Catatan: Iverdixon Tinungki
Seumpama kekristenan tidak datang bersama moncong bedil dan sangkur, di Sangihe Talaud hari ini, sejarahnya pasti berbeda, dan tak akan digambarkan pula secara berbeda oleh para misionaris. Tulisan berikut ini dipersembahkan untuk meramaikan Sangihe Writers & Riders Festival (SWRF) 2021.
Saya dan sahabat saya sangat suka dengan bir. Di suatu hari di tahun 1987, kami tiba di Beo, Karakelang, Talaud. Dalam perjalanan reportase yang meletihkan itu, sahabat saya sempat berkenalan dengan seorang gadis cantik yang kebetulan masih jomlo. Ia punya toko yang menjual mulai dari bahan pangan hingga aneka minuman. Pada suatu malam, sahabat saya pulang membawa 1 krat bir pemberian gadis itu ke rumah tempat kami menginap. Setelah mendengar penjelasan tentang asal usul bir yang dibawanya, saya sadar bawah pada ruang paling halus—semacam cinta—sekalipun, penaklukan selalu punya cara mencari tempatnya.
Demikian seumpama kekristenan tidak datang bersama moncong bedil dan sangkur, di Sangihe Talaud hari ini, sejarahnya pasti berbeda, dan tak akan digambarkan pula secara berbeda oleh para misionaris.
Menelusuri ihwal kekristenan di Sangihe Talaud (Nusa Utara) tak mungkin lepas dari masa lalu kawasan Singkil-Sindulang, sebuah pesisir di utara Kota Manado, saat ini. Singkil Sindulang masa itu digambarkan secara berlebihan oleh para misionaris sebagai tempat yang disemaraki aroma magis. Ratusan tahun terbancak upacara bernuansa paganis dari keyakinan lama alifuru dan animis. Manusia terpasung oleh mitos, kekuatan amulet, mantra, jimat, dan bayangan-bayangan suram roh para moyang. Bahkan bahasa kotor dan maki seakan kunci meraih berkah alam laut. Inilah masa lalu itu, di Singkil Sindulang, sebuah daratan yang menjadi pintu terpenting penyebaran panji Salib ke Nusa Utara.
Sebelum Peter Jesuit Diego De Magelhaes datang dari Maluku dan membunyikan lonceng krencengan kecil di tahun 1563, kata sejarawan Sem Narande dalam “Vadu La Paskah”, pesisir yang terletaknya di sekitar muara kali Tondano telah menjadi salah satu titik penting sekaligus bandar pertemuan orang-orang dari berbagai suku bangsa di Timur Nusantara untuk mencari pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. “Selalu ada perahu layar merapat memasuki muara kali, bersauh, lalu menunggu angin berubah membawa mereka pergi,” tulisnya.
Para pemburu harta dari Cina dan Eropa juga mewarnai kawasan ini. Mereka datang bersama kisah-kisah perang dan penaklukan. Ini sebabnya, empat abad lalu, perkampungan Singkil Sindulang menyimpan jejak orang-orang keturunan Spanyol dan Portugis. Mereka menetap dan membangun kampung-kampung Borgo di tepi pesisir, meninggalkan tradisi tari Katrili dan Volka yang saat ini menjadi kesenian masyarakat Borgo.
Empat abad perang dan kolonialisme itu, tak hanya menelan banyak korban jiwa, tetapi juga menjumpakan masyarakat di sini dengan kekristenan. Sebuah musim semi dalam pertumbuhan iman, pengaharapan, dan kasih dalam persekutuan orang-orang yang dulunya tercerai berai oleh perang, perbudakan dan alienasi. Maka tak berlebihan bila kawasan pesisir ini disebut “Israel diaspora” mula-mula di Sulawesi Utara. Israel diaspora adalah sebuah istilah bagi umat Allah –dalam pemahaman semitik– yang berada di luar teritorial negara Israel.
Di Maluku, misi Katolik Portugis pertama yang tiba di sana adalah beberapa rahib Franciscan yang mendarat di Ternate tahun 1522, kemudian berkembang pesat sampai tahun 1570, di Ambon, Bacan, Halmahera, Morotai, Ternate, Tidore, Banggai, Manado dan Sangihe. Misi tersebut terlaksana atas usaha misionaris Jesuit, Franciscus Xaverius sejak tahun 1546 selama 15 bulan penginjilan. Sesudah tahun 1570 Misi Roma khatolik mulai mengalami kemunduran akibat terbunuhnya Sultan Hairun oleh Portugis.
Di Manado, tercatat 1500 orang rakyat bersama Raja Manado Kinalang Damopolii dan Raja Siau Posuma menerima sakramen baptisan dari Peter Jesuit Diego De Magelhaes (Vadu La Paskah). Peristiwa baptisan itu ditegaskan sebagai awal mula perjumpaan masyarakat alifuru dan para penganut animisme yang mendiami kawasan pesisir ini dengan kekristenan yang datang bersama kapal-kapal dagang Spanyol dan Portugis yang mencari rempah dan kebutuhan makanan lainnya bagi kebutuhan pasar-pasar Eropa.
Misionaris D. Brilman dalam “Onze Zendingsvelden, De Zending op Sangi-en Talaud-eilanden”, membenarkan adanya efektuasi yang luar biasa dalam kehidupan iman jemaat dan masyarakat di lingkungannya sesudah 14 hari Peter Diego De Magelhaes membaptis 1500 orang jemaat yang pertama sekaligus bersama 2 orang Raja yaitu Raja Manado dan Raja Siau. Kesaksian yang sama juga ditulis dr. Godee Molsbergen dan Wessels, Schwengke, Peter Muskens, dan buku dari Dr. Muller Kruger, seorang dosen yang pernah mengajar di sekolah tinggi Theologia Jakarta.
John Rahasia, sejarawan dan penulis buku “Tagaroalogi” dalam ceramahnya di gereja Patmos Bunaken tahun 1980 menjelaskan, 5000 anggota jemaat yang ditemukan Ds. Werndly di tahun 1707 di Manado adalah produk dari penginjilan masa Portugis. “Kita mendapatkan data pada tahun 1563 Peter Diego De Magelhaes datang dari Ternate. Ia dijemput oleh Raja Manado waktu itu, Kinalang Damopolii dan Raja Siau Posuma bersama 1500 orang rakyat. Raja Posuma sendiri adalah putra dari Raja Lokongbanua yaitu raja pertama di kerajaan Siau. Kedua raja serta 1500 orang itu meminta Peter Diego De Magelhaes dari gereja Roma Katolik, zaman Portugis untuk dibaptis!” (Valdu La Paskah, 1980, 333).
Sebelum kedatangan Ds. Werndly tahun 1707, pendeta Ds. Montanus sebagai pendeta Belanda pertama yang datang ke kawasan ini menemukan segolongan orang yang merupakan Jemaat Kristen di pesisir Manado di tahun 1675. Hal ini menegaskan di mana lebih dari dua setengah abad sebelum GMIM lahir di tahun 1934 di Minahasa, sudah ada jemaat Kristen di Manado Utara.
“Proses kehidupan kekristenan sudah berjalan. Bukan baru mulai. Bukan belum berwadah apalagi berlembaga. Bukan belum berbentuk dan berwujud. Proses kehidupan kekristenan di wilayah Manado Utara sudah berjalan lebih jauh ke depan dan jauh lebih lama dalam kristalisasi penginjilan sebagaimana almanak kelahiran organisasi GMIM,” tulis Narande.
Catatan sejarah jemaat-jemaat GMIM di kawasan Wilayah Manado Utara II yang saat ini berjumlah 7 jemaat, dan juga pada umumnya sejarah seluruh jemaat di kawasan Manado Utara hingga pulau-pulau sekitarnya menegaskan hubungan yang erat cikal bakal kehidupan berjemaatnya itu dengan peristiwa pembaptisan Peter Diego De Magelhaes di tahun 1563.
Kendati begitu, pada tahun 1675 saat Pendeta J. Montanus mengunjungi Manado, ia mendapati jemaat-jemaat di Manado sudah sangat lemah, hingga pada tahun 1677 VOC menetapkan Pendeta Zacharias Cacheing untuk bertugas di Manado. Kemudian sampai tahun 1700 tidak banyak lagi pendeta yang mau datang ke Indonesia, sebab kekristenan pada masa VOC terjadi bukan karena keimanan tetapi karena tekanan politik, kutip dari Prof Dr I.H. Enklaar: Sejarah Gereja Ringkas, 81, 1966.
Alur sejarah kekristenan di kawasan pesisir Manado ini sangat berbeda bila dibanding dengan ihwal kekristenan di pedalaman Minahasa yang diperkirakan baru teretas baik pada permulaan abad ke XIX, yang ditandai kedatangan dua pendeta berkebangsan Jerman yang diutus Gereja Protestan Belanda, Riedel dan Schwazrs di tahun 1831.
Kekristenan di pedalaman Minahasa sesungguhnya baru dimulai sejak permulaan abad ke XVII. Pada tahun 1619 misi injil Spanyol telah mengalihkan penyebaran misi ke pegunungan yaitu orang-orang dari suku pedalaman lalu tiba Tomohon dan Tondano. Namun misi ini gagal, karena kedatangan misionaris dihubungkan dengan hasil panen. Saat itu panen tidak berhasil sehingga dikatakan dewa telah murka, para misionaris di usir. Menurut surat Pater Blas Palamino tanggal 8 Juni 1619 – sebelum dia terbunuh di Minahasa pada tahun 1622– menulis mengenai sikap permusuhan para Walian pemimpin agama suku terhadap para missionaris asal Spanyol. Para Walian menolak dan melarang para missionaris Spanyol masuk ke pedalaman Minahasa.
Dalam catatan sejarah jemaat GMIM Nazaret Tuminting yang resmi berdiri pada 17 Maret 1933 atau 1 tahun lebih tua dari usia GMIM, dipaparkan di mana gereja itu tumbuh dari sebuah organisasi kristiani yang bernama “Hosana Ambang Susah” yang didirikan di kisaran tahun 1850 oleh orang-orang Sangihe Talaud yang beragama Kristen, yang mendiami pesisir Manado Utara.
Catatan itu mengambarkan sebuah arus bolak-balik perjalanan injil Kristus pasca pembantisan Raja Posuma dari Siau di Pantai Sindulang, yang kemudian dalam waktu yang tidak terlalu lama memicu perkembangan jumlah umat Kristen di Siau menjadi 25.000 orang. Serta atas bantuan raja Posuma pada 9 Oktober 1568 Peter Makarenas membaptis 10.000 orang di Kalongan, pulau Sangihe. Benih kekristenan itu juga menyebar ke Talaud yang ketika itu kawasan pulau-pulau Talaud merupakan daerah-daerah yang berafiliasi dengan kerajaan Siau dan kerajaan-kerajaan Sangihe.
Dalam sejarah Gereja Masehi Injili Talaud (GERMITA) yang berdiri pada tanggal 23 Oktober 1997 hasil pemekaran dari GMIST disebutkan, kekristenan di kawasan itu berkembang pesat dari hasil penginjilan Badan Zending dari negeri Belanda dan Eropa pada umunya, terutama sejak abad 19. Khususnya dari Komisi “zendeling tukang” (Zendeling-werkleiden atau zendeling-werkman).
Seperti juga di kawasan Nusa Utara pada umumnya, kedatangan para “zendeling tukang” di Talaud terbagi dalam dua rombongan, yaitu, rombongan pertama untuk kepulauan Sangihe, Siau dan Tagulandang terdiri dari empat orang yakni: Carl W.L.M. Schroder, E.T. Steller, F. Kelling dan A. Grohe. Sedangkan rombongan kedua untuk kepulauan Talaud, terdiri dari lima orang pemuda yaitu: A.C. Van Essen, P. Gunther, W. Richter, K.E.W. Tauffmann dan Fischer. Mereka berangkat dari negeri Belanda pada tanggal, 23 November 1857 dan tiba di Batavia pada 12 April 1858. Khusus untuk Fischer, Komisi harus memanggilnya kembali ke Belanda karena kekurangan sikapnya selama dalam perjalanan, dan harus mengembalikan ongkos perjalanannya kepada pemerintah Belanda sebanyak 536 Gulden.
Pada tanggal 1 Oktober 1859 tercatat dalam sejarah kekristenan di kepulauan Talaud adalah waktu tibanya empat orang “penginjil tukang” tersebut, sehingga pada tanggal 1 Oktober ditetapkan menjadi Hari Pekabaran Injil di kepulauan Talaud. Mereka digelari “penginjil tukang” karena diperlengkapi dengan ketrampilan khusus, seperti membuat sepatu dan kereta. Dengan adanya ketrampilan tersebut mereka diharapkan dapat membiayai kehidupannya sendiri, tanpa tergantung kepada badan zending yang mengutus mereka dari Eropa.
Sementara tahun 1606, Raja Tagulandang yang dicatat Valentijn dengan nama Roytelet bersama putrinya meminta dan kemudian dibaptis Kristen Katolik oleh Pater Jesuit Antoni Pereira di Siau. Raja Tagulandang dan putrinya datang ke Siau untuk urusan pernikahan dengan Raja Siau. Kepada Pater Antoni Pereira, Raja Tagulandang menjanjikan bahwa semua rakyatnya akan menjadi Kristen asalkan padri tersebut datang ke pulaunya. Pater Antoni(us) Pereira, asal Portugis bertugas di Siau tahun 1604-1606.
Sayang tidak disebut nama Kristen yang telah dipakai oleh Raja Roytelet setelah dibaptis Pater Antoni Pareira, atau apakah ia identik dengan tokoh Balange yang berkuasa di Tagulandang sejak tahun 1609. Sebab, tahun 1606 adalah masih masa pemerintahan Lohoraung. Sedangkan raja dari versi tersebut adalah seorang pria. Begitu pun agama Katolik, tidak diketahui apakah sempat berkembang ketika itu. Namun, menilik nama-nama raja, sangat tidak terdampak seperti Siau, Tabukan, Taruna (Tahuna) atau pun Manganitu yang raja-rajanya banyak memakai gelaran Don atau nama berkesan Portugis atau pun Spanyol sampai Kompeni Belanda berkuasa yang bernuansa Kristen.
Kristen Protestan kemudian berkembang di Tagulandang ketika Raja Tagulandang dan sejumlah penduduknya memeluk agama Kristen. Daghregister Batavia 1664 mencatat Raja Tagulandang bersama istrinya telah dibaptis oleh Predikant Ternate Ds.Sibelio (Petrus Sibelius), bersama 152 orang dewasa dan 31 anak-anak. Meski tidak menyebut nama raja, tetapi dapat dipastikan kalau raja dimaksud adalah Bawias atau Bawioso. Nama serani yang dipakainya adalah Anthony (Anthonie atau Anthonisz) Bapias atau menurut Valentijn Anthoni Bapeas. Raja Bawise (Bawias) adalah raja ke 3 Kerajaan Tagulandang. Ia naik tahta mengantikan Balange pada tahun 1649 dan berkuasa hingga 1675.
Pada tahun 1675, saat berkunjung di Tagulandang, Predikant Jacobus Montanus yang melakukan pembaptisan kudus. Ds. Montanus mencatat dalam rapor bulan November, di Tagulandang terdapat satu gereja. Kemudian satu sekolah dipimpin guru David Jacobsz, yang telah ditempatkan oleh Predikant Fransiscus Dionysius sejak 1674; dengan murid sekolah sebanyak 50 anak. Juga 30 anak baptis, 15 orang tua dibaptis serta 30 wanita yang telah katekisasi. Sementara rapor Ds. Gualterus Peregrinus Agustus 1676, sekolah di Tagulandang telah dipimpin oleh guru Andries Furtados, dengan 22 murid sekolah, 73 orang dibaptis dan 4 pasangan dikawinkan. Sementara guru David Jacobz pindah mengajar di Minanga.
Pasca-takluknya pos terakhir Spanyol di benteng Santa Rosa, Siau pada tahun 1677, Gubernur Robertus Padtbrugge melakukan kontrak dengan para raja di Nusa Utara, termasuk sebuah klausal penting yaitu: “Tidak mentolerir agama selain Protestan yang direformasi menurut doktrin Sinode Dordrecht; serta tidak menerima di kerajaannya Spanyol, Portugis, Perancis, Inggris, Denmark dan Swedia”.
Di Sangihe, beberapa sumber menyebutkan, masa awal protestan calvinis dimulai sejak Spanyol menarik diri, setelah VOC merebut Tahuna pada tahun 1666. Pendeta mula-mula adalah Ds. Pregrinus(1677) dan Ds. Cornelis de Leeuw, sebagai pendeta pertama yang berkhotbah dalam bahasa Sangihe (1680-1689).
Ini sebabnya penyebaran agama Kristen Protestan mula-mula di Sangihe dilakukan oleh para pendeta pegawai VOC. Tahun 1674-1675 adalah masa awal sentuhan protestan di pulau sangihe. Pada masa itu Pendeta Franciscus Dionysius dan Pendeta Ishacus Huysman berkunjung ke pulau Sangihe. Tahun 1676 Sangihe dikunjungi Pendeta J. Montanus dan Pendeta Peregrinus. Tahun 1770 – 1853 Pendeta Josep Kam Bertugas di Maluku dan dijuluki Rasul dari Maluku, melakukan kunjungan ke Sangihe.
Pendeta terakhir yang berkunjung ke pulau ini semasa VOC adalah Pendeta J.R. Adams pada tahun 1789. Pada 31 Desember 1799 VOC dibubarkan. Pelayanan rohani digantikan Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) Perserikatan Pekabaran Injil Belanda yang didirikan Van der Kamp pada Tahun 1797.
Tahun 1855, NZG mengutus S.D. van der Velde van Capellen dari Minahasa ke Sangihe dan membaptis 5033 orang. Ketika itu S.D. van der Velde van Capellen sedang bertugas di Tareran, Minahasa. Atas kujungan tersebut dilaporkanlah keadaan jemaat Kristen Sangihe yang terlantar kepada NZG. Oleh menteri Jajahan, diberikan jawaban bahwa akan diutus empat orang Zendeling-werklieden atau zendeling tukang.
Komisi Zendeling tukang memulai pekerjaannya di Amsterdam tahun 1851 dan mengutus pekerja injil ke Indonesia. Komisi ini mengutus sembilan orang ke pulau Sangihe dan Talaud untuk melakukan penginjilan. Usaha penginjilan ini dilakukan atas beberapa latar belakang di antaranya, kurang lebih 200 tahun pemeliharaan Injil di Sangihe terlantar.
Laporan Pdt. S.D. van Der Velde van Capellen tahun 1855 menyebutkan tentang kemerosotan iman jemaat di Sangihe. Karena kekurangan tenaga di Belanda,
Komisi zendeling tukang mengambil beberapa utusan dari Jerman. Mereka yang diutus adalah : Carl W.L.M. Schroder, E.T. Steller, F. Kelling dan A. Grohe. Kelling dan Grohe ke pulau Siau mereka tiba di Taghulandang 15 Juli 1875. Steller dan Schroder tiba di Manganitu 25 Juni 1857. Pengutusan zendeling tukang berakhir tahun 1858.
Setelah berakhirnya masa zendeling tukang, tanggung jawab pemeliharaan iman di kepulauan Sangihe dan Talaud dilakukan oleh Komite Sangihe dan Talaud yang didirikan pada tahun 1887.
Komite ini didirikan di Belanda atas kerja sama dengan beberapa badan penginjilan. Komite hanya bertanggung jawab membiayai perjalanan utusan injil sampai di Batavia, sesudah itu diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda melalui badan penginjilan yang ada di Manado.
Di Sangihe pada tahun 1888, komite mengutus M. Kelling, W.T. Vonk, J.C.G. Ottow. Pada tahun 1891 Siau menerima A.J. Swanborn, pada saat yang sama G.F. Schroder pindah dari Talaud ke pulau sangihe, dan Mr. K.G.F. Steller tiba di Manganitu 31 Mei 1899.
Pada tanggal 1 Juli 1904 pelayanan injil di serahkan lagi pada komite untuk pemeliharaan kebutuhan rohani jemaat kristen protestan pribumi. Menjelang pertengahan tahun 1900, Gereja Kristen di Sangihe menyatakan berdiri sendiri, tidak terikat lagi oleh Gereja negara. (*)
Discussion about this post