Oleh: Iverdixon Tinungki
Proses alih konsep atau transkonseptualisasi dalam sejarah perjumpaan agama-agama dengan kebudayaan lokal di Sangihe Talaud merupakan kajian yang menarik diperbincangkan. Menyemarakan Sangihe Writers & Readers Festival (SWRF) 2021, berikut ini kami sajikan sebuah reportase terkait tema tersebut yang ditulis Iverdixon Tinungki dalam bukunya: “Nusa Utara Masa Purba Hingga Era Kerajaan”, terbitan PT. Barta Sulut Mandiri, 2021.
Tak sesederhana dibayangkan ketika simbol ayam besi kuningan ditempa di Jerman, lalu dikirim melintasi ribuan mil laut hingga akhirnya terpasang di menara gereja GMIST Tarorane, Ulu Siau, yang belum lama dibangun menghadap puncak gunung Karangetang. Apakah ini sebuah missionary propagation?
Dalam wawancara dengan penulis pada April 2020, pegiat sajarah, budaya dan teologi asal Siau, Jupiter Makasangkil mengatakan, simbol ayam mempunyai makna Euagelion (Injil atau Kabar Baik) dalam tradisi khas gereja Lutherans masa itu. “Karena para pendeta zending berasal dari lulusan seminari Gosner di Jerman. Setiap gereja besar yang dibangun ditempat mereka bertugas, pada menara lonceng dipuncaknya ada simbol ayam. Di Nusa Utara antara lain terpasang di Gereja Manganitu, Gereja Enemawira, Gereja Ulu,” ungkap master teologi ini. Gereja-gereja yang dipasangi simbol ayam ini dalam bahasa lokal disebut “gaheda manu” atau “gereja ayam” sejak tahun 1857, bersamaan kedatangan para zendeling tukang yaitu A. Grohe dan F. Keling di pulau Siau.
Dalam kajian reflektif, simbol ayam berkokok menandakan penyangkalan dalam kisah menjelang penyaliban Yesus yang ditulis Injil. Sementara ayam berkokok pasca-kebangkitan Yesus dimaknai sebagai tanda fajar menyingsing, dan kegelapan berganti terang, di mana pergulatan hidup kembali terbentang. Saat agama-agama historis atau universal semisal Kristen dan Islam yang berlatar konteks budaya dan sejarah Semitis di Timur Tengah atau Hindu dan Budha dari konteks budaya Indic di India datang ke Nusantara, sebelumnya kepulauan ini telah memiliki agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan lokal di berbagai komunitas etnik. Pada saat kedatangan itulah terjadi perjumpaan agama universal dengan kebudayaan lokal berupa agama dan kebudayaan suku setempat.
Teolog Universitas Kristen Tomohon (UKIT), Sulawesi Utara, Richard A.D. Siwu, ketika memberikan antaran pada buku “Bulan Sabit di Nusa Utara” mengungkapkan, di Nusa Utara proses transkoseptualisasi adalah bagian dari sejarah perjumpaan agama-agama dengan kebudayaan lokal. Sebuah proses alkulturasi (penyesuaian diri) dengan budaya setempat. Kendati Kristen sebagai agama historis memiliki originalitas konteks dari mana ia lahir dan berasal, namun tetap saja mengalami penyesuaian, Ipso-facto, “perubahan”. Keduanya saling mempengaruhi dan memperkaya. Pada satu pihak, agama dan kebudayaan lokal mengalami “pengayaan” dari luar, tetapi pada lain pihak, agama universal mengalami “pengakaran” pada kebudayaan setempat. Kristen sebagai agama universal, tulis dia, tentu memiliki konteks dan sejarahnya (historical), memiliki penganjur (propagator), memiliki visi ke depan dan berdaya kritis, karenanya disebut pula “profetis”. Sedang dalam locus agama alamiah (natural religion) di Nusa Utara, simbol ayam memiliki makna lain.
Opa Mahonise, adalah sosok penjaga gunung Karangetang dikisaran 1970-an. Kebetulan masih kerabat dekat dengan ayah saya, membuat dia sering mampir ke rumah kami di Kahetang, Tarorane, Ulu Siau. Di masa-masa itu ia menceritakan keberadaan dua ekor ayam di atas puncak gunung Karangetang. “Saat pergi mengontrol puncak gunung, apabila terlihat penampakan ayam berwarna merah, itu petanda puncak gunung lagi panas dan tak boleh dihampiri. Jikalau yang terlihat ayam berwarna putih itu berarti puncak dalam keadaan aman dan bisa didatangi,” ungkapnya. Menurut lelaki yang menghabiskan sepanjang hidupnya sebagai penjaga gunung ini, ayam-ayam itu adalah penjelmaan dewa Aditinggi yang disembah dalam kepercayaan Sundeng. Aditinggi juga disebut Duata atau Ghenggonaļangi (Sang Maha Suci yang bertahta di tempat tertinggi).
Tentang kisah penampakan sosok dua ekor ayam di puncak Karangetang ini menurut keterangan tetua setempat, telah menjadi mitos yang selalu diceritakan dalam tradisi bawowo (tradisi bercerita sebagai pengantar tidur untuk anak-anak). Dalam tradisi sasahara dan sasaili, warna putih adalah simbol dewa Aditinggi, sementara warna merah simbol dewa laut Mawendo atau juga dikenal dengan sebutan Tagaroa (Taghaļoang).
Pada tahun 1857 Pendeta F. Kelling, seorang misionaris Nederlandsche Zending Genoodschaap (NZG) yang datang ke Siau untuk menyebarkan Injil, membaptis gunung Karangetang dengan nama Yohanes dan gunung Tamata dengan nama Yohana. Peristiwa pembaptisan ini tak lain adalah peralihan konsep (trankonseptualisasi) simbol-simbol kepercayaan lama masyarakat setempat ke pemahaman dunia Kristen.
Trankonseptualisasi ini menurut Sovian Lawendatu, adalah upaya para Zending mengarahkan masyarakat Nusa Utara yang beragama Kristen memahami bahwa Duata bukan (lagi) sebagai seorang dewa melainkan sebagai Allah (Tuhan Allah, Sang Bapa) di dalam Yesus Kristus. Kenyataan ini dengan jelas kelihatan melalui ritus-ritus atau peribadatan Kristen di Nusa Utara (GMIST dan kemudian juga GERMITA. Begitu pula dalam Alkitab ber-Bahasa Sangihe.
Hal yang sama juga dapat kita temukan dalam lagu-lagu Nusa Utara yang bertangga nada diatonik (Barat) seperti Oh mawu Maļondo dan Oh Mawu Ruata. Malahan, masyarakat Nusa Utara yang beragama Kristen memahami bahwa Duata yang disebut-sebut dalam Sasambo dan Sasaļamate yang notabene merupakan produk seni musik/sastra tradisional Nusa Utara (dalam hal ini khususnya Sangihe) adalah Allah atau Tuhan Allah yang menyatakan diri-Nya di dalam Yesus Kristus.
Dilihat dari ilmu agama, kata budayawan, kritikus sastra, dan Guru ini, masyarakat Nusa Utara sebenarnya memiliki ‘agama’ sebelum masuknya agama Islam dan Kristen /Katholik. Mengikuti Brilman, agama masyarakat suku Nusa Utara sebelum masuknya Islam dan Kristen, berbentuk sinkretisme atas pra-animisme (kepercaya mana), animisme, kepercayaan dewa-dewa dan penyembahan orang mati. Dalam konteks kepercayaan dewa-dewa, yang (menurut Brilman) merupakan pengaruh Hinduisme, masyarakat Nusa Utara memercayai antara lain “seorang” dewa yang bernama Duata/Ruata. Brilman bahkan mengasalkan nama Duata itu dari kata Dewata. Dewa ini belakangan mengalami transkonseptualisasi (proses alih konsep) ke “dunia” Kristen.
“Bagi saya, proses alih konsep (transkonseptualisasi) itu terjadi pada abad ke-19 di bawah perintisan para Zendeling-Tukang (Zendeling Werkman) dan kemudian dilanjutkan secara intens oleh para Hamba Firman Tuhan (Dienaar des Woords) perutusan Komite Sangihe dan Talaud (Sangi en Talaud Commitee). Asumsi ini didasarkan pada kenyataan bahwa abad ke-19, seperti yang dikemukakan oleh Abineno (1978), merupakan fase Kulturisme – Injili dalam Sejarah Apostolat di Indonesia,” ungkapnya.
Pada fase sejarah yang dimaksud, terjadi penerjemahan Alkitab dan lagu-lagu gerejawi dalam bahasa asing ke dalam bahasa Sangihe (dialek Manganitu yang dianggap sebagai yang terhalus dari sejumlah dialek dalam bahasa Sangihe).
Dalam konteks ini, Pekabaran Injil atau kegiatan Zending lebih dilakukan dalam bahasa daerah (Sangihe dan Talaud). Lagu semacam Oh Mawu Rendingane merupakan terjemahan dari lagu Jesus Lover of My Soul (karya Simeon B. Marsh) yang konon dilakukan oleh E.T. Steller, Zendeling atau Pendeta-Sending yang bertugas di Ressort Manganitu (1857 – 1897) yang notabene disebut-sebut sebagai Pandita yang gemar “naik kuda” bila mengunjungi jemaat-jemaat layanannya. Dalam versi Indonesia, terjemahan lagu gerejawi Barat ini dilakukan oleh E.L. Pohan Siaahan dengan judul Angin Ribut Menyerang (lihat buku Kidung Jemaat Nomor 30a; Yamuger, 1984). Ketika itu juga (1888) telah terbit beberapa kitab ‘bibel’ berbahasa Sangihe, semisal Injil Matius dan Kisah Para Rasul serta Katekhismus Heidelberg, yang semuanya merupakan karya terjemahan C.W.J. Steller.
Adanya proses alih-konsep itu dimungkinkan oleh faktor kesamaan atau kemiripan ‘citra eksistensial’ antara Duata (dewa) dengan Allah (yang eksis di dalam Yesus Kristus). Mengenai ini, masyarakat Nusa Utara memahami bahwa Duata merupakan Dewa atau Mahadewa pencipta segala yang ada. Seperti halnya Allah di dalam Yesus Kristus, Duata bukanlah dewa yang kehabisan kerja (deus otiosus) sebagaimana yang diajarkan oleh kaum Deisme. Dewa yang bernama Duata, ungkap Lawendatu, seperti juga Allah di dalam Yesus Kristus, merupakan dewa yang baik, sehingga ia menjadi sumber pertolongan atau pemelihara segala ciptaannya. Dalam pada itu, seturut julukan puitisnya atau sasahara-nya, Duata adalah Ghenggona Ļangi (artinya : “Yang Mahatinggi); jadi mirip Allah di dalam Yesus Kristus.
Telaah menarik diseputar proses transkonseptualisasi lainnya dikemukakan penyair Jolly Horonis. Dalam wawancara dengan penulis pada 2019, sarjana Sastra ini mengatakan, syair lagu ‘sarang apa i kamene’ memiliki ragam nada yang sama dengan syair lagu Kidung Jemaat no 269; ‘hai musafir mau ke mana’. Namun, ‘sarang apa i kamene’ bukanlah terjemahan langsung dari syair lagu pada Kidung Jemaat ini. Kedua lagu ini memiliki tema yang berbeda meski ketika dihubung-hubungan kita akan menemukan ada kesamaan maksud yang tersirat.
Perbedaan mencolok juga terlihat pada cara penyair kedua lagu ini dalam menentukan larik demi larik. Diperkirakan, lagu ‘sarang apa i kamene’ ditulis pasca zending masuk di wilayah Sangihe.
Sarang Apa I Kamene
sarang apa i kamene
mahundingang kerene
limane nekekai
mata sarang tarai
liung buļude
liung baļane
tawe otonge
tawe lengane
mang kai matuļide
mang kai matuļide.
Menurut Jolly, membandingkan makna dan maksud syair lagu ini, dalam sastra ada metodologi komparatif sebagai pendekatannya. “Namun saya ingin menelaahnya dalam bentuk semi ilmiah atau jenis lainnya yang tidak masuk kategori ilmiah,” kata dia. Syair ‘sarang apa i kamene’ jika diterjemahkan secara bebas;
Hendak ke mana kalian
Beriringang sedemikian
Tangan bergadengan
Mata tertuju ke atas
Lewati gunung
Lewati lembah
Tak pernah singgah
Tak pernah berbelok
Tetap lurus
Tetap lurus.
Perhatikan syair Kidung Jemaat 269 ayat 1. Hai musafir mau ke mana;
Hai musafir, mau kemana kau arahkan langkahmu?
Kami ikut titah Raja dan berjalan tak lesu:
Lewat gunung dan dataran arah kami ke istana,
Arah kami ke istana kota Raja yang kudus.
Arah kami ke istana kota Raja yang kudus.
Dijelaskan, pada ‘hai musafir mau ke mana’ tersurat maksud dari syair yakni menceritakan seorang musafir yang ditanyakan tentang arah langkahnya. Pengakuan musafir jelas saat menimpali pertanyaan itu dengan jawaban; mereka mengikuti titah Raja, kemudian menjelaskan situasi perjalanan mereka menuju istana kota Raja yang kudus. ‘Istana kota raja yang kudus’ pada syair ini secara kekristenan jelas merujuk pada kerajaan Sorga. Bisa disimpulkan bahwa lagu ini terinspirasi dari kitab Yohanes 14:1-6. Lagu ini sebagai bentuk penguatan iman setiap pengikut Kristus saat menjalani kehidupan yang penuh dengan ujian iman. Kehidupan kita sebagai manusia tak tentu arah digambarkan seperti musafir yang berjalan tak lesu. Keyakinan tujuan kehidupan bukanlah sesuatu yang tidak tentu, hal ini dikuatkan dengan ucapan Yesus (1, 2, dan 4).
Syair lagu ‘Sarang apa i kamene’ berbeda dengan syair ‘hai musafir mau ke mana’ meski keduanya diawali dengan pertanyaan yang sama (ke mana = sarang apa). Sarang apa i kamene dilanjutkan dengan penegasaan lebih konkret dari pertanyaan awal yakni ‘mahundingang kerene’. Ini merupakan kekaguman sekaligus keheranan melihat perilaku ‘kamene’ (sekelompok orang) yang berjalan beriringan bergandengan tangan sembari menengadah. Sekelompok orang tersebut digambarkan berjalan melewat gunung dan lembah tanpa henti dan tak seorang pun yang mau berbelok. Berjalan lurus dan tetap lurus. Penggambaran perilaku kamene dalam syair lagu ini, menyiratkan kearifan lokal suku Sangihe yakni musasimbuawusa. Musasimbuawusa ini meliputi banyak perilaku, seperti; singkanaung (sehati, sepikir), sendinganeng (bersama-sama, sejalan), senggighilang (satu kesepakatan, sepaham), mupalose (bekerja bersama) dan singkapugio/mudalo (mengucap syukur secara bersama-sama).
Penyair sarang apa i kamene mengajak semua elemen untuk kembali pada cara hidup musasimbuawusa. Ia mengimajinasikan bagaimana harmonisasi kehidupan masyarakat yang utuh tanpa ada perselisihan, saling memahami dan mampu hidup bersosial dengan baik. Penyair menyadari betul bahwa kehidupan yang damai dan sejahtera akan mewujud jika perilaku musasimbuawusa itu tetap dijaga dan diterapkan.
Masyarakat lokal mengenal kehidupan seperti ini dengan sebutan kehidupan yang MAĻUNSEMAHE. Maļunsemahe merupakan cita-cita dan dambaan segenap masyarakat suku Sangihe. Dikatakan Jolly, penyair tetap menjaga wibawah kepercayaan lokal Sundeng saat menentukan diksi dalam syair ini. Ia lebih memilih mengunakan penanda ‘mata sarang tarai’ untuk menyatakan Ghenggonaļangi (Sundeng) dan pemilik istana kudus (Kristen) sesuai KJ 269. Mata sarang tarai menggambarkan sikap penyerahan dan percaya ada kuasa yang lebih tinggi yang patut dijunjung. Percaya lalu menyerahkan perjalanan kehidupan kepada Sang pemilik kehidupan. Sang pemiliki ini diyakini ada di tempat tertinggi dan mengamati setiap perilaku manusia di bumi ini.
Masyarakat Sangihe dahulu mengenal sifat keilahian ini dengan sebutan ‘manahimata’. Menengadah (mata sarang tarai) tidaklah dalam bentuk kosong, di dalamnya ada syukur dan doa yang terpanjatkan (gio dan dalo). Di dalamnya penyerahan dan rasa percaya itu tertuang, sehingga saat mata menegadah, langkah kaki tetap teguh dan tidak tersandung. Dalam kekristenan, ini hampir sama dengan “beriman”.
Limane nekakai menggambarkan sikap sendinganeng. Bersama-sama berjalan melewati setiap rintangan. Saling berpegangan agar tidak lepas satu dengan yang lain, dengan harapan sampai pada tujuan (malunsemahe) secara bersama-sama. Proses ini dibutuhkan sikap mepalose, sengkanaung, dan senggighilang agar kebersamaan itu tetap utuh. Saling menguatkan, mengingatkan, juga memotivasi agar tetap sehati dan teguh, jangan ada yang tertinggal dan terpisah saat menggapai cita-cita malunsemahe. Lurus dalam langkah bukan hanya soal jalan yang dilalui melainkan termasuk di dalamnya lurus dalam sikap dan perilaku, tidak serong satu dengan yang lain. Lurus dari hati hingga pada tindakan. Penyair menegaskan lebih dalam pengakuannya dengan memilih kalimat ‘mang kai matuļide’ (tetap saja lurus).
Kurangnya memahami maksud dari bait demi bait lagu ini, menyebabkan lagu ini semakin kurang populer. Bahkan lagu ini dinyanyika sekedar lagu dalam permainan. Makna lagu yang sarat didikan ini tergerus karena anggapan orang sarang apa i kamene sepadan dengan syair lagu sarang apa i kau e ungke yang liriknya;
Sarang apa i kau e ungke
Sarang sasi mudea u kina
Kina apa deakeng u ungke
Kina loi tiange labo
(Hendak ke mana engkau ungke
Hendak ke laut mencari ikan
Ikan apa yang hendak kau cari ungke
Ikan loi perutnya besar).
Dalam penulisan lirik demi lirik, sarang apa i kamene terlihat lebih indah. Penyair ketika menulis lirik demi lirik lagu ini tetap memperhatikan dan menjaga ciri khas sastra Sangihe. Rima AB AB tetap terjaga dan diperhatikan. Penyair memahami betul ciri khas syair sasalamate maupun sasambo lalu memasukannya dalam tubuh lirik lagu ini. Ini nilai lebih sarang apa i kamene dibanding hai musafir mau ke mana dari sudut pandang keindahan sastra. “Sayang, penulis lagu ini sudah tidak dikenal lagi. Namun demikian, cara penulis dalam menulis lirik lagu menggambarkan betapa hebatnya nenek moyang suku Sangihe dalam bersastra,” ungkapnya. (*)
Discussion about this post