembali mendengar istilah “Angkat Layar” yang diucapkan dalam dialek Selatan, Kabaruan, “Mendu’ita u Senggota”. Frasa tradisional itu diucapkan Jekmon Amisi, politisi yang kini menjabat Wakil Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Talaud.
Harusnya saya tidak terlalu kaget, tapi mendengar istilah yang sudah lama tak tertengar sontak membuat saya tergelitik. Ternyata, dalam politik sekalipun, Orang-orang Talaud tetap hidup dalam filosofi bahari mereka, hidup dalam entitas kultural yang dalam ranah politik disebut sebagai politik identitas.
Frasa yang dilontar Jekmon Amisi itu menjawab pertanyaan saya terkait kesiapan dia menghadapi suksesi kepemimpinan Talaud 2024. “Saya sudah mengangkat layar,” ucapnya.
“Mendu’ita u Senggota”, bisa jadi sakadar pasangan diksi biasa dalam kultur bahari orang-orang Talaud. Sejak abad 16 era eskader Spanyol dan Portugis menjadikan kawasan itu sebagai jalur rempah di Timur Nusantara, Talaud telah dikenal sebagai suku bangsa bahari yang menjadi pemandu kapal-kapal asing di jalur rempah.
Bahkan dalam buku “Tagaroalogi” John Rahasia, suku bangsa bahari ini disebut telah menjelajah samudera luas hingga ke Madagaskar. Ini sebabnya, dalam ribuan tahun peradaban bahari mereka, frasa “mengangkat layar” telah menjadi bagian keseharian dalam eksistensi kehidupan mereka. Terasa sebagai sesuatu yang biasa, namun sejatinya datang dari palung kesadaran yang luar biasa
Dalam tradisi Talaud, “mengangkat layar” adalah sebuah tindakan yang punya riwayat panjang. Itu tak datang begitu saja dari keinginan biasa, tapi dari sebuah perhitungan dan persiapan yang matang.
Seorang pelayar adalah mereka yang mengusai perhitungan-perhitungan astronomi, tahu membaca angin, pasang dan surut. Bahkan mengangkat layar melintasi samudera luas tak lain ada ujung dari sebuah ritual doa yang dilaksanakan saat pasang Umaendo atau Atolla, dan ketika bulan di langit pada posisi Lattu hingga Naworaa.
Dilatari semesta besar filosofi bahari Talaud, pernyataan Jekmon Amisi bagi saya tiba-tiba terasa tak sekadar canda di sore hari yang bergerimis. Ia lebih dari itu, bahkan sesuatu yang sublim. Ia menyadari tarung politik setara dengan bahaya melayari samudera luas.
Karena sekali mengangkat layar “pulau tujuan” harus diraih dalam hidup atau pun mati. Dan saya membaca itu dalam gestik dan mimik politisi Jekmon Amisi. (*)
Discussion about this post